Hari Pernikahan

 Pernikahan antara Gavin dan Meera dilaksanakan dengan mewah, menyajikan nuansa yang megah dan elegan. Tempatnya dipilih di sebuah gedung pernikahan bergengsi dengan dekorasi yang anggun. Bunga-bunga segar menghiasi setiap sudut, dan lampu-lampu berkilau menciptakan suasana romantis yang memikat.

Meera mengenakan gaun pengantin berwarna putih yang indah, dilengkapi dengan veil panjang yang menambah kesan anggun. Gavin, di sisi lain, tampil menawan dalam balutan jas berwarna hitam.

Acara tersebut dihadiri oleh keluarga dan teman dekat, serta beberapa rekan bisnis dari kedua belah pihak, memberikan nuansa formal namun tetap hangat.

Para tamu yang hadir saling berbisik, mengomentari tentang kemewahan acara, dekorasi yang menawan, serta pengantin yang menghiasi ruangan dengan senyuman anggun. Mereka melihat Meera mengenakan gaun putih berkilau, terbuat dari bahan terbaik dan dirancang dengan penuh perhatian. Bagi mereka, ini adalah pernikahan yang diimpikan banyak wanita, sebuah momen yang penuh dengan kebahagiaan dan cinta.

Di sudut-sudut ruangan, para wanita berbagi pandangan penuh iri dan kagum, membayangkan betapa sempurnanya hidup Meera. Mereka membayangkan kehidupan setelah pernikahan yang dipenuhi dengan cinta dan kebahagiaan, tanpa menyadari bahwa Meera sesungguhnya terjebak dalam sebuah kontrak yang tidak memberikan ruang untuk mimpi-mimpi itu. Semua tampak sempurna, namun kebenaran yang pahit terpendam dalam kesunyian.

Makanan mewah disajikan dalam jumlah melimpah, sementara alunan musik lembut mengisi ruang. Momen-momen berharga, seperti saat pengantin memasuki ruangan dan pertukaran janji setia, diabadikan oleh fotografer profesional.

Namun, di balik kemewahan tersebut, terdapat ketegangan dan keraguan yang tidak terlihat oleh para tamu. Meera yang menyimpan beban dipundaknya, ia tahu bahwa perjalanan ke depan tidaklah sederhana.

Bagi Meera, pernikahan ini bagaikan rantai yang mengikat kakinya, membelenggu kebebasan dan impian yang selama ini ia idamkan. Meskipun di luar, semua tampak sempurna dan meriah, di dalam hati Meera merasakan kepedihan yang mendalam. Ia merasa seolah terperangkap dalam komitmen yang tidak pernah ia inginkan, terpaksa menjalani kehidupan yang ditentukan oleh orang lain.

Setiap detik dari perayaan itu, ia merasakan tekanan yang semakin kuat, seolah rantai tersebut semakin mengikat erat. Ia mengenang mimpinya untuk menemukan cinta sejati, sebuah hubungan yang tulus dan penuh kasih. Namun, semua itu kini terasa samar, tenggelam dalam tuntutan dan ekspektasi yang membebani bahunya.

Meera berusaha menyembunyikan perasaannya, berpura-pura bahagia di hadapan tamu-tamu yang merayakan kebahagiaan yang seharusnya ia rasakan.

Namun, di balik senyumnya yang ceria, ada secercah kerinduan yang menyiksa. Ketika iringan musik menggema di ruangan, Meera teringat akan mimpi-mimpinya yang hancur, bayangan tentang cinta yang tulus dan saling memahami. Setiap kali ia melirik Gavin di sampingnya, ia merasakan jarak yang jauh di antara mereka, meskipun fisik mereka berdekatan. Gavin, dengan segala ketegasan dan ketidakpastian nya, tidak bisa memberikan kehangatan yang ia harapkan.

Meera pun sering menutup mata, membayangkan dirinya berada di tempat lain, menjalani kehidupan yang bebas dan penuh warna. Ia membayangkan senja yang tenang di tepi pantai, tawa riang bersama teman-teman, dan cinta sejati yang saling melengkapi. Semua ini terasa jauh, seperti ilusi yang tak terjangkau, sementara ia terperangkap dalam rutinitas pernikahan yang ditentukan oleh orangtuanya.

Hati Meera berdenyut, saat seorang wanita cantik memasuki ruangan pesta dan mendekati mereka. Gadis itu bergelayut manja di lengan Gavin. Tidak ada penolakan, bahkan Gavin tersenyum. Mereka berdua berbicara dengan suara yang kecil, seolah saling berbisik. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi mereka tidak peduli dengan senyum getir di bibir Meera. Keakraban mereka sedikit mengusik hatinya.

Mereka berpelukan sebelum gadis itu beralih pada Meera.

"Selamat ya," ucapnya. Suaranya begitu lembut. Tampilannya yang cantik dan elegan, jauh berbeda dangan Meera. Ia tersenyum penuh makna, "ah aku dan kak Gavin cukup dekat, jadi jangan heran kalau kami terlihat begitu akrab."

Gadis itu juga memeluk Meera, namun dia membisikan sesuatu yang membuat Meera menunjukkan ekpresi keterkejutan.

"Kau hanya pelarian, pernikahan ini hanya sebagai balasan untuk membuat wanita yang di cintai kak Gavin kembali." Mata Meera sedikit membulat mendengar kalimat itu. Hatinya terasa begitu sakit. Siapa wanita ini, batin nya.

Gadis itu melepaskan pelukannya, lalu tersenyum dengan lembut dan berlalu pergi meninggalkan Meera dalam perasaan yang sakit yang tak bisa ia ungkap kan.

...

Saat acara berlanjut, Meera bertekad untuk menyimpan rahasia hatinya. Ia menganggap ini sebagai peran yang harus ia jalani, seolah-olah ia adalah aktris dalam drama kehidupan yang penuh intrik. Meskipun rasa tertekan semakin menggerogoti, ia tahu bahwa dalam keramaian ini, tak ada yang boleh melihat kelemahannya. Ia harus tampil sempurna, meskipun hatinya berontak melawan keadaan.

Di balik keramaian dan sorak-sorai, Meera berdoa agar suatu saat, ia bisa mematahkan rantai itu dan menemukan jalan untuk meraih kebebasan yang selama ini ia impikan.

Saat malam semakin larut dan tamu mulai meninggalkan acara, suasana di gedung pernikahan mulai sepi. Lampu-lampu yang sebelumnya berkilau terang kini tampak redup, menciptakan nuansa tenang namun melankolis. Meera berdiri di sudut ruangan, melihat tamu-tamu berpamitan satu per satu dengan senyum yang lelah.

Setelah acara benar-benar usai, Meera dan Gavin bergegas meninggalkan venue menuju apartemen yang selama ini di tempati Gavin seorang diri.

Hujan yang mulai reda menyisakan aroma segar di udara, dan lampu-lampu kota yang berkilau memberikan kesan romantis namun tetap membebani pikiran Meera.

Sesampainya di apartemen, Meera melangkah masuk, mengikuti langkah kaki laki laki di depannya itu. Hawa sunyi terpancar dari setiap sudut ruangan. Seolah menggambarkan sifat dari penghuninya.

Meera menyentuh lehernya yang terasa berat dan lelah. Meera ingin cepat cepat merebahkan tubuhnya di kasur.

Meera berdiri di depan pintu kamar utama, jantungnya berdebar saat tangannya meraih handle pintu. Namun, sebelum jari-jarinya menyentuhnya, suara Gavin yang tegas dan dingin menghentikan gerakannya.

"Itu kamarku," ujarnya tanpa emosi, suaranya seolah terbuat dari es. Meera mendapati tatapannya yang tajam, seolah mengingatkan bahwa batasan telah ditentukan. Gavin lalu mengarahkan jarinya ke arah kamar kecil di samping dapur, dengan lorong yang tampak suram dan sempit. "Kamu bisa tidur di sana," katanya, nada suaranya tidak memberi ruang untuk perdebatan.

Rasa canggung mendera Meera. Meskipun dia tahu pernikahan ini adalah perjanjian yang dingin, cara Gavin berbicara membuatnya merasa seperti seorang tamu yang tidak diinginkan.

Pandangannya melintasi ruang sempit itu, membayangkan malam-malam sepi di dalamnya, jauh dari harapan yang mungkin dimilikinya. Gavin kembali berbalik, meninggalkannya dengan suasana dingin yang menyelimuti ruang tersebut, seolah menyiratkan bahwa perasaannya tidak penting dalam kesepakatan ini.

Meera menghela napas, merasakan kekosongan di dalam dadanya saat Gavin berlalu pergi. Dia mengamati punggungnya yang tegap dan tidak terpengaruh, seakan-akan semua ini adalah hal yang biasa. Dia mengingat betapa ia ingin menjalin ikatan yang lebih dari sekadar kontrak, tetapi setiap kali dia melihat Gavin, harapannya terasa semakin menjauh.

Dengan langkah pelan, Meera beralih ke kamar kecil yang ditunjuknya. Ruangan itu terasa lebih gelap dibandingkan dengan kamar utama, dan aroma kayu yang lembap menyambutnya.

Dindingnya tampak tua, catnya mengelupas, menciptakan kesan suram yang membuat hatinya semakin berat. Meera melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya, seolah menutup dunia di luar yang dingin dan tak ramah.

Dia memeriksa sekeliling, menemukan tempat tidur kecil dan meja sederhana yang berdebu. Ruangan ini tampak tidak pernah dihuni dengan sepenuh hati. Mungkin ini adalah cerminan dari kehidupannya sendiri—terjebak dalam rutinitas yang monoton, tanpa kasih sayang dan perhatian. Dia duduk di tepi tempat tidur, memikirkan keputusan yang telah diambilnya, merasa seolah dirinya hanyalah pion dalam permainan yang tidak ada ujungnya.

Di luar, dia bisa mendengar suara Gavin berbicara di telepon, nada suaranya tetap dingin dan tegas. Meera menyandarkan punggungnya ke dinding, berusaha menenangkan pikirannya. Kenapa ia merasa terjebak dalam situasi ini?

Meera tahu, pernikahan ini bukanlah tentang cinta; itu adalah perjanjian untuk menyelamatkan perusahaan keluarganya. Namun, dalam hatinya yang terdalam, ia masih berharap ada jalan untuk menciptakan sesuatu yang lebih dari sekadar kesepakatan ini. Dan meskipun Gavin terlihat tidak peduli, Meera merasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik dinginnya—sebuah luka yang mungkin sama besarnya dengan yang dia rasakan.

Sambil menatap langit-langit, Meera berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia bisa bertahan. Namun, saat malam semakin larut, kerinduan untuk berbagi momen, bahkan yang sekecil apapun, dengan Gavin tetap menghantui pikirannya. Apa mungkin dia akan pernah mengenal pria di balik sikap dinginnya itu?

...

Gavin berbaring di ranjangnya yang terasa dingin, namun mata dan pikirannya tak mau beristirahat. Meski tubuhnya lelah, gelisah yang mengganggu membuatnya terjaga.

Tanpa pikir panjang, ia mengambil sepatu larinya dan keluar dari apartemen, memilih melampiaskan kegelisahannya dengan olah raga di bawah langit malam yang gelap, berharap langkah-langkahnya mampu mengusir kekacauan yang terus berputar di kepalanya.

Udara malam menusuk kulit, menambah dingin pada hati yang sudah lama kaku. Langkah Gavin semakin cepat, menyusuri jalanan sepi dengan ritme yang nyaris tak teratur, seakan berusaha lari dari perasaan-perasaan asing yang tak bisa ia jelaskan. Dalam diamnya, ada pertanyaan yang berputar—tentang Meera, tentang pernikahan yang baru saja terjadi, dan tentang keputusan yang diambilnya. Mengapa ia setuju, padahal hatinya belum sembuh dari luka masa lalu?

Sesekali, ia berhenti, menatap ke arah langit yang penuh bintang, lalu menarik napas panjang, seolah berharap kegelapan malam bisa memberi jawaban. Namun, hanya kesunyian yang menjawab, memantulkan kembali kegelisahannya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!