Meera turun dari taksi dengan gerakan lambat, tubuhnya seolah terbebani bukan hanya oleh kantong makanan yang penuh di kedua tangannya, tetapi juga oleh beban emosi yang menekan dada dan pikirannya. Pipinya basah, sisa-sisa air mata yang masih belum kering, menyisakan jejak kesedihan yang mendalam.
Dia memandangi rumah besar di depannya, tempat yang seharusnya menjadi sumber kehangatan dan perlindungan, namun malah terasa dingin dan jauh. Keputusan ayahnya membuatnya terjebak di dalam pernikahan tanpa cinta ini. Hatinya yang kosong terasa semakin hampa, dan setiap langkah menuju pintu rumah itu terasa seperti menambah jarak antara dirinya dan kebahagiaan yang dulu ia impikan.
Dengan gerakan lemah, Meera melangkah masuk ke dalam rumah, kedua orang tuanya bergegas menghampirinya, tampak cemas. Namun kecemasan itu bukanlah tentang keadaanya, melainkan penilaian Gavin terhadap putri mereka.
Ketika mata mereka tertuju pada tas berisi makanan yang dibawa Meera, wajah mereka seketika bersinar. Seolah-olah tas itu adalah tanda bahwa Gavin menyukai anak gadis mereka.
“Meera, bagaimana? Apa yang dia katakan?” tanya ibunya, matanya berbinar penuh harap.
“Bagus, kan?” ayahnya menambahkan, berusaha membacakan ekspresi di wajah putrinya.
Meera tertegun sejenak, merasakan harapan mereka yang begitu kuat, tetapi hatinya bergetar di tengah kebohongan yang harus ia jaga. Senyumnya terasa paksa, dan ia berusaha menyembunyikan kesedihan yang menggelayut di dalam hatinya. Anggukan pelan, berusaha menahan air mata yang ingin kembali jatuh.
Kedua orangtuanya bersorak gembira, tak peduli tentang perasaan putri mereka.
Kegembiraan orang tuanya seolah menambah berat beban di dadanya, menyadarkannya bahwa di balik senyum palsu ini, ada luka yang tak akan pernah mereka pahami.
Setelah menyerahkan tas berisi makanan itu, Meera merasa seolah dunia di sekelilingnya terlalu berat untuk ditanggung. Dengan langkah cepat, ia bergegas menuju kamarnya, berusaha menghindari tatapan penuh harapan dari orang tuanya. Namun, di tengah perjalanan, ia berpapasan dengan Danu, kakaknya.
Danu, putra kesayangan orang tua mereka, berdiri di anak tangga dengan sikap acuh tak acuh. Dia mencibir, seolah-olah tidak peduli dengan apa yang baru saja terjadi.
“Eh, apa kabar? Dapat perhatian lebih dari Gavin, ya?” ejeknya, nada suaranya penuh sarkasme.
Meera merasa hatinya bergetar mendengar sindiran itu. Sebagai seorang saudara, Danu tidak pernah bisa mengerti betapa rumitnya perasaannya, betapa dalam luka yang ia sembunyikan di balik senyum yang dipaksakan. Tertawa diatas penderitaan adiknya.
Di dalam kamarnya, Meera duduk di tepi ranjang, berusaha menenangkan dirinya. Namun, tawa nyaring dari kedua orang tuanya dan Danu menyusup ke dalam pikirannya, mengalir seperti gelombang yang menghancurkan ketenangan yang ia coba bangun.
Mereka tertawa, seolah dunia di luar sana penuh kebahagiaan dan harapan, sementara di dalam dirinya, ada kesedihan yang mendalam. Setiap tawa yang ia dengar seperti pisau tajam yang menusuk, mengingatkannya pada kenyataan pahit bahwa mereka tidak mengerti betapa beratnya beban yang ia pikul.
“Pasti Gavin benar benar menyukainya bukan?” dengar Meera suara ibunya berkomentar, diikuti dengan tawa Danu yang sinis. Kata-kata itu menggelapkan pikirannya, membuatnya merasa semakin terasing.
