Setelah sarapan, Ri kembali ke kamarnya. Membuka pintu balkon dan duduk disana. Hujan belum reda, justru semakin lebat. Dia memikirkan perkataan Tam.
"Kesempatan terakhir. Apa aku tidak berpikir seperti Tam karena aku memiliki orang tuanya yang menafkahi dan menjagaku?"
Pesan masuk ke ponselnya, dia merogoh saku jaketnya. Ada pesan dari Tam, dia memberitahu Ri bahwa pengumuman seleksi sudah keluar. Ri masuk menyalakan komputernya. Jari-jari lincahnya menari di atas keyboard. Web sekolah sudah terbuka, dia klik pada tulisan pengumuman seleksi.
Tidak berapa lama halaman itu terbuka sepenuhnya. Di tarik kursor ke bawah. Dalam table 5 baris tertera nama-nama peserta yang lolos.
Di tatap lama nama pada baris tanpa berkedip. Air mengenang di matanya, berkedip sekali lalu turun mulus ke pipinya. "Syukurlah, Tam lolos!"
Soraknya gembira.
Ri menangis, dia memegang wajahnya dan menangis. Tangisan itu tidak dia tujukan pada kegagalannya tapi karena bahagia perempuan bernama Tam setelah dinyatakan lolos seleksi. Dering ponsel Ri menggema di kamar. Tam lagi-lagi menelepon, Ri menjawabnya dan berteriak senang untuk temannya itu.
"Kau lolos, selamat!" Ucap tulus Ri kepada Tam.
Tam terheran, dia bahagia karena lolos dan masuk menjadi guru tetap tapi temannya ini... "Kau menangis?" Tanya Tam mendengar suara serak.
Setelah itu, Ri tertawa. "Tam, aku bahkan tidak mencari namaku di antara 5 orang yang lolos itu. Setelah situsnya terbuka, aku hanya khawatir namamu tidak ada di sana. Syukurlah kau lolos."
"Kau telah bekerja keras Tam, kau pantas mendapatkan ini." Tambahnya.
"Kau sungguh tidak sedih karena tidak lolos?"
Tanya Tam heran.
"Sedih? Tidak juga, aku baru lulus tahun kemarin Tam. Dibandingkan denganmu masa untuk gagal masih banyak. Tidak ada yang tahu, besok lusa aku bisa menjadi pemimpin perusahaan?"
Ujarnya sembarangan.
Tam masih merasa tidak enak tapi dia bersyukur bahwa Ri tulus berbicara padanya.
"Terima kasih, aku do'akan kau jadi pimpinan perusahaan."
Mereka tertawa, lalu berbincang beberapa masalah lainnya. Kesempatan selalu datang, tinggal bagaimana orang akan mengambilnya. Ri selalu menekankan dirinya bahwa dia selalu mendapatkan kesempatan di kemudian hari. Setelah berbicara dengan Tam, dia turun ke bawah memberitahu orang tuanya.
Reaksi Pham dan Lien biasa, tidak terkejut juga tidak sedih. Memang benar perkataan anaknya, bahwa kesempatan selalu datang. Dan Ri masih muda, dia harus belajar bagaimana kegagalan mesti di syukuri sebagai bahan mengokohkan diri agar tidak mudah patah.
Mereka masih duduk santai di depan TV yang menyiarkan petandingan bola basket antara Vietnam dan Korea Selatan. Pham dan Lien bersorak ketika bola menerobos masuk ke jaring milik Korea Selatan. Sementara anak gadis itu tetap tenang bahkan ketika kedua tim bersorak-sorai, saling membanting mental masing-masing.
Pham sampai menyenggol lengan anaknya, dia menaikkan alisnya menegaskan kode siapakah yang di dukung sang putri. Tapi Ri mengabaikan kode itu, dia tetap memandang ke depan hingga pertandingan quarter pertama selesai. Ibunya pergi ke dapur, menyiapkan cemilan yang hampir habis.
Ri ikut membantu, kemudian dia kembali duduk dan fokus pada pertandingan selanjutnya. Ibu Lien kembali bersorak dengan keras mengagetkan gendang telinga Ri. Anak gadis itu menggeleng, ibunya adalah menggemar semua bidang olahraga. Lebih dari sang ayah.
Suasananya cukup tegang antara kedua tim sampai ayahnya berbicara dengan percaya diri.
"Ayah dulu pemain basket! Kalau kau mau tahu, ibumu jatuh cinta padaku ketika melihat aku bermain basket." Informasi yang terus dia dengarkan selama 20 tahun. Dia mengingat setiap detail masa lalu ayahnya. Ri berkata jika ada lomba menghafal masa lalu sang ayah ketika bermain basket, dia yakin akan naik sebagai pemenang.
"Ayah sudah mengatakannya." Sahut Lien, dia menggeleng tingkah suaminya.
Ri tertawa, jika ibunya tidak menghentikan sang ayah, mereka akan mendengar kisah itu sampai tengah malam.
"Jadi besok Resto masih tutup?" Tanya Ri.
"Ya selama 3 hari. Besok ikut ibumu pergi ke acara paman Tuan."
"Paman Tuan itu sepupu ayah dari Thailand kan?"
"Iya, anaknya akan menikah dengan keluarga yang berada di Vietnam."
"Oh, jadi anaknya menikah dengan sepupu jauh. Kalau ayah dan ibu ingin punya menantu?" Ri bertanya, dia belum memutuskan akan menikah. Hanya ingin mengetahui pendapat orang tuanya.
Pham dan Lien saling pandang, pembicaraan ini tidak pernah lagi mereka temukan diantara perbincangan yang telah mereka lalui. "Apa yang membuatmu bertanya nak?" Tanya Lien.
Jika di tanya dia mau, tentu saja. Dia selalu iri mendengar teman-temannya berbicara tentang suami atau cucu mereka yang menggemaskan setiap harinya. Terkadang, dia mendapat ejekan bercanda dari temannya karena Ri belum di nikahkan.
"Tidak apa-apa, aku juga belum ada keinginan untuk menikah. Tapi, mungkin ayah dan ibu sudah ada calon untukku?"
Pham sudah pasti menggeleng. "Ayah belum ada, tapi ibu seperti sudah siap mengenalkanmu dengan seluruh pemuda yang ada di daerah ini."
Ri dan Pham tertawa kecil. Lien cemberut, ketika anak dan ayah ini mengejeknya bersama. "Kalau aku menikah apa ibu dan ayah akan ikut bersamaku?"
"Itu tergantung apa suamimu setuju, tapi ayah pikir lebih baik kalian hidup mandiri. Cukup ibumu yang kesulitan harus mengurus mertuanya."
Selama lebih dari 30 tahun, Lien harus mengurus mertua. Pham dan Lien tidak tega jika orang tua itu harus di bawa ke panti jompo.
"Ibu tidak kesulitan, ibu melakukannya karena mencintai ayahmu." Teduh Lien memandangi sang suami.
Saling pandang menimbulkan nuansa romantis. Ri naik ke kamarnya, dia tidak ingin menjadi nyamuk jomblo diantara dua insan yang penuh dengan warna merah muda.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Ri sudah siap dengan gaun biru yang disiapkan sang ibu. Sebelum dia setuju ternyata sang ibu sudah menyiapkan banyak hal untuknya. Dia melihat leher dan lengannya. Risih Ri ingin mencopoti semua perhiasan.
"Jangan di copot, aduh." kena pukul.
Ibunya sudah rapi dengan rambut ala-ala pramugari tapi versi lebih brutal. Biasanya pramugari terlihat cantik dan anggun. Ri tidak tahu bagaimana konsep sang ibu, melihatnya ngeri, dia mengerutkan wajahnya.
"Ibu mau kemana?" Tanya Ri.
"Pengantin, bukannya ayah sudah bilang kita mau ke pesta anak paman Tuan."
"Iya tahu, tapi kenapa rambutnya naik sekali begitu?" Lagi, Ri memprotes.
"Apanya? ini bagus! Ayo." Ucap Lien mengajak Ri keluar dari rumah.
Kakinya berat, enggan untuk pergi. Untung saja ibunya tidak memaksa dia mengenakan model rambut yang sama, jika tidak dia bisa pingsan sebelum sampai ke acara.
"Ibu, kenapa ayah tidak ikut?" Ri berpikir bahwa ayahnya yang super rajin kondangan itu akan ikut tapi pagi tadi sang ayah membatalkan keikutsertaannya.
"Sanchez lagi buat menu baru, minta ayahmu review. Owner kan harus tahu." Ujarnya sembari merapikan rambutnya.
Lalu dari dalam dia mendengar suara klakson taksi Langganannya. Taksi itu sudah menunggu, Lien menggandeng tangan Ri keluar dan mereka duduk berdampingan.
"Ibu sebenarnya ada misi."
Ri menengok dengan mata melotot. TIDAK.
🕘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments