Bab 5

Kedua insan berada dalam satu ruangan, kenangan di masa lalu perlahan memupuk kembali benih-benih cinta yang sudah lama lima tahun terpendam. Marvin berjalan mendekati ranjang seraya mengusap lembut dan mencium kening gadis kecil itu, selama lima tahun dirinya di sibukkan oleh pekerjaan sebagai tentara bayaran dimana menjadi alasan untuk melupakan sang mantan. Dia sudah mencoba berusaha sebisanya, tapi takdir masih saja membawanya ikut terjun dan kembali pada masa lalunya.

"Maafkan Ayah yang tidak berada di sisimu selama ini, tapi ayah berjanji untuk memenuhi harapanmu." Marvin menatap Lusi cukup lama, dimana dirinya merasa bersalah atas kejadian lima tahun yang lalu. Pengorbanan dari sang mantan kekasihlah yang membuatnya kembali bangkit, menebus dosa-dosanya dan berniat untuk membungkam mulut para penghujat juga pembuli yang meresahkan mereka. 

"Ini sudah malam, sebaiknya kau tidur." Ucap Lira. 

"Biarkan aku bersama putriku, aku masih betah untuk berlama-lama." Tolak Marvin. "Dan aku juga merindukanmu, bisakah aku tetap berada disini? Ku mohon!" bujuk Marvin lirih, menatap penuh harap dan haru. 

"Baiklah, hanya untuk malam ini saja." Lira tidur di bagian sisi sebelah kiri, gadis kecil yang terlelap menjadi batas di antara mereka. Dia tidak membatasi pergerakan Marvin ataupun menjauhkannya dari Lusi, biar manapun pria itu tetap ayah kandung sekaligus sang penyelamat putrinya. 

"Tidurlah!" Marvin tersenyum, ingin rasanya dia memeluk sang mantan kekasih melepaskan rasa kerinduan sekali lagi. 

"Selamat malam." 

"Malam." 

Keduanya terlelap dan saling berhadapan, melihat sekilas persis seperti keluarga lengkap dan juga utuh. Marvin sudah merancang segalanya kembali merebut cinta dan menjadi seorang ayah yang selalu ada saat di butuhkan oleh putrinya. 

Melihat arloji yang di atas nakas, seseorang mengucek kedua mata saat terbangun di tengah malam. Marvin terbangun dari tidurnya, beringsut dari ranjang seraya mengamati kedua wajah yang sama persis. 

Dia berjalan menuju dapur untuk mengisi teko kosong, dirinya sangat haus tapi tak tega membangunkan Lira. 

Baru beberapa langkah saja, perhatiannya tertarik melihat meja belajar putrinya yang berwarna pink, tersenyum melihat isi dari meja itu.  Buku yang ada di sana juga dia lihat dan sangat kagum dan bangga memiliki putri yang pintar. "Dia putriku." Gumamnya dengan bangga. 

Kehidupan sebagai pemimpin suatu organisasi besar membuat kehidupannya sangatlah membosankan, kehadiran Lira dan Lusi menjadi pemicu untuk bersemangat karena dirinya telah memiliki kehidupan yang mempunyai tujuan. 

Dia seperti terkejut melihat seragam sekolah dari anaknya yang lusuh dan ada bekas jahitan tangan sebagai penyambung, tas berwarna biru putih ternganga seperti tidak di beri makan. 

"Jadi ini pakaian putriku? Sangat tidak layak." Marvin sedih karena kehidupan daei mantan kekasih dan juga putrinya menderita, bahkan untuk membeli perlengkapan sekolah saja tidak mampu. Dirinya yang memiliki kekayaan merasa tertampar dengan kesulitan ekonomi dari Lira, bulir bening yang hampir menetes segera dia seka. 

"Aku harus melakukan sesuatu untuk mereka," monolognya pasti. 

Di pagi hari, seorang gadis kecil perlahan membuka mata dan menyusuri pemandangan yang tidak asing baginya. Menoleh ke sebelah kiri dan melihat keberadaan dari wanita yang membesarkannya. 

"Apa aku bermimpi?" lirihnya pelan menyentuh pipi ibunya dengan haru, sontak Lira terbangun sambil melemparkan senyuman manis menyambut sadarnya sang anak. 

"Syukurlah kau tidak kenapa-kenapa." 

Lusi melihat kecemasan sang ibu dan memberinya pelukan hangat, mengingat jelas bagaimana keluarga Adi Kusumo menjadikannya kelinci percobaan. "Eh, tubuhku tidak terasa sakit lagi." Ucapnya dengan girang setelah melepaskan pelukan itu. 

"Itu karena seseorang mengobatimu." 

"Siapa? Pasti itu ayahku." Lusi sangat kegirangan mengetahui jika ucapannya benar jika sang ayah yang akan menyelamatkan. 

"Halo." Sapa Marvin berjalan mendekat, menoel kedua pipi kenyal itu tampak sangat menggemaskan. 

Lusi menoleh dan menatap pria itu bingung. "Apa kau Ayahku?" tanyanya polos yang dengan cepat di balas anggukan kepala oleh Marvin. 

Tanpa sadar Marvin meneteskan air mata, memeluk sang anak dengan erat, mencium kedua pipi secara bertubi-tubi. "Aku Ayahmu." 

"Ayah, jangan pergi lagi. Aku sangat merindukan sosok Ayah untuk berada di sampingku." Ujarnya dengan permohonan kecil, dia ingin membungkam mulut orang-orang yang menyebutnya anak haram dan juga mengenai ayahnya yang tiada. Dia sangat bersyukur bisa merasakan pelukan ayahnya yang selama ini dia rindukan, sangat lama hingga keduanya tak menghiraukan keadaan sekitar.

"Ayah berjanji tidak akan pergi lagi." 

"Sudah cukup untuk melepas rindu, sekarang kau harus ke sekolah." Ucap Lira yang ingin anaknya pintar dan memiliki identitas sendiri suatu hari nanti. 

Gadis kecil itu tak rela jika harus ke sekolah apalagi setelah tragedi yang hampir membuat nyawanya dalam bahaya, namun tatapan sang ibu begitu tegas hingga memaksanya berangkat ke sekolah. 

"Kau ini bagaimana? Lusi baru saja mengalami kejadian yang berbahaya dan pastinya sangat shock dan juga trauma, biarkan dia libur untuk beberapa hari ke depan." 

Lira menghela nafas dan berlalu pergi meninggalkan nereka tanpa mengucap sepatah katapun, dirinya bersiap-siap untuk pergi ke sekolah dan menjadi guru honorer. 

Tapi sebelum itu dia menyiapkan sarapan terlebih dahulu, sementara Lusi dan Marvin bertos ria. 

"Ayah punya kejutan untukmu." Ucap Marvin tersenyum. 

"Hadiah?" ulang Lusi dengan kedua mata berbinar cerah, Marvin mengangguk cepat. 

"Perlengkapan sekolah baru untuk putriku tercinta." Tutur Marvin tersenyum lembut, terharu melihat ekspresi yang di tunjukkan oleh Lusi saat gadis kecil itu mendapatkan perlengkapan sekolah baru menambah semangat baru. 

Setengah jam kemudian, Lira kembali ke kamar untuk memanggil dua orang yang masih betah di dalam kamar. Kedua matanya terbelalak melihat penampilan mantan kekasihnya yang sangat tampan, ketampanan yang tidak pernah memudar terutama cinta dari pria itu. Mengalihkan perhatian di sebelahnya dengan kagum, seragam sekolah dan perlengkapan lainnya membuatnya menangis. Sudah lama dia ingin memberikan untuk anaknya, lagi dan lagi terkendala krisis ekonomi mengingat dirinya bekerja sebagai guru honorer.

"Darimana kau mendapatkan seragam dan perlengkapan itu?" 

"Ayah yang memberikannya padaku." 

Lira mengangkat kedua alisnya ke atas, menatap Marvin serius. "Jadi kau yang memberikannya?"

"Aku hanya ingin yang terbaik untuknya, kau yakin akan pergi ke sekolah sekarang?" 

"Aku tidak punya pilihan lain, itu untukku dan Lusi bertahan hidup." 

"Aku ada disini, dan akan membantumu." 

"Aku harap begitu." Lira berlalu pergi meninggalkan kamar anaknya, meragukan dan berpikir jika Marvin orang miskin, sebab itulah ibunya menolak keras hubungan mereka. 

Dia tidak tahu bagaimana kekayaan yang di miliki oleh mantan kekasihnya, namun otaknya masih menampung hal logis di sana, tidak akan terbujuk untuk kedua kalinya. 

Sementara Marvin tersenyum setelah kepergian Lira, tahu kalau wanita itu menganggapnya pria miskin. "Aku akan membuktikan diriku sendiri, aku berjanji." 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!