"Duh Gusti, cobaan apalagi ini,
jika aku memilih berpisah dengan Mas Cahyo, kasihan Nabila, jika aku memilih untuk di madu? aku takut tak bisa menjaga kewarasanku. aku membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang akan aku alami.
"Biar Mas Cahyo yang mengambil keputusan Bunda, Yani tidak bisa mengambil keputusan." jawabku ke Bunda.
"Halah sok banget" Mas Cahyo pasti mau lah bertanggung jawab atas kehamilanku ini," lawong kami saling mencintai kok.
"Iya dek, sabar, Mas Cahyo sedang keluar tadi, mungkin sebentar lagi pulang." jawabku ke Umi mencoba tak terpancing emosi.
Aku tak tau terbuat dari apa hati adikku ini, di sini dia yang salah, tapi dia pula yang mencak-mencak .
di sini dialah pelakornya, tapi dia lebih ganas dari istri sah.
losss lah, batinku. Asal dia tak berulah saja sama putriku. tak berapa lama Mas Cahyo pun pulang, dia kaget karena ada Bunda dan Umi.
"Loh Bunda sudah lama kah ke sini nya? ada hal penting kah bunda?" tanya Mas Cahyo kepada Bunda.
Tanpa malu Umi langsung memeluk Mas Cahyo.
"diihh lebay" batinku.
"Mas, Umi hamil. Mas mau kan bertanggung jawab? Mas mau kan menikahi umi?" umi berkata dengan manja ke mas Cahyo .
Mas Cahyo melirikku, mungkin dia mau lihat reaksiku seperti apa. aku hanya mengedikkan bahu ku tanda cuek. dan saat Mas Cahyo menatap Bunda, dia hanya menunduk. Malu mungkin, batinku. aku mau beranjak ke belakang, tapi langkah ku terhenti dengan panggilannya Mas Cahyo.
"Dek, mau kemana dek?" panggilnya lembut.
"cuiihhhh batinku" lantas aku menjawab pertanyaan suamiku tersebut.
"Mau ke belakang Mas, kerjaan ku masih banyak, aku belum membuat pentol bakso, tahu bakso, sama jamur bakso, buat nanti malam dan besok, kenapa? mau bantuin?"
tanyaku cuek.
"Ti tidak dek, aku cuma nanya aja."
Memang sejak kejadian itu, entah kenapa aku jijik membayangkan dia sedang bersama adikku, di rumahku pula, ya ini rumahku, rumah peninggalan Eyang uti ku. Orang yang merawatku sejak kecil selepas kematian mama. Eyang uti ku meninggal tiga tahun yang lalu, dulu sebelum eyang uti meninggal ,
eyang uti sudah sering mengingatkanku perihal kedekatan Umi dan Mas Cahyo, tapi selalu aku bantah. pikirku, tak mungkin lah, adik yang sangat aku sayangi bisa mencurangiku, ternyata perselingkuhan memang tak bisa di suratkan. Semua akan terjadi begitu saja bila ada kesempatan. kucing mana sih yang hanya akan mengeong bila di suguhi ikan asin yang lezat? ya pastinya akan langsung nubruk.
"Bahasaku semoga kalian faham ya?"
"Emang dasarnya clutak dua-dua nya.
keselllll aku di buatnya, mau Nggak kuakui dia sebagai suami, kok yo sudah ada Nabila, mau ku akui sebagai suami kok yo clutaknya itu Loh melebihi kucing garong jalanan. Mosok adik sendiri di embat.
"wes-wes dunia emang sudah mau kiamat ini," gumamku dalam hati.
"Maaf za Bunda, Yani permisi ke belakang dulu, kerjaan Yani nggak akan selesai, kalau ndak Yani mulai dari sekarang. maklum lah Bunda, Yani bisa memenuhi kebutuhan dapur kan dari sini, kalau hanya mengandalkan kerjaannya Mas cahyo, bisa-bisa Yani dan Nabila nggak terpenuhi kebutuhan gizinya Bun. Bunda kan tau sendiri kerjaannya Mas Cahyo nggak menentu, ya kan Bun?" ku katakan begitu sambil melirik Mas Cahyo yang salah tingkah.
apaan sih mbak kamu ,sama suami sendiri kok ngomongnya begitu ,
za wajarlah istri itu bantu memenuhi kebutuhan rumah tangga,kalau suami sedang sulit .kata adikku.
"Kalau cuma sekedar membantu ya wajarrr dek, tapi kalau untuk nafkah utama, nah itu namanya kurang ajar."
Mendapat jawabanku seperti itu adikku langsung mengerucutkan bibirnya, dulu aku kalau melihatnya seperti itu, gemes banget rasanya.
Tapi sekarang? Ih amit-amit deh.
"Dek, kamu punya karet nggak?
dua saja," tanyaku sama adikku itu .
"Buat apa emangnya?" tanyanya polos. Buat ikat mulutmu yang maju lima centi itu." aku menjawab sambil menahan tawa yang akhirnya meledak. Aku pun langsung berlalu ke belakang. peduli setan lah yang akan mereka lakukan di rumah ini, yang jelas kalau berani macem-macem di rumah ini lagi, awas aja. Aku sunat sampai habis kamu mas, biar nggak bisa celup sana celup sini burung beo mu itu,
batinku dalam hati .
Bunda mengikutiku ke belakang,
beliau ikut membantu pekerjaanku.
"Nggak usah Bunda, Bunda istirahat saja, Yani bisa kok ngerjainnya sendiri," kataku ke Bunda.
"Nggak apa-apa nduk, biar cepet selesai." jawab Bunda.
"Bunda minta maaf ya nduk? Bunda meminta sesuatu yang sangat berat padamu. Bunda minta maaf karena telah gagal mendidik Umi, yang lapang ya nduk hatimu, kata Bunda."
"Insyaaalloh Yani ikhlas Bunda," tapi maaf ya Bunda, Yani tidak mau seatap sama Umi, jika nanti Umi sudah menikah dengan Mas Cahyo.
bukannya apa Bunda, Yani nggak mau terbakar kecemburuan setiap hari."
"Baiklah, untuk itu akan Bunda fikirkan ke depannya, tolong bantu Bunda bicara sama Ayah ya nduk?.
Bunda takut Ayah murka, Bunda takut jantungnya bisa kumat. Bunda belum siap kehilangan Ayah nduk." ungkap bunda meminta tolong kepada Yani.
"Kapan Bunda mau bicara sama Ayah? nanti kita sama-sama ngomongnya, semoga ayah tidak apa-apa Bun." jawabku mencoba menenangkan hati Bunda.
"Makasih ya nduk, Bunda tahu hatimu sangat baik, dari kecil kamu memang tidak pernah mengecewakan Bunda .
meskipun kamu bukan lahir dari rahim Bunda ,tapi kamu selalu di hati Bunda nduk" saat ku lirik ternyata Bunda meneteskan air matanya.
"Lo lo loh Bunda," kataku setengah berteriak.
Bunda menoleh dan kaget oleh ucapanku.
"Kenapa nduk? apa Bunda salah ya buatnya?" tanya Bunda kebingungan.
"Itu loh Bunda, nanti tahu baksonya bisa keasinan kalau air mata Bunda masuk adonan." kataku cengengesan.
"husss, kamu itu ngerjain Bunda saja, lawong Bunda sedang ber melow ria, malah di ledekin, lagian, bukannya bagus ya? kamu kan bisa irit garam." timpal Bunda membalas candaanku.
Tak ku dengar lagi suara Mas Cahyo dan Umi di luar, entah sedang apa mereka, aku pun tak peduli, kau ambil suamiku, ku ambil bundamu.
adil kan? batinku.
Suasana dapur ramai saat ada Bunda, Bunda selalu cerita sesuatu yang seru, yaa , meskipun Bunda adalah ibu tiriku, tapi dia tidak pernah membedakan ku dengan Umi sejak kecil. aku menemukan sosok Bunda baru saat Ayah menikahi Bunda.
Ayah tidak salah memilihkan Bunda untukku, meskipun Bunda membawakanku adik tiri yang menyebalkan, Umi memang sedari kecil selalu mengincar apa yang aku punya, dia selalu iri dengan semua pencapaian-pencapaian ku, dia selalu berusaha merebut apa yang ku punya, dulu aku selalu mengalah, aku menganggap itu hanya kemanjaannya sebagai adik, akupun tak pernah mengeluh, tapi Bunda yang selalu memarahinya .
selalu menasehatinya, mungkin sudah watak kali ya, jadi meskipun orang tua yang menasehati ,
tak pernah di gubrisnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments