jarak yang terjaga

Sudah dua bulan sejak Gavin dan Meera menikah, namun di antara mereka masih terasa ada jarak yang dingin dan tak terlihat—seperti tembok tebal yang tak bisa ditembus.

Setiap hari mereka berbagi ruang yang sama, menjalani

rutinitas bersama, namun keheningan di antara mereka selalu menggantung, seakan menjadi pengingat bahwa

pernikahan ini hanyalah sebuah kesepakatan, bukan penyatuan dua hati.

Meski dekat, mereka tetap terasa jauh, terperangkap

dalam kebisuan yang tak pernah mereka coba untuk pecahkan.

...

Gavin dan Meera tiba di villa pribadi milik Kakek Anderson,

yang berdiri megah di pinggir pantai, menghadap langsung ke

hamparan laut biru yang tenang. Seperti tradisi keluarga setiap tahun,

seluruh kerabat berkumpul untuk merayakan ulang tahun kakek,

sebuah rutinitas yang tak pernah terlewatkan. Gavin, meski terlihat acuh, tetap menghormati tradisi ini, sementara Meera hanya bisa tersenyum sopan,

berusaha membaur di tengah suasana hangat yang masih terasa asing baginya.

Jarak di antara mereka terasa semakin jelas, meski tangan mereka

terkadang bersentuhan tanpa

sengaja, seolah mengingatkan bahwa kebersamaan

ini hanya sementara,

sebuah peran yang harus mereka jalani di depan keluarganya.

Saat malam tiba,

Di ruang makan yang luas dan elegan, meja panjang penuh hiasan bunga segar dan lilin-lilin kecil menyala, memberi nuansa hangat dan nyaman. Lampu kristal di atas meja memancarkan cahaya lembut, memantulkan kilau dari piring-piring porselen dan gelas-gelas kristal yang sudah tertata rapi. Setiap kursi dipersiapkan dengan baik, berlapis kain sutra dan diberi bantalan nyaman.

Para tamu yang berkumpul terdiri dari anggota keluarga dekat yang terlihat rapi dalam busana formal. Beberapa di antaranya membawa ekspresi tegang, mungkin karena topik yang akan dibahas atau kenangan yang pernah terjadi di antara mereka.

Para pelayan, dengan seragam hitam-putih, menghidangkan makanan satu demi satu dengan gerakan anggun dan tertata. Hidangan pembuka diletakkan lebih dulu, diikuti oleh hidangan utama dan berbagai pelengkap yang tersusun indah di piring-piring. Aroma lezat mulai memenuhi ruangan, mengundang rasa lapar dan meningkatkan suasana.

Ketika malam semakin larut, percakapan mulai melambat, berubah menjadi tatapan penuh arti yang kadang berbaur dengan senyuman kecil atau lirikan. Bagi sebagian orang, momen ini mungkin sekadar makan malam keluarga biasa, tapi bagi yang lain, ada banyak hal yang terpendam di balik pandangan dan senyuman yang mereka lemparkan.

Di sela sela mengunyah makanannya, Bara sepupu Gavin, cucu kakek dari anaknya yang lain terus mencoba mencari perhatian kakek.

Bara terus saja membanggakan dirinya, menganggap bahwa kerja keras dan prestasinya di dunia bisnis sudah cukup untuk menarik perhatian kakek. Dia sering datang ke rumah kakek dengan ekspresi penuh percaya diri, sambil menceritakan bagaimana ia berhasil mencapai target penjualan terbaru atau mendapatkan klien penting.

Gavin, yang duduk tepat di seberang meja di hadapannya itu, hanya mendengarkan dalam diam, wajahnya tanpa ekspresi. Dia tahu bahwa sepupunya berharap ia merasa terintimidasi atau mungkin iri. Namun, Gavin sudah terbiasa dengan persaingan dingin ini, yang lebih terasa seperti permainan ego daripada sesuatu yang sungguh berarti baginya.

Bagi kakek, kedua cucunya ini sama-sama berharga, tetapi jelas terlihat bahwa ia lebih sering memihak Gavin, meski tanpa disadari. Hal ini menambah bahan bakar dalam hati sepupu Gavin yang merasa seolah-olah tak pernah bisa mengalahkan Gavin di mata kakek. Setiap kali ia tidak mendapatkan pujian yang ia harapkan, ada bara api di matanya, tekad untuk terus menunjukkan bahwa ia adalah cucu yang lebih layak dihargai.

Sepupu Gavin berdehem, mencoba mengisi kekosongan yang terasa semakin berat di ruangan itu. Ia melanjutkan ceritanya, kali ini dengan nada yang lebih keras, seolah berharap suara kerasnya akan menutupi fakta bahwa Gavin sama sekali tak tergoyahkan oleh prestasinya.

“Aku mendengar ada beberapa perusahaan besar tertarik bekerja sama dengan kami,” ujarnya, menatap kakek dan mengabaikan Gavin sepenuhnya. “Jika semua berjalan lancar, kita bisa meraup keuntungan yang sangat besar, Kakek.”

Kakek menatapnya sejenak,

 “Kerja bagus. Tapi ingat, bukan hanya keuntungan yang kita cari. Kejujuran dan ketulusan dalam bekerja itu lebih penting. Jangan terlalu bangga dulu,” nasihatnya lembut.

Senyum sepupu Gavin seketika memudar. Nasihat kakek itu terasa seperti sindiran halus, membuat api kecil di dalam dirinya berkobar. Ia melirik ke arah Gavin, yang hanya tersenyum tipis mendengar respons kakek.

Gavin tidak perlu berbuat banyak; posisinya sudah kuat sebagai penerus di keluarga Anderson. Sementara itu, sepupunya selalu sibuk memamerkan pencapaian, berharap mendapat pujian yang mungkin tak akan pernah datang dengan tulus.

Rasa iri dan kebencian yang tumbuh di hati Bara adalah akibat dorongan dari kedua orang tuanya. Memaksa Bara bagaikan anak itu adalah pion agar perusahaan kakek jatuh ke tangan mereka. Meski terkadang Bara merasa ia tak sanggup, tapi lagi lagi dorongan dan paksaan itu datang dari orang tuanya.

Ayah Bara, Herman. Dia adalah anak kakek dengan wanita simpanannya, yang tiba tiba muncul setelah nenek Gavin meninggal.

Saat pertama kali Herman datang ke rumah besar kakek, hatinya dipenuhi oleh harapan akan keluarga baru yang utuh dan kasih sayang seorang ayah yang selama ini tidak ia kenal.

Namun, seiring waktu, kebahagiaan itu mulai memudar dan berubah menjadi kekecewaan mendalam. Kakek memperlakukan Herman dan ibunya dengan sikap dingin yang menusuk, seolah-olah kehadiran mereka hanyalah beban atau sesuatu yang memalukan.

Herman kecil tak bisa memahami mengapa ayahnya sendiri memandang rendah mereka, tetapi ia bisa merasakan sakit dan perih di hati ibunya. Setiap kali melihat senyum getir di wajah sang ibu, dendam di hatinya tumbuh semakin dalam. Ia mulai mengamati perbedaan mencolok antara perlakuan kakek pada dirinya dan pada anak sah dari pernikahan kakek, yaitu ayah Gavin.

Ayah Gavin mendapatkan segala yang terbaik—perhatian, kasih sayang, bahkan warisan nama baik keluarga.

Semakin dewasa, Herman semakin menyadari bahwa bagi kakek, dirinya hanya “anak dari wanita simpanan,” tak lebih dari noda dalam keluarga yang harus disembunyikan. Hal ini membakar semangat Herman untuk membuktikan bahwa ia pantas mendapatkan lebih. Namun, tekad itu lambat laun berubah menjadi obsesi yang kelam. Herman tidak hanya ingin diakui; ia ingin membalas setiap penghinaan dan merampas semua yang selama ini kakek berikan pada ayah Gavin, terutama hal-hal yang seharusnya menjadi haknya sebagai darah daging kakek.

Ketika usia membawa Herman ke dunia bisnis, ia mulai merencanakan langkahnya secara matang. Ia mengamati ayah Gavin, mempelajari setiap kelemahan, dan menanti momen untuk merebut kekuasaan dalam keluarga ini. Kini, tekadnya berpusat pada satu hal: ia akan memastikan bahwa Bara, anaknya, mendapatkan semua yang ia sendiri tidak pernah miliki—pengakuan, kehormatan, dan, jika memungkinkan, kekuasaan atas keluarga besar ini.

