SEKOLAH BARU

Waktu berlalu begitu cepat. Naima sudah menginjak tiga belas tahun. Gadis itu akan masuk sekolah menengah pertamanya. Agung yang mendaftarkan masuk bersama dua cucunya Rendra dan Reinhart.

Nilai akademik yang gemilang. Membuat gadis itu bisa masuk tanpa kendala. Bahkan masuk kelas satu A. Kelas di mana semua anak pintar berada. Rendra kelas tiga, sedang Reinhart kelas dua SMP. Tadinya, Naima menolak sekolah di sana.

"Biar satu arah dan diantar bersama-sama!" ujar Agung meminta pengertian pada Naima.

"Tapi ...."

"Nak," Darni mengelus lengan anak perempuan yang telah ia rawat selama ini.

Sifat keras Naima berubah jadi pendiam dan tenang. Gadis itu tidak lagi sekeras waktu awal. Ia banyak mengalah, walau dua anak dari kakek angkatnya itu sering menekannya.

"Papa masukin anak itu ke sekolah dua putraku?" tanya Anna mencibir pada Naima.

Pratma duduk dengan tenang, pria itu juga mulai banyak berubah. Kini ia menduduki jabatan sebagai staf management. Pria itu benar-benar harus membuktikan diri pada ayahnya jika ia memang pantas jadi CEO perusahaan yang dibangun oleh ayahnya itu.

"Anak siapa Anna?" tanya Agung datar.

"Dia punya nama ... panggil namanya!" lanjutnya dengan tatapan tajam.

"Itu ... Naima," ujar Anna berat menyebut nama itu.

"Tentu saja. Kenapa tidak?" jawab Agung dengan kening berkerut.

"Sekolah itu elit Papa, masa mau masukin .... Naima ke sana. Apa nggak takut malu?" tanya Sofia dengan pandangan menghina pada Naima.

"Justru aku bangga!' jawab Agung santai.

"Bangga? Sama Reinhart, Rendra dan Renita baru Papa bangga!" seru Sofia tak suka dengan perkataan suaminya itu.

"Ck ... siapa bilang aku tidak bangga dengan ketiga cucuku. Beruntung sekali mereka tidak sebodoh ayahnya! ujar Agung menyindir.

"Papa, kenapa sih Papa benci banget sama Pratma?!" sentak Pratama yang merasa tersudutkan.

"Saya sudah selesai. Permisi!' ujar Naima lalu membungkuk hormat.

Drama setiap pagi, siang dan malam yang selalu disuguhkan oleh keluarga itu. Semua mengenai dirinya yang tidak diharapkan di sana.

"Kalian tau, Naima masuk sekolah itu melalui undangan khusus dari komite sekolah karena nilainya sangat tinggi!" ujar Agung tak mempermasalahkan perkataan Pratma.

Semua bungkam begitu juga ketiga keturunan mereka. Memang nilai Naima sangat baik. Bahkan terlalu baik, banyak sekolah yang menginginkannya untuk menjadi murid di sekolah mereka.

"Palingan dia pintar hanya di sekolah kampungnya itu," sindir Anna lagi.

"Ingat Anna, dua putramu masuk sana tak pernah masuk ranking," ujar Agung.

Rendra mengepal kuat tangannya. Remaja itu sudah berusaha keras belajar, tetapi otaknya hanya mampu menduduki peringkat lima belas besar.

"Aku sudah berusaha belajar Opa," ujarnya tersinggung.

"Tentu sayang. Kau sudah hebat. Bahkan lebih hebat dari ayahmu!" ujar Agung.

Pratma hanya menunduk. Mereka bergerak. Seperti biasa Naima duduk di sebelah supir. Gadis itu mengikat ekor kuda rambutnya. Naima memang masih bermuka anak-anak, gadis itu juga belum mendapatkan siklus pertamanya.

Mereka turun di depan teras sekolah. Renita juga bersekolah di tempat yang sama hanya saja beda bangunan.

Semua masuk kelas masing-masing. Naima memilih duduk di depan karena banyak anak memilih bangku belakang. Seragam sederhana milik Naima tentu berbeda dengan semua seragam yang ada di kelas. itu.

"Naima, ini seragam batik dan baju olah ragamu ya!"

Naima menerima tiga potongan baju itu berikut bawahannya. Gadis kecil itu meletakan di dalam tasnya. Pelajaran pun dimulai.

Kring! Bel istirahat berbunyi. Naima mengambil kotak makan dan berjalan ke luar kelar. Peraturan di sekolah ketika bel istirahat, semua harus meninggalkan kelas mereka.

Naima duduk di sebuah kursi taman. Tempat itu sedikit teduh karena memang dari segi bangunan yang letaknya sangat membuat ia nyaman.

"Hai!" seorang murid perempuan mendatangi Naima.

Gadis itu menoleh, ia hanya mengangguk lalu tersenyum tipis. Murid perempuan itu duduk di sebelah Naima.

"Ini juga tempat aku makan," ujarnya memberitahu.

Naima tak menanggapi, gadis itu menyuap pelan makanan yang ia bawa. Gadis di sebelahnya melirik makanan yang dibawa oleh murid baru di sisinya. Ayam goreng kecap dan nasi.

"Kamu anak orang kaya bukan?" Naima menoleh pada si penanya.

"Tidak!" jawaban dan tatapan tegas didapat si penanya.

"Kalo bisa sih. Kamu jangan makan di sini ... ini kawasan elite. Sayang kalo dikotori pemandangan ada si miskin di sini," ujar anak perempuan itu menghina Naima.

Naima sudah selesai makan. Gadis itu berdiri dan meninggalkan tempat itu. Murid perempuan yang belum menyebut namanya itu berdiri dan menarik rambut ekor kuda Naima hingga ia terjatuh.

Bug! Terdengar gelak tawa di sana. Banyak anak-anak yang ternyata menonton kejadian itu.

"Hei ... ada apa ini?" salah seorang guru menegur semuanya.

"Saya nggak apa-apain Pak! Dia jatuh sendiri!" ujar anak murid yang menarik rambut Naima tadi.

"Berdiri Nak!" Naima berdiri dan mengibas roknya yang kotor.

"Di sini ada kamera pengintai kan Pak?" tanyanya pada guru.

"Ada. Memang kenapa?" tanya guru itu.

"Saya mau menuntut dia di depan disipliner!" tunjuk Naima begitu berani.

Muka murid perempuan itu pucat. Gadis seusia Reinhart itu tampak panik. Guru bukan tidak mengenal watak semua murid kaya di sana.

"Sudah maafkan saja ya. Nggak usah buat ribut," ujarnya membela murid yang memperundung Naima.

"Oh begitu?" tanya Naima menatap tajam guru itu.

Naima bukan anak perempuan yang menunduk jika keadilan tidak ditegakkan. Ia hendak pergi ke kantor kepala sekolah. Guru itu menghadangnya.

"Nak, pikirkan lagi. Nanti kamu yang susah sendiri, bisa-bisa kamu dicoret di sekolah manapun jika kamu melawan," peringat pria itu.

Naima menatap guru itu. Pria itu mengangguk mengiyakan perkataannya.

"Kita orang miskin, tidak ada yang peduli jika kita melawan. Sebaiknya kita diam," ujarnya memberi nasihat pada Naima.

"Tapi keadilan saya apa Pak?" desis Naima.

"Jika begini terus. Lama-lama saya dibunuh juga tidak ada yang peduli!" lanjutnya.

Guru itu diam. Ia sangat ingin membantu Naima. Tetapi, posisinya hanya sebagai guru biasa. Ada banyak komite yang dipegang penuh para wali murid yang kaya raya.

Sayang berita diperundungnya Naima sampai di telinga Agung. Pria itu tiba-tiba mendapat telepon dari seseorang misterius.

"Jika kau mengabaikan Naima. Maka aku pastikan, bukan kau wali penuh gadis itu!" tekan seseorang di seberang telepon.

Agung hendak menyahuti, tetapi sambungan itu tiba-tiba mati. Pria itu mencoba menghubungi nomor yang tadi meneleponnya. Tapi, nomor itu sudah tidak aktif lagi.

"Ah ... sial!" umpatnya pelan.

"Andi!" sosok yang dipanggil datang menghadap.

"Tekan siapapun yang merendahkan Naima!" titah Agung tegas.

"Baik Tuan!" Andi membungkuk hormat.

Tak butuh waktu lama. Murid perempuan yang menindas Naima datang dan meminta maaf pada gadis itu.

Bersambung.

Hmmm ...

next?

Terpopuler

Comments

Iin Nurchayati

Iin Nurchayati

mngknkah penelepon itu istri pak Hartono

2023-09-24

0

aidernia_Novelia

aidernia_Novelia

harusnya langsung ambil aja naima nya..

2023-04-16

1

aidernia_Novelia

aidernia_Novelia

harusnya dipenjarakan saja tuh si pratma.. nggak guna banget moga dia juga mati ditabrak

2023-04-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!