Meera menutup telinga dengan kedua tangannya, berusaha menghalau suara tawa itu. Namun, seberapa keras ia mencoba, bayangan kebahagiaan mereka tidak bisa ia hindari. Keinginan untuk berteriak, untuk mengungkapkan semua yang ia rasakan, semakin menguat, tetapi ia hanya bisa terdiam, terjebak dalam kesedihan yang tak seorang pun tahu.
Meera merasakan air mata menggenang di pelupuk matanya, tetapi ia menepisnya dengan cepat. Ia tidak ingin terjebak dalam emosi yang membuatnya semakin lemah di hadapan keluarganya. Dengan napas yang dalam, ia berusaha meredakan kepedihan yang menggerogoti hatinya. Dia tahu bahwa harapan orang tuanya terletak pada pernikahan yang tidak ingin dia jalani, dan rasa itu membakar semakin dalam saat tawa mereka terus terdengar.
Dalam keheningan kamarnya, Meera teringat akan semua impiannya yang seakan runtuh. Dia selalu membayangkan masa depan yang cerah, cinta sejati, dan kebahagiaan yang tulus. Namun, semua itu kini terasa seperti ilusi.
. ...
Di tempat lain, Gavin duduk terpaku di hadapan meja kerjanya, matanya menatap kosong ke arah tumpukan dokumen yang terhampar di depan. Pikiran dan emosinya berkecamuk dalam benak, menimbulkan kebingungan yang tak kunjung reda. Ia tidak bisa mengerti bagaimana seorang ayah bisa mengorbankan anak gadisnya demi kepentingan bisnis, mengorbankan kebahagiaan dan masa depan putrinya untuk menjamin kelangsungan perusahaan. Menjadikan putrinya sebagai jaminan penebus hutang.
Bukankah di usia Meera, seharus nya gadis itu sedang mengejar mimpinya. Sebagai orang tua bukankah sudah menjadi kewajiban mereka untuk mendukung anak anak mereka. Rasa penasaran tentang bagaiman hidup Meera sedikit mengusik ketenangannya.
Gavin teringat kembali momen mendebarkan itu, saat ayah Meera berlutut di depannya, wajahnya penuh dengan ketegangan dan ketakutan. Dalam suasana yang penuh keputusasaan, pria itu menyerahkan sebuah foto putrinya, gambar Meera yang tampak cerah dan bahagia di tengah latar belakang taman yang berwarna-warni.
"Tolong, Tuan. Saya mohon, tolong bantu saya," kata ayah Meera dengan suara bergetar. “Ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan perusahaan kami.”
Gavin tersenyum sinis mengingat momen itu. Ia membuka laci mejanya, di antara tumpukan dokumen dan catatan, ia menemukan foto yang diserahkan ayah Meera saat itu.
Ia menghela nafas panjang. Gadis yang ada di foto itu, pasti akan menjadi mainan menyenangkan baginya.
Lagi pula ini juga menjadi satu satunya cara baginya untuk bebas dari tekanan kakek yang membesarkannya itu. Kakek yang sering kali memintanya untuk segera menikah.
Tanggal pernikahannya sudah di tentukan. Ia menyerahkan seluruh prosesnya pada sekretaris Teo. Persiapannya hanya sepuluh hari dari sekarang.
Gavin tidak tertarik sedikitpun untuk ikut mempersiapkan pernikahannya. Baginya ini bukanlah hal yang istimewa. Ia akan tetap menjalani hari harinya seperti biasa, menyibukkan diri dalam pekerjaannya sampai hari pernikahan itu tiba.
Sementara Meera, sekretaris Teo meminta nya untuk menunggu kabar tentang persiapan acara pernikahannya. Bahkan ia tidak di tanya sama sekali tentang seperti apa acara yang ia inginkan, atau gaun seperti apa yang mau ia kenakan di hari pernikahannya.
Gadis penebus hutang seperti dirinya, tidak berhak meminta lebih. Seluruh hidupnya telah ia serahkan pada seorang laki laki yang akan memiliki kuasa pada kehidupannya nanti.
Seperti hari hari biasa, ia pun menjalani harinya dengan melakukan rutinitasnya. Yaitu bekerja di sebuah toko bunga yang sudah ia tekuni semenjak SMP sebagai pekerja paruh waktu.
Sesekali hp nya berdering. Sebuah pesan dari sekretaris Teo tentang kabar persiapan pernikahan yang berjalan sangat lancar itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments