Reflection, The Black Rose
Musim semi telah tiba, bunga bermekaran dan cuaca menjadi lebih hangat. Taman mulai ramai di kunjungi begitupun Festival yang diadakan di beberapa tempat. Tawa riang bersaut-sautan, kegembiraan memenuhi kota itu. Seorang perempuan tersenyum melihat kedua orang tuanya berlomba di atas panggung. Ketika keduanya berhasil melewati semua tantangan, mereka berteriak girang, semua orang menyambut kemenangan. Perempuan itu mengambil hadiah dari ibunya dan berlari pelan sampai ke tempat duduk mereka, menjadi tidak sabar tergambar pada ekspresinya. Ayahnya hanya menggeleng kecil, lalu dielus lembut kepala anak gadisnya.
"Hadiahnya semakin baik setiap tahun." Katanya ketika Ri anaknya mengeluarkan barang dari bungkus kado merah. Sang istri pun mengangguk, dia membenarkan perkataan suaminya. Tetapi tidak dengan anak perempuan itu, dia tampak kecewa. Hadiah yang di dapat sepertinya tidak memenuhi harapan. Baik Lien dan Pham tersenyum kecil, anaknya memiliki banyak ekspresi dan semuanya diperlihatkan dengan jelas. Pham menarik pelan lengan Lien.
"Ada apa Ri?" Tanya Lien kepada sang Putri.
Dia menghela nafas pelan. "Sepertinya hadiah ibu dan ayah tertukar, bisakah kita bertanya pada panitia?" Kata Ri.
"Memangnya, hadiah apa yang Ri harapan? ayahnya ikut bertanya.
Perempuan 22 tahun itu terdiam dan menunjuk spanduk di sebelah panggung. Ayahnya mengerti, dia tersenyum lalu merangkul bahu Ri. Dia menjelaskan bahwa panitia kehabisan stock hadiah jadi mereka menggantinya dengan barang lain. Dia sudah diberitahu sebelumnya dan setuju dengan keputusan itu. Ibunya ikut duduk disamping Ri. "Bagaimana jika kita pergi melihat festival lainnya, mungkin hadiah yang Ri inginkan ada disana?" Saran itu cepat mendapat persetujuan sang ayah.
Tapi Ri menggeleng. "Tidak ibu, bagaimana jika kita pergi makan? Sebenarnya, aku juga tidak begitu menginginkan hadiahnya, hanya saja mereka sudah berjanji, janji itu ada untuk di tepati." Yah, Ri benar. Janji itu berat, berat dalam segala hal. Ketika seseorang berjanji, ada harapan yang tersemat dan harapan itu lenyap karena kecewa. Dia pernah mengalaminya, pahit janji yang tidak terpenuhi membekas sampai hari ini. Lebih baik bagi Ri untuk tidak membuat janji agar tidak ada rasa sakit ketika dia tidak bisa memenuhi ekspektasi orang. Harapan menjadi sia-sia, berharap pada manusia memang menyakitkan. Jangan!
Ri kecil, hidup dalam pelarian. Setelah ibunya melahirkan, dia lari membawa seorang bayi ke Vietnam untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Layak dalam pendidikan dan lindungan tumbuh yang baik. Selama pelarian itu, setiap tahun mereka harus berpindah tempat. Hal tersebut membuat Ri tidak memiliki banyak teman. Dia harus beradaptasi lagi dan lagi. Ri kecil lelah tapi selalu bahagia. Ketika umurnya 11 tahun, dia mendapat kabar bahwa ibunya meninggal dunia. Dunianya runtuh, Ri kehilangan dirinya. Sejak saat itu, dia menanam kebencian mendalam terhadap Pria bernama Cho Min Sik. Pria itulah yang menjadi penyebab semua kekacauan dalam hidupnya. Ri pernah berjanji, dia tidak akan pernah melihat ayahnya meski pria itu mati.
Ri lega. Meski tahun-tahun pertama sangat berat, dia akhirnya ikhlas melepaskan. Berharap ibunya memiliki tempat terindah. Setiap hujan di malam hari Ri selalu duduk di teras balkon kamar untuk memandang langit atau sekedar berbicara dengan sebuah foto usang, seolah-olah dia berbicara kepada ibunya, bercerita tentang kegiatan dia disekolah dan bagaimana kehidupannya selama ini. Setidaknya Ri merasa sedikit terhibur.
"Ri kenapa melamun?" Tanya Lien.
Perempuan itu menggeleng lalu tersenyum sembari menggandeng lengan ibunya. Dia merasa beruntung masih memiliki orang tua angkat yang baik. Tidak pernah sekalipun mereka memperlakukan Ri dengan buruk. Bahkan keluarga inti Lien dan Pham selalu menjadikan Ri sebagai kesayangan mereka. Perempuan itu mengingat kejadian saat dia berumur sekitar 6-7 tahun, Ri pulang dengan wajah memerah sehabis menangis karena perundungan yang dia alami di sekolah. Ketika itu, keluarga mereka sedang berkumpul, alhasil sekolah Ri dikepung oleh keluarga Pham dan Lien. Beruntung masalah itu berujung damai.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hari Wawancara Kerja
Ri berada di tangga terakhir ketika Ayahnya keluar dari kamar. "Waah, putri ayah cantik sekali!" Sahutnya bangga. Ri tersenyum lebar menyambut hangat pujian itu.
Ri akan menghadiri wawancara kerja sebagai guru tetap di Sekolah Menengah Pertama di area perumahan dia tinggal. Di atas meja sarapan sudah tersedia, bahkan sepatu hitam miliknya diletakkan di depan pintu. Ayah dan Ibunya begitu perhatian, dia menjadi terharu lagi.
"Makanan ibu memang selalu yang terbaik." Acungan jempol Ri di depan wajah sang ibu membuat wanita itu ikut tersenyum, senyum lebar.
Tidak sabar mencicipi masakan Lien, dia duduk terburu-buru dan mengambil semua hidangan lauk yang Lien buat. Melihat kebarbaran putrinya, Lien memperingatkan dengan lembut agar Ri lebih sabar dan tenang. Ri yang sudah memasukkan makanan ke dalam mulutnya hanya bisa mengangguk semangat.
"Pelan-pelan nak, kamu bisa tersedak."
Dia berusaha menjawab tetapi kemudian tersedak juga. Ibunya mengambilkan air putih dan mengelus punggung sang putri.
"Ibu sudah bilang pelan-pelan. Tidak ada yang akan mencuri makananmu." omel wanita itu karena kecerobohan anaknya.
⏳
Setelah sesi makan yang menghebohkan dengan adegan tersedak Ri berangkat ke sekolah. Di jalan dia bertemu dengan teman satu tesnya bernama Tam. Dia mengenal Tam ketika tes tahap awal, kebetulan mereka berasa di ruang yang sama dan sekarang mereka akan mengikuti tes kedua yaitu tes wawancara. Secara pribadi Ri berharap Tam bisa lolos dan menjadi guru di sana.
Dia mendengar cerita Tam dari seorang teman. Tam sudah lebih dulu lulus darinya, dia telah mencari pekerjaan di berbagai tempat tetapi selalu gagal karena universitasnya yang tidak terkenal. Kalaupun berhasil masuk, dia hanya bertahan selama beberapa bulan dan harus meninggalkan korporasi. Tam juga seorang yatim-piatu dan harus menghidupi adik laki-lakinya seorang diri.
Mendengar cerita seperti itu membuat hati Ri pedih. Dia selalu bersyukur memiliki orang tua. Ri tidak pernah memiliki masalah keuangan seperti yang di alami Tam. Ri merasa bangga walau bukan keluarga Tam, bagaimana wanita itu dapat bertahan dengan berbagai kesulitan. Patut di acungi jempol.
Merasa di tatap oleh Ri, Tam berbalik menatap balik Ri. "Kenapa?" Tanya Tam.
"Tidak apa-apa, aku berharap kau lulus." Tatapan dan ucapan tulus Ri membuat Tam tersenyum dan berterima kasih.
Tam tahu bahwa mereka adalah saingan yang memperebutkan posisi teratas, tetapi Ri adalah satu-satunya orang yang tulus mendoakan dirinya. Dalam hati Tam juga berharap jika mereka berdua bisa lolos dan menjadi teman baik di sekolah yang sama. Ketika pikiran melayang membayangkan hari-harinya bersama Ri, Bel berbunyi, semua murid masuk ke kelas masing-masing. Sementara Ri dan Tam berjalan di koridor menuju ruang wawancara di gedung administrasi. Berjalan di koridor membangkitkan ingatan Ri terhadap sekolahnya dulu. Di depan sana ada beberapa peserta wawancara, mereka menunggu waktu untuk di panggil.
"Silahkan duduk, kalian akan di panggil sesuai dengan nomor urut registrasi." Ucap petugas administrasi itu, dia memanggil salah satu diantara mereka.Tegang menyelimuti semua peserta tes. Salah satu dari mereka ada yang bolak-balik ke WC, saking gugupnya.
Meski punya banyak pengalaman rasa gugup tidak hilang dari diri Tam, dia meremas tangan erat. Sebelum dia memasuki ruang runggu, dia tidak merasakan kegugupan, entah mengapa ketakutannya bertambah apalagi dengan banyak tekanan.
Satu persatu peserta di panggil hingga mengisahkan dirinya dan Tam. Sebelum Tam di panggil masuk ke dalam ruangan, Ri menggenggam tangan wanita itu dan memberikan semangat kepadanya.
"Semangat! Tidak ada yang berakhir sebelum benar-benar berakhir!"
Tam menangguk sebagai jawaban. Dia mengeratkan pegangan tangan sebelum di lepaskan, kemudian dia masuk ke ruang tes. Tidak berapa lama menunggu, akhirnya giliran Ri yang masuk. Di dalam penguji melihat Ri dari bawah hingga ke atas, tetapi dia tidak gugup. Matanya langsung menatap mata penguji bergantian.
"Anda belum memiliki pengalaman, ini pertama kali anda melamar pekerjaan?" Salah satu dari mereka bertanya.
Ri mengangguk. "Ya bu, saya baru saja lulus tahun lalu."
"Apa yang menarik dari sekolah ini sehingga anda memutuskan mendaftar? Saya yakin dengan nilai ini anda bisa mendaftarkan di sekolah negeri." Tanya dia lagi.
Ri mengangguk, dia banyak mendengar pertanyaan seperti itu dari tetangga hingga teman-temannya. Dia tarik nafasnya dan menghembuskannya pelan. "Saya selalu melewati sekolah ini untuk berangkat kuliah, saat itu dari depan saya tidak melihat adanya perbedaan dengan sekolah lainnya di daerah ini. Suatu hari, baliho terpajang di depan gerbang. Saya masih ingat tulisannya, Jangan malu melakukan kesalahan karena itu bisa membuat orang belajar dan jangan pula merasa tidak malu dan menutup mata pada tindak buruk yang merugikan orang lain, karena hal itu bisa membawa rasa sakit,"
"Setelah itu saya banyak membaca forum online tentang sekolah di daerah ini. Di dalam sana tidak ada satupun pembahasan negatif soal perekrutan guru tetap atau guru kontrak di sini. Bahkan ada komentar dari seseorang yang mengklaim dirinya sebagai mantan guru kontrak yang telah bekerja di salah satu universitas memuji sistem perekrutan sekolah ini. Saya rasa ini menarik."
"Menarik? Bukan karena anda menyukai mengajar anak-anak atau mencari pengalaman?" Ujar Penguji yang berada di tengah.
"Ketertarikan saya ini bisa digunakan untuk mengajar anak-anak dan mencari pengalaman. Saya harus tertarik untuk bekerja dengan baik."
Penguji terkejut mendapat pendapat seperti itu. Ada dari mereka yang kurang setuju dan menyepelekan dengan menutup resume Ri, ada juga yang tersenyum mendengar jawaban jujur peserta wawancara.
Ri hanya berharap pada takdir, dia tidak tahu apakah jawaban jujurnya itu bisa menghantarkan dia masuk ke sekolah atau malah menjadi bumerang yang tak terlihat akan menyudahi rasa ketertarikannya pada sekolah itu. Dia permisi keluar setelah sesi wawancara selesai.
🕙
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments