perjanjian pernikahan

“ Selamat ya adik atas pernikahan mu.” Danu tertawa riang mendengar kabar bahwa ada pengusaha ternama

yang mau menolong perusahaan dan keluarganya. Meskipun harus mengorbankan kebahagiaan adik perempuannya itu. Tawa nya masih terdengar renyah sampai ia menaiki anak tangga. Tak peduli sama sekali dengan air mata adiknya.

Tubuh Meera bergetar, dia tertunduk dalam. Menatap lututnya sendiri, mencengkram jemarinya. Ia merasa marah. Dia ingin menolak pernikahan ini. Tapi sama sekali tak berani mengutarakannya. Bukan kah ia anak kandung, kenapa harus dirinya yang menanggung beban keluarga dengan alasan balas budi. Bukan kah kewajiban mereka untuk memberi makan dan membesarkan ku. Pikiran Meera berkecamuk. Dia membenci kedua orang tua nya dengan seluruh hidupnya.

“Pernikahan akan di laksanakan satu bulan dari sekarang. Hanya ini yang bisa menyelamatkan perusahaan dan keluarga kita. Jadi berkorban lah nak.” Ayahnya yang bicara sambil membelai kepalanya. Air mata Meera jatuh. Ia menunduk semakin dalam.

Nak? Anak yang kalian jual. Hah. Bagai mana kalian memutuskan semua ini tanpa meminta pendapatku. Bahkan kata terimakasih pun tak terucap dari mulut kalian.

“Permisi Tuan.” Bibi pengurus rumah sudah ada di depan mereka tanpa terdengar langkah kaki. “ Ada tamu, katanya utusan dari keluarga Anderson Tuan.” Setelah menyelesaikan kalimat nya bibi langsung pergi menuju dapur.

Ayah langsung bergegas merapikan pakaiannya begitu juga dengan ibu. Rapikan pakaianmu dan wajah mu dan segera lah menyusul. Begitu perintah ayahnya pada Meera tanpa menoleh dan buru buru pergi.

Meera menyusul keruang keluarga setelah berganti pakaian. Riasan tipis memoles wajahnya. Rambutnya ia biarkan tergerai. Di ruang tamu ia melihat ayahnya dan ibunya berbicara dengan berlebihan. Menjilat apa yang bisa di jilat. Tanpa rasa malu sedikitpun.

Laki laki itu langsung berdiri saat melihat kedatangan Meera. Ayah dan ibu juga ikut berdiri. Mereka dengan terpaksa menghentikan pembicaraan puja puji mereka.

“Saya akan membawa nona pergi Tuan. Tuan Muda ingin bertemu dengannya.”

“Baik sekretaris.” Ayah berjalan mendekati putrinya. Merangkulnya, membisikan sesuatu. “ Jaga sikapmu. Jangan sampai Tuan Gavin menolakmu.” Kemudian ayah tersenyum lagi. Mereka beriringan keluar rumah untuk mengantar Meera dan sekretaris Teo.

Sebelum menutup pintu mobil ibu bicara berbisik sambil melotot pada Meera. “ Jangan sampai kau berbuat sesuatu yang membuat Tuan Gavin menolak mu. Kau harus ingat ini satu satunya cara menyelamatkan keluarga kita.”

Mobil melaju memecah keramaian kota. Sekretaris Teo mengemudikan mobil dengan kecepatan stabil. Sementara Meera duduk di kursi penumpang, menatap keluar jendela melihat gedung gedung seakan berlarian meninggalkannya.

Aku ingin lari. Tapi kemana. Bahkan keluarga ku pun memaksaku pergi. Tak satu kali pun mereka bertanya apa yang aku inginkan. Impian seperti apa yang inginku capai. Dan seperti apa pernikahan impianku.

Mungkin memang ini kah takdir seorang gadis yang baru mekar ini. Berbalas budi atas kewajiban orang tua untuk membesarkannya.

Sambil menatap pohon pohon pikiran Meera berlarian entah kemana-mana.

.....

“Kita sudah sampai Nona, silahkan!”

Meera terjaga dari lamunannya. Dia berusaha menguasai diri. Sekretaris Teo sudah membukakan pintu. Di mana ini gumamnya. Tempat ini terlihat seperti restoran kelas atas. Deretan mobil mobil mewah terparkir dengan rapi.

Meera berjalan mengikuti langkah kaki sekretaris Teo. Tanpa bicara sepatah katapun dia memasuki restoran. Dia sedikit kesulitan menyamai langkah kaki laki laki di depannya. Kepalanya lurus kedepan, sementara mata nya melihat ke sekeliling.

“Silahkan masuk ke dalam Nona." ujar sekretaris Teo sambil membuka pintu ruangan.

Meera sudah duduk di dalam ruangan VIP selama beberapa menit, matanya berkeliling mengamati dekorasi restoran yang megah. Suasana tenang, dihiasi lampu-lampu gantung yang berkilau, tetapi di dalam hatinya, kegelisahan tak kunjung reda. Ini adalah pertemuan pertamanya dengan calon suaminya, dan meskipun ia tahu ini adalah hasil dari keputusan orangtuanya, ia tidak bisa menahan perasaan campur aduk yang menyelimuti dirinya.

Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka dan seorang pria memasuki ruangan. Meera tertegun sejenak, tak percaya pada apa yang dilihatnya. Pria itu tampak jauh lebih muda dan tampan daripada yang pernah ia bayangkan. Rambutnya gelap dan teratur, wajahnya tampak tegas namun lembut, dan senyumnya bisa membuat siapa pun melupakan semua kekhawatiran. Dia mengenakan jas yang sangat rapi, memberikan kesan bahwa dia adalah sosok yang penuh percaya diri dan berhasil.

Meera tidak dapat mengalihkan pandangannya. Dia mengira bahwa calon suaminya akan lebih tua dan mungkin kurang menarik, tetapi sosok di depannya ternyata lebih seperti seorang pangeran dari dongeng.

Meera buru buru membuang pandangannya saat mata mereka bertemu. Tatapan tajam yang sekelebat ia tangkap membuat tengkuknya merinding. Gavin mendekat dan segera duduk di hadapannya.

Gavin melemparkan map coklat yang sedari tadi ia genggam di atas meja. Tatapan dinginnya tak beralih sedikit pun dari wajah wanita di depannya. Di balik pandangannya yang tampak acuh, Gavin mengamati setiap sudut wajah dan ekspresi wanita itu, seolah ingin memahami kelemahan di balik ketenangannya.

Senyum tipis terbentuk di bibir Gavin, bukan senyum yang menyenangkan, melainkan senyum tipis yang penuh makna, seakan ia baru saja mendapatkan mainan yang bisa ia kendalikan sesuka hati. Sorot matanya penuh penilaian, tak menyembunyikan ketidakpuasan yang perlahan berubah menjadi rasa puas karena menemukan sosok yang tak berdaya di bawah kuasanya.

Meera tetap diam, meski tatapan Gavin terasa seperti belati yang menusuk, mencoba tetap tegar di bawah tekanan.

"Bacalah..." suara Gavin terdengar rendah dan tajam, seperti pisau yang mengiris sunyi di antara mereka. Meera merasakan tenggorokannya mengering, namun ia tidak menunjukkan kelemahannya di hadapan pria itu. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia meraih map coklat yang tergeletak di meja, membuka halaman pertama dengan perlahan.

Di sana, tertulis perjanjian pernikahan antara dirinya dan Gavin. Hitam di atas putih, lembaran itu menampilkan pasal-pasal dan syarat-syarat pernikahan mereka yang tampak lebih seperti kontrak bisnis daripada ikatan suci. Gavin telah mengatur semuanya, tanpa celah, seolah-olah Meera adalah bagian dari rencana besar yang hanya dia yang bisa kendalikan.

Hanya ada satu orang selain mereka berdua yang mengetahui isi perjanjian ini—Teo, sekretaris pribadi Gavin. Bahkan keluarga mereka tidak tahu tentang perjanjian pernikahan ini. Meera menyadari betapa Gavin mengontrol setiap detail dalam hidupnya, dan perjanjian ini hanyalah bukti kecil dari betapa terbatasnya kebebasan yang bisa ia miliki setelah menikah nanti.

Di tengah percakapan yang dingin dan penuh ketegangan, pelayan restoran datang menyajikan makanan mereka. Aroma lezat hidangan seharusnya menggugah selera, namun bagi Meera, semua itu hanya menjadi latar yang tak berarti di antara ketidaknyamanan yang menghimpit.

Ia masih menggenggam map coklat itu dengan erat, surat perjanjian yang baru setengah ia baca seperti menancap di pikirannya, setiap kalimatnya terasa mengunci kebebasannya. Meera menatap piring di depannya, makanan yang disajikan begitu sempurna, namun justru semakin menekankan ironi di depannya. Di saat hidupnya tertata oleh orang lain, bahkan untuk sekadar menikmati makan malam, ia tak lagi memiliki kendali.

Gavin hanya menatapnya, menunggu dengan sabar namun penuh kuasa. Seolah menikmati ketidak nyamanan Meera, ia menyesap minuman dingin tanpa peduli kegelisahan gadis di hadapannya.

Senyum sinis Gavin semakin jelas terlihat, matanya berbinar dengan kepuasan yang sulit disembunyikan. Seolah baginya, menikmati setiap ekspresi keputusasaan yang muncul di wajah Meera adalah hiburan tersendiri. Ia menyadari betul efek dari perjanjian itu—beban yang kini menggantung di pikiran Meera, merenggut ketenangannya dan membuatnya kehilangan arah.

Dengan santai, Gavin mengangkat cangkir kopinya dan menyeruput perlahan, seolah ingin mengulur waktu, menikmati momen itu lebih lama. Dalam heningnya restoran, Meera merasa semakin kecil di bawah tatapan pria itu. Setiap senyuman dingin yang ditunjukkan Gavin, setiap kata yang tersirat dalam perjanjian itu, hanyalah pengingat bahwa dirinya telah terjerat dalam permainan yang ia sendiri tidak pernah minta untuk dimainkan.

"Jangan lihat aku seperti itu, Kau sendiri yang menandatanganinya. Ayahmu, menjadikan dirimu sebagai jaminan atas hutang hutangnya." ucap Gavin sambil menatapnya tajam, memberikan tamparan nyata pada rasa putus asa yang kian tumbuh di dada wanita itu.

Meera terdiam, bibirnya bergetar menahan kata-kata yang ingin ia lontarkan, namun tertahan di tenggorokannya. Ia tahu, setiap kata protesnya hanya akan memperkeruh keadaan. Gavin, dengan tatapan tajam dan senyum yang penuh kesombongan, tidak akan membiarkan satu pun permintaan atau penolakan keluar darinya tanpa membalasnya dengan dingin.

"Kenapa terdiam?" Gavin menyeringai, meletakkan cangkirnya di meja dengan suara pelan namun sarat makna. "Kau pikir, menikah denganku adalah jalan keluar bagi masalah keluargamu? Ini bukan tentang menyelamatkan keluargamu, Meera. Ini tentang memilih menjadi milikku."

Meera menggigit bibirnya, berusaha meredam kekecewaan dan marah yang bergolak di dadanya. Baginya, pernikahan ini adalah pilihan terakhir yang diambil bukan karena keinginannya, melainkan karena keadaan yang mendesak. Perusahaannya yang hampir bangkrut, ayahnya yang tak punya pilihan lain, dan kini dirinya yang terperangkap di sisi Gavin tanpa tahu kapan ia bisa lepas dari jeratan ini.

“Jangan pernah lupa posisi kita, Meera,” Gavin berkata pelan, nyaris berbisik namun dengan nada yang tegas. "Kau hanya perlu menjadi istri di atas kertas. Lebih dari itu... semuanya adalah milikku. Termasuk dirimu."

Kata-katanya menghujam tepat di hati Meera, membuat ia ingin pergi sejauh mungkin dari pria di hadapannya. Tapi ia tahu, dalam ikatan yang ia sepakati demi keluarganya, keinginan untuk bebas hanyalah sebuah mimpi kosong yang sulit ia gapai.

Meera menarik napas dalam, berusaha mengumpulkan sisa-sisa keberanian yang masih ia miliki. Pikirannya penuh sesak, dihantam oleh kenyataan perjanjian yang baru saja ia baca dan kata-kata Gavin yang dingin. Di depannya, Gavin tampak puas, seolah ia sudah memenangkan permainan ini.

"Dan kau?" Meera akhirnya membuka suara, suaranya nyaris bergetar namun ia mencoba tetap tegar. "Apa yang sebenarnya kau inginkan dari semua ini, Gavin?"

Sebuah senyum tipis terbentuk di wajah Gavin, senyum yang tidak menjanjikan jawaban yang akan melegakan hatinya. "Aku?" Gavin menyandarkan diri ke kursi, memperhatikan Meera dengan tatapan yang menembus. "Yang kuinginkan sederhana. Aku ingin memastikan tidak ada yang bisa menyentuh atau memiliki apa yang menjadi milikku. Itu saja."