Herman tak peduli jika harus bersikap licik atau merencanakan skenario rumit untuk mencapai tujuannya. Ia mendorong Bara untuk bersaing dengan Gavin sejak usia muda, menanamkan gagasan bahwa Gavin bukan sekadar sepupu tetapi juga penghalang yang harus dijatuhkan. Dalam benaknya, ia telah menyiapkan Bara sebagai senjata untuk menggulingkan seluruh dinasti yang dibangun oleh kakek. Kini, Bara adalah cerminan ambisi Herman—tak hanya untuk menguasai, tetapi juga untuk membalas semua rasa sakit dan penghinaan yang ia dan ibunya terima bertahun-tahun yang lalu.

Namun usaha pak Herman ataupun Bara, sampai saat ini belum juga membuahkan hasil. Bahkan hal terburuk pun sudah di lakukan Herman untuk mengambil alih perusahaan itu.

"Kita tidak punya banyak waktu, kita harus bisa mengubah pikiran kakek sebelum ia secara resmi mengumumkan Gavin sebagai penerusnya dan memegang tahta tertinggi dalam keluarga." Pak Herman sering sekali mengucapkan kalimat itu pada anak dan istrinya setiap kali mereka membuat rencana licik.

. ...

Setelah makan malam usai. Semua anggota keluarga pamit satu per satu, meninggalkan Meera dan Gavin yang masih duduk di meja makan. Kakek yang melihat mereka berdua tampak enggan untuk berpisah. Kakek memaksa mereka untuk menginap.

Kini, disinilah mereka. Berada di satu kamar yang sama yang belum pernah mereka lakukan sejak awal menikah.

Meera memandang sekeliling, melihat suasana yang hangat dengan nuansa kayu dan sedikit dekorasi vintage. Ia merasa campur aduk antara rasa canggung dan dan ketakutan. Sementara itu, Gavin berdiri di dekat jendela, menatap ke luar seolah mencari alasan untuk tidak berhadapan langsung dengan Meera.

Meski berada di kamar yang sama, jarak masih terasa begitu nyata di antara mereka, seolah ada dinding tak kasat mata yang memisahkan dua hati yang seharusnya saling dekat. Dalam cahaya remang-remang malam, pandangan mereka tidak saling bertemu, dan kata-kata yang tak terucapkan menggantung di udara, menciptakan suasana canggung di antara dua jiwa yang terikat dalam perjanjian, namun belum menemukan jalan untuk saling memahami. Gelombang laut yang berdebur lembut di luar jendela seakan menjadi saksi bisu atas jarak di antara mereka.

"Tuan, saya akan tidur di sofa," ucap Meera, mengambil selimut dan bantal dari tempat tidur. Suaranya terdengar tegas meski ada nada ragu yang tersirat.

Gavin menghela nafas panjang, bukannya ia membenci gadis itu, atau menyesal atas pernikahannya. Terkadang saat dia diam diam memperhatikan Meera ada rasa iba dan juga penasaran tentang hidup gadis itu.

Dia melihat bagaimana Meera berusaha keras untuk menjaga jarak, menghindari kontak mata dan berusaha menciptakan batasan di antara mereka, seolah menganggap setiap detik kebersamaan mereka adalah ancaman terhadap kebebasan yang belum sepenuhnya dia miliki.

Namun, di balik sikap dinginnya, Gavin merasakan ada sesuatu yang lebih dalam. Meera bukan sekadar gadis yang terjebak dalam perjanjian ini; dia adalah sosok yang penuh dengan rahasia dan impian yang mungkin belum terungkap. Dia ingin tahu tentang masa lalu Meera, tentang apa yang membuatnya menjadi orang yang penuh kehati-hatian.

Saat ombak bergulung di luar jendela, Gavin merasa dorongan untuk mendekat, untuk menembus dinding yang dibangun Meera. Dia berusaha memahami perasaannya sendiri, ingin tahu bagaimana cara menghapus rasa canggung yang terus menerus mengalir di antara mereka.

Namun saat hatinya meminta untuk mendekat, logikanya kembali mendorongnya untuk menjauh.

"Segeralah tidur, besok pagi kita harus kembali. " Ujar Gavin sembari ikut merebahkan tubuhnya lelah setelah seharian melewati hari yang baginya terasa cukup membebaninya.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!