NovelToon NovelToon

Reflection, The Black Rose

Bab 1

Musim semi telah tiba, bunga bermekaran dan cuaca menjadi lebih hangat. Taman mulai ramai di kunjungi begitupun Festival yang diadakan di beberapa tempat. Tawa riang bersaut-sautan, kegembiraan memenuhi kota itu. Seorang perempuan tersenyum melihat kedua orang tuanya berlomba di atas panggung. Ketika keduanya berhasil melewati semua tantangan, mereka berteriak girang, semua orang menyambut kemenangan. Perempuan itu mengambil hadiah dari ibunya dan berlari pelan sampai ke tempat duduk mereka, menjadi tidak sabar tergambar pada ekspresinya. Ayahnya hanya menggeleng kecil, lalu dielus lembut kepala anak gadisnya.

"Hadiahnya semakin baik setiap tahun." Katanya ketika Ri anaknya mengeluarkan barang dari bungkus kado merah. Sang istri pun mengangguk, dia membenarkan perkataan suaminya. Tetapi tidak dengan anak perempuan itu, dia tampak kecewa. Hadiah yang di dapat sepertinya tidak memenuhi harapan. Baik Lien dan Pham tersenyum kecil, anaknya memiliki banyak ekspresi dan semuanya diperlihatkan dengan jelas. Pham menarik pelan lengan Lien.

"Ada apa Ri?" Tanya Lien kepada sang Putri.

Dia menghela nafas pelan. "Sepertinya hadiah ibu dan ayah tertukar, bisakah kita bertanya pada panitia?" Kata Ri.

"Memangnya, hadiah apa yang Ri harapan? ayahnya ikut bertanya.

Perempuan 22 tahun itu terdiam dan menunjuk spanduk di sebelah panggung. Ayahnya mengerti, dia tersenyum lalu merangkul bahu Ri. Dia menjelaskan bahwa panitia kehabisan stock hadiah jadi mereka menggantinya dengan barang lain. Dia sudah diberitahu sebelumnya dan setuju dengan keputusan itu. Ibunya ikut duduk disamping Ri. "Bagaimana jika kita pergi melihat festival lainnya, mungkin hadiah yang Ri inginkan ada disana?" Saran itu cepat mendapat persetujuan sang ayah.

Tapi Ri menggeleng. "Tidak ibu, bagaimana jika kita pergi makan? Sebenarnya, aku juga tidak begitu menginginkan hadiahnya, hanya saja mereka sudah berjanji, janji itu ada untuk di tepati." Yah, Ri benar. Janji itu berat, berat dalam segala hal. Ketika seseorang berjanji, ada harapan yang tersemat dan harapan itu lenyap karena kecewa. Dia pernah mengalaminya, pahit janji yang tidak terpenuhi membekas sampai hari ini. Lebih baik bagi Ri untuk tidak membuat janji agar tidak ada rasa sakit ketika dia tidak bisa memenuhi ekspektasi orang. Harapan menjadi sia-sia, berharap pada manusia memang menyakitkan. Jangan!

Ri kecil, hidup dalam pelarian. Setelah ibunya melahirkan, dia lari membawa seorang bayi ke Vietnam untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Layak dalam pendidikan dan lindungan tumbuh yang baik. Selama pelarian itu, setiap tahun mereka harus berpindah tempat. Hal tersebut membuat Ri tidak memiliki banyak teman. Dia harus beradaptasi lagi dan lagi. Ri kecil lelah tapi selalu bahagia. Ketika umurnya 11 tahun, dia mendapat kabar bahwa ibunya meninggal dunia. Dunianya runtuh, Ri kehilangan dirinya. Sejak saat itu, dia menanam kebencian mendalam terhadap Pria bernama Cho Min Sik. Pria itulah yang menjadi penyebab semua kekacauan dalam hidupnya. Ri pernah berjanji, dia tidak akan pernah melihat ayahnya meski pria itu mati.

Ri lega. Meski tahun-tahun pertama sangat berat, dia akhirnya ikhlas melepaskan. Berharap ibunya memiliki tempat terindah. Setiap hujan di malam hari Ri selalu duduk di teras balkon kamar untuk memandang langit atau sekedar berbicara dengan sebuah foto usang, seolah-olah dia berbicara kepada ibunya, bercerita tentang kegiatan dia disekolah dan bagaimana kehidupannya selama ini. Setidaknya Ri merasa sedikit terhibur.

