Bab 3

Semua perhatian tertuju kepada pria yang datang paling akhir, sekilas terlihat seperti pahlawan kesiangan. Kedatangan si penengah berasal dari organisasi terkenal dan paling ditakuti hingga tak ada yang ingin berurusan dengannya, namun hanya segelintir orang saja yang tahu mengenai identitasnya. 

Ya, pria itu anggota dari pasukan elit bernama Zico. Seorang pria tampan dan juga gagah, mempunyai badan yang tegap dengan kemampuan mumpuni tak perlu diragukan lagi. Dia ahli dalam ilmu perang, melibas siapa saja yang menghalangi jalannya. Karakter yang kuat serta tak terkalahkan, pantas saja dia pernah diangkat menjadi seorang anggota pasukan elit yang tak terkalahkan.

Entah apa alasan di balik pengunduran dirinya yang sudah lama tidak terlihat berkecimpungan dalam organisasi paling mematikan itu, banyak yang tidak mengenalnya namun Bimantara masih mengingat jelas karena pernah bertemu sekali. Zico mengundurkan diri dan melakukan pengasingan dari kalangan itu. 

Beberapa kelompok yang datang di akhir membuat tempat itu semula sepi menjadi ramai, mereka ikut berpartisipasi dalam dua kubu yang berbeda. Marvin tak ingin membuang waktunya untuk meladeni segelintir orang yang masih menjadikannya seorang tersangka, entah apa yang di pikirkan orang lain terhadapnya yang penting dia ingin pergi dari tempat itu. 

Terlambat saat dia malah terjebak dalam kerumunan yang menurutnya tidak berarti, menghela nafas berat saat salah seorang pria masih menghalanginya. 

Zico menganggukkan kepala dan menyerang Bimantara dengan penuh agresif, dengan mudahnya dia menumbangkan pria itu dan ketiga master bela diri lainnya yang masih bersikukuh. "Sudah aku katakan untuk tidak menghalangi jalannya." Ucapnya datar dan terkesan misterius. 

"Ck, aku tidak peduli." Bantah salah satu dari keempat master yang tetap menyerang, mereka tidak suka jika ada yang mengalahkan mereka di depan musuh. 

Pertarungan yang hebat terjadi di depan mata Marvin, dia hanya diam dan menjadi penonton untuk sesaat. Melawan Zico sama saja menggali kuburannya sendiri, pria yang di kenal kejam tentu saja dengan mudah menumpas empat orang sekaligus dengan para bawahan mereka. 

Bimantara antara yakin dan juga tidak, dia kembali mengingat dengan pertemuannya sekali. Apalagi gerakan yang di lakukan Zico pernah di lihat sebelumnya olehnya. Kedua pupil mata melebar saat serpihan ingatan semakin jelas. "Ya, tidak salah lagi kalau dia anggota pasukan elit yang sudah lama melakukan pengasingan di organisasi itu." Gumamnya di dalam hati. 

"Kenapa kau diam saja? Cepat bantu kami!" cetus Alaric yang kesal melihat Bimantara hanya terdiam tanpa berniat menolongnya. 

"Aku bisa mengatasi ini." Ucapnya dengan penuh percaya diri. 

"Kau ingin mati ya?" 

"Dia ada di pihak kita, sebaiknya mundur dan biarkan aku yang bekerja." 

Akhirnya pertarungan terhenti, Bimantara mengira jika Zico ada di pihak mereka karena pernah bertemu sekali dan mengingat semua gerakan dari pria itu semakin menambah keyakinannya.

"Apapun yang terjadi kau tidak akan bisa pergi dari sini sebelum kau bertanggung jawab." Bimantara mengacuhkan siapa yang baru saja datang, tetap akan pendirian yang sudah menjadi prinsipnya. Apalagi dia mengenal Zico, dengan penuh percaya diri jika berada di dalam pihaknya sebagai pembela. 

"Siapa kau yang berani menghalangi langkahku?" Marvin tetap tenang tak bergeming, sangat lucu bila melihat salah satunya masih saja bersikap sombong.

"Aku ketua dari organisasi bela diri." Ucap Bimantara yang begitu sombong dan dengan sengaja mendorong tubuh Marvin, sementara Zico mengerutkan keningnya karena drama yang ada di hadapan. 

"Hanya ketua saja," jelas Marvin tersenyum miring. 

Bimantara berjalan menuju Zico yang dingin. "Tuan, maafkan kami yang sebenarnya tidak bermaksud menyerang anda." Ucapnya dengan cengengesan. "Sudah lama anda tidak terlihat, apa Tuan masih mengingat ku?" ucapnya dengan sombong dan juga angkuh, memasukkan tangan kanannya di saku celana. 

Zico mengerutkan dahi, banyak orang yang dia temui dan tidak mengingat semuanya. "Tidak." 

"Tapi aku pernah melihat anda, terima kasih sudah datang." Bimantara memperlakukan Zico dengan sangat baik, mengira berada di pihaknya. 

Zico tidak mengerti mengapa pria di hadapannya terlihat bodoh tapi sangat angkuh. "Aku tidak mengenalmu." 

"Jangan berkata seperti itu Tuan." Bimantara tersenyum seraya membenarkan jas Zico. 

Zico tetap tak peduli, hatinya tergelitik melihat kepercayaan diri Bimantara yang cuma mengenalnya sekali dan menganggap sebagai sekutu. "Organisasi Istana Jiwa Naga adalah identitasku, dan pria yang kalian halangi jalannya bukanlah orang sembarangan yang mudah di singgung." Ucapnya lantang kembali membungkukkan sedikit tubuhnya sebagai penghormatan ke arah Marvin, sementara keempat kecoa itu sangat terkejut melihat sikap penuh hormat dari salah satu pasukan elit yang sudah lama dalam pengasingan diri. 

"Apa?" ucap keempatnya terkejut.

Milano, Alaric, dan Andromeda merutuki kebodohan Bimantara yang sok mengenal Zico, kini mereka berempat dalam masalah besar karena perkataan pria itu menunjukkan keseriusan. 

"Dasar bodoh! Aku sudah menduga jika pria itu ada kaitannya dengan organisasi itu." 

"Hem, kau benar. Bimantara malah menjebak kita ke dalam singa kelaparan."

"Sebaiknya kita mundur saja." 

Bimantara mendapatkan pelototan tajam dari ketiga temannya, sedangkan dirinya menelan saliva saat kesombongannya langsung di jatuhkan ke tempat terendah. 

Zico masih mengawasi orang-orang yang menghalangi pemimpinnya, Marvin tersenyum tipis seraya masuk ke dalam mobil dan berlalu pergi meninggalkan tempat itu. 

Lain halnya dengan keempat master bela diri yang tidak bisa berkutik dan bersuara saat Zico sudah berkata, mereka membiarkan Marvin pergi namun di hati sangat tidak senang. Tidak berani melakukan aksi tindakan konyol setelah tahu siapa pria yang datang sebagai pembela. 

Marvin masih menggendong putrinya dalam pangkuannya, membawa anaknya itu kembali pulang. 

Dia menarik nafas sedalam mungkin dan mengeluarkannya, menunggu pintu di buka setelah lima tahun dirinya menghilang. 

Sementara di tempat lain, seorang wanita menangis karena sangat khawatir mengenai putrinya yang menghilang dan tidak tahu harus  bagaimana. "Lusi, dimana kau sayang. Ibu sangat mencemaskanmu." Lirihnya seraya menyeka air mata dengan tisu yang sudah berapa banyak dia habiskan. 

Terdengar suara bel pintu, dia segera berlari untuk membukanya dan berharap itu adalah Lusi, putrinya. 

"Lusi." Ucap Lira yang tersenyum dengan mata berbinar, perlahan redup saat matanya berkontak langsung dengan seseorang dari masa lalunya. 

Lira terdiam untuk beberapa saat, dia sangat senang melihat anaknya sudah pulang dan tertidur dalam dekapan seorang pria di masa lalunya. "Marvin?" lirihnya yang sangat tidak percaya melihat ayah dari anaknya menjadi penyelamat. 

"Apa aku boleh masuk?" 

Lira mengangguk dan mengikuti pria itu masuk ke dalam rumah dan membaringkan tubuh Lusi yang sedikit lemah dan telah di obati oleh Marvin. 

"Apa putriku baik-baik saja?" tanya Lira yang sangat cemas sebagai seorang ibu. 

Marvin menganggukkan kepala. "Dia tidak apa-apa." 

"Kenapa Lusi tidak membuka matanya?" 

"Dia sedang tertidur." Marvin seakan paham dengan isyarat sinyal mata Lira dan keluar dari kamar gadis kecil itu. 

Marvin dan Lira saling menatap canggung, setelah sekian lama tidak bertemu. 

Lira merasakan dadanya yang sesak, melihat mantan kekasihnya menampakkan diri setelah kejadian itu. "Tatap mataku!" ketusnya. 

Marvin menatap mata Lira, namun tak kuasa menahan gejolak sesuatu yang tersimpan di hatinya. 

"Mengapa sekali pergi kau malah menghilang lima tahun?" tanya Lira dengan kesal. 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!