Kata-katanya menggores batin Meera. Bukan cinta, bukan kasih sayang, apalagi rasa saling memiliki. Hanya keinginan untuk menguasai, seolah ia hanya sekadar barang berharga yang tak boleh disentuh orang lain.

"Apakah aku tak lebih dari sekadar properti bagimu?" Meera berbisik pelan, pandangannya kosong, tapi Gavin tak menunjukkan sedikit pun tanda akan melembut. Ia hanya menatap Meera dengan ekspresi tanpa ampun.

"Kalau kau ingin jawaban jujur, ya, kau adalah milikku, Meera," Gavin berkata sambil bersandar ke depan, nadanya dingin namun tegas. "Selama kau menuruti peranmu, kita akan baik-baik saja. Tetapi jangan pernah berpikir untuk menantangku atau mencoba merusak kesepakatan ini. Ingat..." Gavin memberi jeda pada kalimatnya, satu alisnya naik seolah meremehkan. "Aku bisa saja menghancurkan keluargamu bagai butiran debu."

Meera merasa tubuhnya semakin lemah, seolah setiap kata dari Gavin semakin membebani dirinya. Tidak ada lagi ruang untuk bertanya atau berandai. Di hadapannya, masa depannya tergantung pada keinginan pria itu, dan ia hanya bisa bertahan dengan kekuatan yang kian rapuh.

Setelah merasa urusannya selesai, Tanpa menyentuh makanan yang tersaji itu, Gavin meninggalkan ruangan.

"Tuan, apa saya tetap boleh bekerja?" Suara itu terdengar bergetar.

Gavin menghentikan langkahnya tepat di ambang pintu, bahunya tegang mendengar pertanyaan Meera yang tak terduga. Tanpa menoleh, dia terdiam sejenak, seakan menimbang jawabannya. Suasana ruangan terasa semakin hening, hanya terdengar napas teratur mereka berdua, seolah menunggu kata-kata yang akan keluar dari bibir Gavin.

"Kenapa kau ingin bekerja?" tanyanya, suaranya rendah namun tegas.

Meera menggenggam tangannya di bawah meja, berusaha menenangkan detak jantung yang tiba-tiba melaju cepat. "Aku hanya... ingin melakukan sesuatu untuk diriku sendiri. Sesuatu yang mungkin... membuatku merasa lebih berarti."

Gavin tertawa kecil, nada mengejek tersirat di balik suara itu. Ia berbalik, menatap Meera dengan pandangan yang sulit diartikan. "Kau tahu ini bukan bagian dari perjanjian kita, bukan?"

Meera menelan ludah, mengumpulkan keberanian. "Aku tahu, tapi mungkin... " Meera tidak menyelesaikan kalimatnya saat melihat Gavin menghela napas panjang.

"Aku tidak suka perubahan, Meera." Kalimat Gavin membuat Meera kehilangan harapan. Tapi kemudian laki laki itu melanjutkan, "Tapi kalau kau bisa menjaga martabatku, baiklah aku akan mengizinkanmu. "

Meera menarik napas lega ketika Gavin akhirnya meninggalkan ruangan. Jawaban singkatnya barusan, meski dingin dan datar, memberi sedikit celah harapan untuknya.

Meera menatap kosong ke langit-langit ruangan, merasakan betapa menyesakkan dinding-dinding yang kini terasa seolah semakin mendekat, menutup setiap ruang untuk bernapas. Udara terasa begitu suram, seolah-olah meresapi setiap inci dagingnya dengan kesedihan yang tak tertahankan.

Pikiran Meera melayang pada kenyataan pahit yang harus ia terima. Pernikahan kontrak tanpa cinta. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, bahwa hidupnya akan berada di bawah kendali perjanjian yang hanya berlandaskan kepentingan semata, bukan kasih sayang atau keinginan tulus.

Harapan untuk bebas mencintai dan dicintai seolah lenyap ditelan keputusan ayahnya, yang memilih mengorbankannya demi menyelamatkan bisnis keluarga.

Setiap detail di ruangan itu — dinding-dinding kokoh, lampu-lampu remang, dan dinginnya atmosfer — seolah menekankan rasa terasing yang memenuhi dirinya. Meera menghela napas panjang, merasakan beban yang tidak tampak namun begitu nyata, menghantam dadanya dengan keras.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!