"Ri kenapa melamun?" Tanya Lien.

Perempuan itu menggeleng lalu tersenyum sembari menggandeng lengan ibunya. Dia merasa beruntung masih memiliki orang tua angkat yang baik. Tidak pernah sekalipun mereka memperlakukan Ri dengan buruk. Bahkan keluarga inti Lien dan Pham selalu menjadikan Ri sebagai kesayangan mereka. Perempuan itu mengingat kejadian saat dia berumur sekitar 6-7 tahun, Ri pulang dengan wajah memerah sehabis menangis karena perundungan yang dia alami di sekolah. Ketika itu, keluarga mereka sedang berkumpul, alhasil sekolah Ri dikepung oleh keluarga Pham dan Lien. Beruntung masalah itu berujung damai.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Hari Wawancara Kerja

Ri berada di tangga terakhir ketika Ayahnya keluar dari kamar. "Waah, putri ayah cantik sekali!" Sahutnya bangga. Ri tersenyum lebar menyambut hangat pujian itu.

Ri akan menghadiri wawancara kerja sebagai guru tetap di Sekolah Menengah Pertama di area perumahan dia tinggal. Di atas meja sarapan sudah tersedia, bahkan sepatu hitam miliknya diletakkan di depan pintu. Ayah dan Ibunya begitu perhatian, dia menjadi terharu lagi.

"Makanan ibu memang selalu yang terbaik." Acungan jempol Ri di depan wajah sang ibu membuat wanita itu ikut tersenyum, senyum lebar.

Tidak sabar mencicipi masakan Lien, dia duduk terburu-buru dan mengambil semua hidangan lauk yang Lien buat. Melihat kebarbaran putrinya, Lien memperingatkan dengan lembut agar Ri lebih sabar dan tenang. Ri yang sudah memasukkan makanan ke dalam mulutnya hanya bisa mengangguk semangat.

"Pelan-pelan nak, kamu bisa tersedak."

Dia berusaha menjawab tetapi kemudian tersedak juga. Ibunya mengambilkan air putih dan mengelus punggung sang putri.

"Ibu sudah bilang pelan-pelan. Tidak ada yang akan mencuri makananmu." omel wanita itu karena kecerobohan anaknya.

Setelah sesi makan yang menghebohkan dengan adegan tersedak Ri berangkat ke sekolah. Di jalan dia bertemu dengan teman satu tesnya bernama Tam. Dia mengenal Tam ketika tes tahap awal, kebetulan mereka berasa di ruang yang sama dan sekarang mereka akan mengikuti tes kedua yaitu tes wawancara. Secara pribadi Ri berharap Tam bisa lolos dan menjadi guru di sana.

Dia mendengar cerita Tam dari seorang teman. Tam sudah lebih dulu lulus darinya, dia telah mencari pekerjaan di berbagai tempat tetapi selalu gagal karena universitasnya yang tidak terkenal. Kalaupun berhasil masuk, dia hanya bertahan selama beberapa bulan dan harus meninggalkan korporasi. Tam juga seorang yatim-piatu dan harus menghidupi adik laki-lakinya seorang diri.

Mendengar cerita seperti itu membuat hati Ri pedih. Dia selalu bersyukur memiliki orang tua. Ri tidak pernah memiliki masalah keuangan seperti yang di alami Tam. Ri merasa bangga walau bukan keluarga Tam, bagaimana wanita itu dapat bertahan dengan berbagai kesulitan. Patut di acungi jempol.

Merasa di tatap oleh Ri, Tam berbalik menatap balik Ri. "Kenapa?" Tanya Tam.

"Tidak apa-apa, aku berharap kau lulus." Tatapan dan ucapan tulus Ri membuat Tam tersenyum dan berterima kasih.

Tam tahu bahwa mereka adalah saingan yang memperebutkan posisi teratas, tetapi Ri adalah satu-satunya orang yang tulus mendoakan dirinya. Dalam hati Tam juga berharap jika mereka berdua bisa lolos dan menjadi teman baik di sekolah yang sama. Ketika pikiran melayang membayangkan hari-harinya bersama Ri, Bel berbunyi, semua murid masuk ke kelas masing-masing. Sementara Ri dan Tam berjalan di koridor menuju ruang wawancara di gedung administrasi. Berjalan di koridor membangkitkan ingatan Ri terhadap sekolahnya dulu. Di depan sana ada beberapa peserta wawancara, mereka menunggu waktu untuk di panggil.

"Silahkan duduk, kalian akan di panggil sesuai dengan nomor urut registrasi." Ucap petugas administrasi itu, dia memanggil salah satu diantara mereka.Tegang menyelimuti semua peserta tes. Salah satu dari mereka ada yang bolak-balik ke WC, saking gugupnya.

Meski punya banyak pengalaman rasa gugup tidak hilang dari diri Tam, dia meremas tangan erat. Sebelum dia memasuki ruang runggu, dia tidak merasakan kegugupan, entah mengapa ketakutannya bertambah apalagi dengan banyak tekanan.

Satu persatu peserta di panggil hingga mengisahkan dirinya dan Tam. Sebelum Tam di panggil masuk ke dalam ruangan, Ri menggenggam tangan wanita itu dan memberikan semangat kepadanya.

"Semangat! Tidak ada yang berakhir sebelum benar-benar berakhir!"

Tam menangguk sebagai jawaban. Dia mengeratkan pegangan tangan sebelum di lepaskan, kemudian dia masuk ke ruang tes. Tidak berapa lama menunggu, akhirnya giliran Ri yang masuk. Di dalam penguji melihat Ri dari bawah hingga ke atas, tetapi dia tidak gugup. Matanya langsung menatap mata penguji bergantian.

"Anda belum memiliki pengalaman, ini pertama kali anda melamar pekerjaan?" Salah satu dari mereka bertanya.

Ri mengangguk. "Ya bu, saya baru saja lulus tahun lalu."

"Apa yang menarik dari sekolah ini sehingga anda memutuskan mendaftar? Saya yakin dengan nilai ini anda bisa mendaftarkan di sekolah negeri." Tanya dia lagi.

Ri mengangguk, dia banyak mendengar pertanyaan seperti itu dari tetangga hingga teman-temannya. Dia tarik nafasnya dan menghembuskannya pelan. "Saya selalu melewati sekolah ini untuk berangkat kuliah, saat itu dari depan saya tidak melihat adanya perbedaan dengan sekolah lainnya di daerah ini. Suatu hari, baliho terpajang di depan gerbang. Saya masih ingat tulisannya, Jangan malu melakukan kesalahan karena itu bisa membuat orang belajar dan jangan pula merasa tidak malu dan menutup mata pada tindak buruk yang merugikan orang lain, karena hal itu bisa membawa rasa sakit,"

"Setelah itu saya banyak membaca forum online tentang sekolah di daerah ini. Di dalam sana tidak ada satupun pembahasan negatif soal perekrutan guru tetap atau guru kontrak di sini. Bahkan ada komentar dari seseorang yang mengklaim dirinya sebagai mantan guru kontrak yang telah bekerja di salah satu universitas memuji sistem perekrutan sekolah ini. Saya rasa ini menarik."

"Menarik? Bukan karena anda menyukai mengajar anak-anak atau mencari pengalaman?" Ujar Penguji yang berada di tengah.

"Ketertarikan saya ini bisa digunakan untuk mengajar anak-anak dan mencari pengalaman. Saya harus tertarik untuk bekerja dengan baik."

Penguji terkejut mendapat pendapat seperti itu. Ada dari mereka yang kurang setuju dan menyepelekan dengan menutup resume Ri, ada juga yang tersenyum mendengar jawaban jujur peserta wawancara.

Ri hanya berharap pada takdir, dia tidak tahu apakah jawaban jujurnya itu bisa menghantarkan dia masuk ke sekolah atau malah menjadi bumerang yang tak terlihat akan menyudahi rasa ketertarikannya pada sekolah itu. Dia permisi keluar setelah sesi wawancara selesai.

🕙

Bab 2

Ri mulai bosan, dia sudah mengerjakan pekerjaan rumah, mulai dari membersihkan ruangan dan mencuci piring kotor. Bolak balik dari atas ke bawah begitupun sebaliknya. Lalu, dia mencoba peruntungan dengan bermain game di ponsel, belum sampai sejam dia sudah kembali ke mode awal. Tidak lama ponselnya berbunyi, group chat angkatan yang di mulai dengan pesan Van menjadi heboh mendapat tanggapan dari banyak alumni. Pembahasan tidak jauh soal pekerjaan, ada yang merekomendasikan tempat magang, ada yang tidak perduli bisa bekerja atau tidak, ada juga yang membalas dengan undangan pernikahan dan banyak lagi. Ri bertambah bosan, dia meletakkan ponsel yang masih berbunyi itu di atas meja.

"Kalian telat, aku sudah wawancara kerja." Katanya pelan.

Setelah lama melamun, Ri mendapat ide untuk mengunjungi restoran. Perempuan itu memeriksa Jam dinding masih menunjukkan pukul 8 PM, dengan cepat dia bersiap-siap dan berangkat menggunakan sepeda motor. Di jalan, Ri bersyukur menggunakan jaket, jika tadi dia terburu-buru, mungkin ketika sampai di restoran dia akan menggigil, udara malam sangat dingin membuatnya merinding. Setalah 15 menit berlalu, Ri memarkirkan motornya di parkiran yang disediakan restoran. Dia berjalan masuk dari pintu samping, melewati gudang penyimpanan. Menengok kanan-kiri, melihat ruangan serta keadaan restoran yang sudah lama tidak dia kunjungi.

Sekitar 2 tahun belakangan, Ri selalu di rumah dan hanya keluar ketika ada keperluan penting seperti kuliah dan melakukan aktivitas social lainnya. Dia tidak pernah mengunjungi restoran, semua itu disebabkan oleh kejadian mengerikan di masa lalu. Kedua orang tuanya merasa khawatir setiap kali Ri berada di luar, bayangan-bayangan darah menyelimuti anak perempuannya masih jelas dalam ingatan Pham dan Lien. Ri bukan melupakan tragedi yang menimpanya, dia hanya berusaha tidak terintimidasi meski setiap malam masih bermimpi hal yang sama. Saat bangun, dia akan menangis dan berdoa untuk orang yang menolongnya. Di dunia yang luas ini, Ri berharap penyelamatnya akan hidup dengan baik dan bahagia, lebih bahagia darinya.

Kala itu, langit senja mulai menggelap ketika dia pulang dari kampus. Dalam perjalanan kembali kerumah, dia mendapat pesan bahwa ibu dan ayahnya sedang berada di restoran. Ri bermaksud menjemput orang tuanya agar mereka bisa pulang bersama. Dipertengahan jalan menuju restoran Ri melihat seorang Kakek yang mengalami kecelakaan. Tanpa sadar, dia berlari untuk membantu, karena terburu-buru, dia tidak melihat bus dari arah berlawanan sedang melaju kencang. Ri terhempas jauh menghantam aspal.

Jarak lokasi kecelakan dan restoran tidak begitu jauh, sekitar 30 meter. Saat kecelakaan terjadi pegawai yang datang untuk shift malam kebetulan melalui jalan tersebut dan melihat sebagian kecelakaan, sigap dia menelepon ambulan dan memberi kabar kecelakaan yang dialami Ri kepada bosnya. Tubuh Pham kaku dan Lien pingsan. Sanchez membantu pham datang kerumah sakit. Karena melihat kondisi mengkhawatirkan anaknya, setelah pertolongan pertama di rumah sakit, dia berniat membawa Ri ke Amerika tetapi Dokter belum mengizinkan. Keluarganya menunggu dengan cemas.

Barulah Setelah 3 minggu berada di rumah sakit, dia di pulangkan. Saat itu juga Ri langsung berangkat ke Amerika dengan orang tuanya. Dokter terbaik dari berbagai spesialis telah dia temui. Selama setahun penuh dia harus melakukan penyembuhan dan perawatan untuk kembali normal. Sementara orang yang telah menyelamatkan Ri tidak diketahui keberadaannya. Malam itu, orang tua Ri ingin menjenguk sang penolong tapi dokter mengatakan bahwa pasien itu telah dipindahkan oleh keluarganya. Mereka belum berterima kasih, jika waktu itu dia tidak ada, Ri mungkin dalam keadaan lebih parah dari ini. Pham hanya bisa berdoa semoga orang itu baik-baik saja. Ri pun tidak mengingat rupa sang penolong, sebab kejadian yang begitu cepat atau karena dia mengalami trauma Pasca kecelakaan

Perkara-perkara mengkhawatirkan itu makanya orang tua Ri tidak pernah mengizinkan anaknya keluar seorang diri ke restoran atau pergi terlalu jauh dari rumah. Mereka masih mengingat bagaimana tubuh Ri saat itu. Hati Pham dan Lien sakit.

🕗

Ri melihat kedua orang tuanya yang sibuk, ayahnya sedang melayani pembayaran di kasir lalu ibunya mengajari pelayan baru mengambil pesanan. Dia masuk ke ruang ganti wanita, secepat kilat mengganti bajunya dengan seragam yang di gunakan pelayan resto. Sesaat setelah Ri keluar dari ruangan, kedua orang tua Ri melihat wanita itu dan terkejut. Ayahnya terdiam sebentar dan melanjutkan pekerjaannya di kasir, dikarenakan ada pelanggan tepat di depan tetapi matanya menatap tajam sang anak yang terburu-buru mencari kesibukan.

Pelanggan restoran mulai berdatangan, Ri mengambil kesempatan untuk terlihat sibuk agar dia tidak diceramahi.

"Baik, ditunggu." Ramah Ri kepada pelanggan setelah dia mencatat banyak pesanan.

Di bawa catatan itu ke dapur dan digantung agar chef restoran dapat melihatnya dengan jelas.

"Meja nomor 3, pesanannya sudah masuk." Suaranya agak di tinggikan.

Ketika kakinya kembali melangkah, sang ibu sudah berada di depan bersedekap. Ri canggung menggaruk belakang lehernya. "Ibu, pelanggan kita menunggu daftar menunya." Ucap dia agar terhindar dari amukan wanita itu.

"Naik apa kesini? Jangan bilang kamu naik motor!" mata ibunya melotot.

Ri terdiam, mati dia.

HE HE HE

Tawa canggung itu dapat didengar oleh semua karyawan yang berada di dapur. Takut, Ri menunjuk motornya dari pintu kaca di sebelah. "Naik motor bu, kasihan motornya tidak di pakai."

Setelah jawaban itu meluncur dari mulut manisnya, Ri mendapatkan hadiah sebuah ketukan kecil dikepala. Walau tidak sakit, Ri menutup sedikit matanya sebelah. Dia ingin berkomentar tetapi perkataan Pham menghentikan gerakan bibirnya.

"Sudah, diluar banyak pelanggan," Tegur Pham pada istrinya. Lalu dia beralih melihat Ri. "Duduk, jangan berlarian." Katanya seolah-olah Ri adalah anak kecil.

Cemberut bibirnya dia tarik ke depan. "Ayah ini, Ri sudah besar." Sanggah dia.

Dari luar ada pelanggan yang memanggil meminta menu. Ri berlari kecil meninggalkan keduanya orang tuanya untuk mengambil pesanan. "Ya, saya datang."

Pham Minh Thien dan Mai Lien Nguyen saling pandang. Mereka sama-sama setuju, bahwa sudah saatnya Ri kembali memulai hidupnya. Setelah 2 tahun mereka mengurung anaknya karena khawatir.

"Dia sudah sebesar itu, aku belum rela jika dia harus menikah." Lien mendadak membahas masalah yang sama sekali tidak ada korelasinya, dia tiba-tiba saja merasa sedih memikirkan masa depan anaknya.

Random lagi kata Pham dalam hati. Dia berusaha menimpali perkataan istrinya. "Jadi anak kita tidak perlu menikah?" Tanya Pham.

Lien mengangguk, lalu dia menggeleng. Apa aku bilang, random sekali kata Pham dalam hati.

"Jadi Ri boleh menikah atau tidak?" Tanya pham kembali, menggoda istrinya.

Dari dalam Chef sanchez bergabung dengan percakapan. "Paman, Bibi En bisa tidak tidur semalaman suntuk."

Pham setuju, dia melihat Sanchez dan mengangguk. Istrinya selalu seperti itu, dia khawatir Ri tidak bisa menemukan pendamping tapi jika dia di tanya soal pernikahan Ri dia juga belum siap melepaskan anak gadisnya.

"Saya mau jodohin Ri sama Chef tapi Chef sudah punya istri, gimana dong?" Kata En yang menggoda balik Chef terbaik di restorannya.

Sanchez tertawa, dia dan Ri memang pernah di jodoh-jodohkan oleh orang tua Ri dan karyawan Resto. Jika saat itu Ri mengiyakan ajakan Sanchez untuk menjalin hubungan mereka sudah pasti menikah. Tetapi Ri belum berpikir untuk menjalin hubungan dengan siapapun. Dia masih muda dan masih ingin bersenang-senang bersama orang tuanya, itu alasan Ri ketika ditanya soal pernikahan.

Dari belakang, seorang wanita berpakaian pelayanan bicara dengan intonasi lucu, dia sedang bercanda bersama keluarga jauhnya. "Itu sih salah Ri, saya awalnya tidak punya kesempatan. Eh, memang jodohnya saya." Ucap dia membuat karyawan dapur geli sendiri.

"Iya iya, memang jodoh kamu." Ri datang dengan 3 lembar kertas pesanan. Dia menempelkan di dinding. "Pesanan masuk." Teriak dia, teriakan itu dia tujukan ke telinga Lan Anh.

Wanita bernama Lan Anh menutup telinganya. Dia mengaduh kepada suaminya, Chef Sanchez. "Sayang!"

Sanchez hanya tersenyum. Begitupun Pham dan Lien. Mereka sudah sering melihat tingkah bar-bar dua anak perempuan itu. Ri dan Lan Anh adalah sepupu jauh. Keduanya sudah bertemu sejak kecil dan menjadi teman main.

"Ih pengaduh, huh!"

Ri mengibaskan kain serbet bekas lap piring ke wajah Lan Ahn. Mencium bau-bau apek basah kain membuat wajah Lan Ah berkerut. Tidak terima dan bermaksud membalas, di kibaskan rambut yang masih pendek untuk mengenai sepupunya itu tapi sayang sekali Ri menghindar, melihat itu, Ri tertawa agak keras. Tidak kena!

Ketika sadar bahwa pelanggan Resto akan terganggu dia menutup cepat mulutnya dan pergi dari sana sembari cekikikan. Lan Ahn kalah lagi. Wanita berambut pendek itu menghentakkan kaki lalu masuk ke dapur. Dia mengambil makanan yang sudah jadi untuk di bawa ke depan. Walau sedang bermain dengan Ri, dia tidak melupakan tugasnya.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Bab 3

Korea, Incheon 02:00 AM

Pria berjas berdiri di depan makan yang basah karena hujan semalam. Dia menggenggam bunga berwarna hitam dan putih, genggaman itu semakin kencang dan mematahkan tangkai bunga mawar membuat beberapa bunga itu jatuh ke tanah. Mata tajam, bibirnya mengatup rapat dan nafas yang memburu.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Waktu menunjukkan pukul 12 malam, Restoran itu sudah tutup. Semua peralatan dan perlengkapan sudah selesai dibersihkan. Ri duduk menghadap ke jendela, melihat pohon bonsai yang tumbuh besar di dalam pot keramik yang di desain dengan ukiran-ukiran khusus. Dia masih ingat pohon bonsai ini adalah pemberian dari ibu kandungnya saat pembukaan restoran orang tua angkatnya. Sudah lebih dari 20 tahun.

"Apa yang anak perempuan ku pikirkan?" Tanya Pham. Mengelus surai indah anaknya dengan sayang.

"Ayah, apa aku pernah menyulitkanmu dan ibu?" Tiba-tiba Ri bertanya membuat sang ayah melihatnya dengan serius.

Pham menggeleng. "Tidak, Ri selalu menjadi anak yang patuh sejak kecil. Kenapa bertanya begitu nak?" Pham mendekat duduk di samping Ri. Dia menggenggam tangannya.

"Saat orang itu datang kesini, kalian tidak meninggalkanku dan tetap memperlakukan aku sama seperti sebelumnya. Aku hanya merasa itu bagai mimpi, mimpi indah."

Katanya sedih, Ri ingat semuanya.

Pembicaraan mereka begitu dalam. Saat Pham akan menjawab, Lein Nguyen datang dari dapur, dia mendengar sedikit perkataan Ri dan Ikut nimbrung dalam pembicaraan.

"Mimpi indah apa?" Sahutnya.

Kedatangan tiba-tiba istrinya memberikan Pham sebuah ide. "Ah, ibu dengar? begini, anakmu bermimpi akan menikah." Ujar Pham.

Di sebelahnya Ri tertawa. Sudah jelas, ayahnya menggoda. Lien menatap tajam Pham dan mendekat kearah Ri.

"Sayang, itu mimpi indah benar. Tapi jangan terburu-buru. Oke?" Kata Lein.

"Ibu, ayah menggodamu!"

"Ibu tahu!"

Mereka tertawa, sampai lupa karyawan masih berada di Resto. Lan Ahn dan suaminya datang dari arah ruang ganti dan pamit pulang pada paman dan bibinya. Sebelum keluar dari pintu, Lan Ahn menjulurkan lidahnya ke arah Ri. Ri tertawa menyadari sepupu jauhnya itu belum membalas apa yang dia lakukan tadi. Karyawan yang lainnya juga sudah pulang bersamaan dengan kepergian karyawan dapur.

Lampu di matikan, Pham M thien meminta istri dan anaknya keluar. Lien dan Ri masuk ke dalam mobil lebih dahulu lalu mereka menunggu di depan sementara Pham mengunci pintu kaca. Motor Ri tidak dibawa pulang, dia ditinggalkan di sebelah restoran, tempat biasanya karyawan parkir kendaraan. Tempatnya aman, Ri tidak khawatir.

"Besok libur, bagaimana kalau kita piknik?" Saran Pham di dengarkan dengan baik oleh istrinya.

Ri berharap ibunya mengizinkan. Dia menggenggam erat telapak tangannya dengan mata berbinar-binar. Saat Lien mengangguk Ri lega, dia sudah lama tidak keluar rumah selain urusan sekolah dan pekerjaan.

Lien sedikit dilanda rasa cemas, rasa takut itu tidak bisa menghilang walau dengan sekali mengambil keputusan. Melihat tatapan berharap dari Ri dan ketika dia setuju anaknya bergembira, terlihat jelas dari ekspresinya. Dia juga ikut senang.

Malam itu Ri tidur sekitar pukul 4 pagi, sehabis mandi dia menyiapkan segala perlengkapan pribadinya termaksud kamera digital yang akan dia gunakan memotret. Ri bersemangat untuk pertama kalinya dia keluar bersenang-senang. Sebelum tidur, dia menghabiskan waktu berselancar di dunia maya.

Lalu, di atas layar muncul notifikasi dari salah satu aplikasi pesan berwarna hijau, tertera nama Tam.

Tam memberinya informasi soal komentar di salah satu forum online berjudul 'Sekolah tanpa ID' Dia baru pertama kali mendengar forum itu jadi Ri memeriksanya. Di dalam forum itu terdapat komentar mengenai perekrutan yang tidak transparan dari sekolah yang baru saja dia datangi untuk wawancara.

Bias, untuk pertama kalinya dia mendengar ada hal seperti itu. Ri menarik layarnya ke atas dan melihat banyak komentar negatif. "Siapa yang membuat forum ini?" Katanya. Kemudian dia melihat profil dan mengirim pesan kepada orang itu.

Dalam pesannya, Ri bertanya dari mana dia mendapat informasi. Sesaat dia ragu, orang yang memposting informasi itu mungkin adalah saingan atau memang dia memang pernah bekerja disana dan melihat kecurangan. Tapi kenapa baru sekarang? Saat semua orang memilih sekolah itu menjadi sekolah paling banyak di tuju.

Namun, dia tidak mendapat balasan apapun setelah lama menunggu. Ri juga melihat keanehan dari forum itu. Dia banyak memposting informasi menjelekkan sekolah tapi tidak satupun membalas pertanyaan orang-orang di dalam forum. Jika memang dia berniat membuka tirai buruk dan membantu orang-orang, seharusnya dia memberikan feedback agar mereka yang telah mendaftarkan dengan harapan diterima bisa memiliki gambar jelas, tapi orang ini berbeda.

Ri hanya punya 2 jawaban. Yang pertama, orang yang membuat akun itu benar tapi takut indentitasnya terbongkar karena dia merupakan orang dalam atau yang ke dua, dia berbohong sebab sakit hati karena tidak diterima dan memalsukan informasi. Dia berpikir banyak kemungkinan sampai ponselnya berbunyi. Di layar ponsel nama Tam tertera, dia sedang memanggil.

"Halo?" Sapa Ri.

"Kau sudah tahu siapa orangnya?" Tanya Tam dari sisi lain.

"Tidak, itu aneh. Jangan percaya pada forum itu. Coba kamu perhatikan, semua pertanyaan tidak pernah di jawab. Jika dia ingin membantu seperti yang dia katakan di awal postingannya seharusnya dia berusaha membalas dan menjelaskan secara detail. Tapi orang itu tidak melakukannya, bukankah dia aneh?"

Wajah Tam di latar terlihat khawatir, dia melakukan yang terbaik untuk kedua tes tapi jika memang ada kecurangan, apa yang harus dia lakukan? Ri melihatnya. Tentu Tam khawatir, dia sudah mengatakannya sejak awal perekrutan.

"Sudah aku bilang jangan khawatir. Kau melakukan yang terbaik, tunggu saja."

Ujar Ri menarik kekhawatiran Tam menjauh.

Tam menatap Ri melalui layar, dia menganggukkan kepala. "Kau benar, aku terlalu sensitif soal itu. Kau tahu, ini kesempatan terakhirku sebelum benar-benar menyerah."

Ri tersenyum kecil. "Lakukan yang terbaik, kita masih punya kesempatan sampai akhir." Kata Ri.

Mereka menghabiskan 1 setengah jam berbicara di telepon. Tam menyudahi percakapannya karena besok dia harus bekerja di swalayan. "Aku berharap ini bukan kali terakhir. Kau sudah mengejar mimpimu selama bertahun-tahun, jangan menyerah karena batu kecil di jalan." Motivasi sebelum Ri benar-benar menutup sambung itu.

Ah, helaan nafas itu terasa berat. "Aku berharap Tam lolos."

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Pagi mengembang, cerah tak nampak. Sejak subuh tadi air dari langit turun tak henti hingga pukul 7 pagi. Pham dan Lien sudah khawatir pada sang anak yang masih terlelap dalam tidurnya. Anak perempuan itu tertidur cukup lelap sehabis begadang, apalagi hujan ini menambah lelap berkali-kali lipat. Matanya memiliki lem kuat.

Orang tuanya pun tak membangunkan dirinya, mereka memandang hujan yang semakin deras di dalam melalui jendela kaca. "Kapan hujannya redah istriku?"

Sang istri menoleh. "Aku bukan tuhan, mengapa bertanya?" Kata dia. Sang suami yang tersentak, lantas berbalik. Dia tidak bermaksud seperti itu, sepertinya dia salah lagi.

Lien menyingkap sedikit jendela, percikan air masuk ke dalam membuat matanya berkedip beberapa kali. Lalu dia kembali menutupnya. "Sepertinya akan lama, apa tidak sebaiknya kita membangunkan anak itu?"

Mendengar usulan Lien Nguyen, Pham menggeleng. "Apa dia akan sedih?"

Sekarang giliran sang istri yang menggeleng. "Tida akan, hujan turun dari langit. Itu sesuatu yang tidak bisa kita prediksi. Ayo bangunkan saja." Saran dia lagi.

Dia benar. Sang ayah naik ke kamar anak perempuannya. Dia mengetuk sebanyak 3 kali, lalu masuk ke dalam. Lampu belum menyala, tirai juga masih tertutup rapat, gelap. Sebelum tangannya menyentuh saklar lampu, pergerakan dari kasur mengalihkan matanya.

"Ayah?" Panggil Ri.

Lalu dia nyalakan lampu. Gelap menjadi terang, mata Ri belum menyesuaikan cahaya yang masuk sebab itu dia menutup matanya sebentar. "Akkh, sudah jam berapa, aku lelat bangun?" Tanya dia.

Ayahnya menggeleng. "Baru jam 7 pagi, tapi-" Dia jalan ke arah jendela, menarik gorden berwarna abu-abu ke ke kanan. Ri turun dari ranjangnya dan melihat suasana di luar sana. Hujan. Cepat, kepalanya berputar menengok sang ayah. "Hujan?"

Ri mundur dan duduk di pinggi kasurnya. Matanya fokus menatap jendela yang basah. "Ah, hujan. Aku pikir hari ini akan cerah seperti kemarin." Lesu.

"Ya, seperti itu keadannya nak. Bagaimana, mau turun sarapan atau mau lanjut tidurnya?" Ayahnya mengelus rambut panjang Ri.

"Mau sarapan." Ri masuk ke kamar mandi, cuci muka dan turun bersama ayahnya.

🕖

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!