"Kau ... tapi ... mengapa?" Caitlyn tidak peduli dirinya kini terlihat bagai orang bodoh di mata Owen. Maklum saja, siapa wanita yang tidak terkejut dan bingung jika menghadapi situasi seperti ini?
Dilamar? Oleh iparnya sendiri pada pertemuan pertama setelah bertahun-tahun? Yang benar saja!
"Aku tahu, ini mungkin memang mengejutkan bagimu, tapi aku sudah memikirkannya, Cait. Nenikahlah denganku. Itulah satu-satunya cara agar anak-anakmu dapat kembali menjalani hidup seperti dulu," tutur Owen kemudian.
Mendengar penuturan Owen, entah mengapa mendung seketika menyelimuti hati Caitlyn. Ternyata, Owen melakukannya tak lebih dari sekadar menyelamatkan hidup dua keponakannya saja. Jadi, dia sama sekali tidak tahu harus bersikap marah atau justru berterima kasih pada kejujuran pria itu.
Caitlyn terdiam lama sekali. Kini ada banyak hal juga yang menjadi beban pikirannya. Terutama soal hubungan mereka yang pastinya akan terasa sangat canggung, bila Caitlyn menerima pinangannya. Namun, di sisi lain, Caitlyn tidak menampik bahwa dia butuh sosok seseorang untuk membantu menghidupi Chloe dan Wayne.
Caitlyn bukannya tidak mencintai Sean. Sean adalah belahan jiwanya. Seluruh hatinya hanya untuk sang suami tercinta. Hanya saja, hidup terlalu kejam bagi kedua anak mereka, bila harus tinggal menggelandang di luar sana.
"Beri aku waktu untuk memikirkannya," ujar Caitlyn kemudian.
Owen menganggukkan kepala. "Terima kasih, aku akan menunggu hingga besok pagi," kata pria itu.
Caitlyn terkesiap. "Secepat itu!" teriaknya tak sadar.
Owen tersenyum simpul. "Ya. Seharusnya tak butuh waktu lama untuk memikirkan tawaranku, bukan?"
Caitlyn menghela napas pasrah. Demi menjernihkan pikirannya, dia harus segera beristirahat. "Kalau begitu, aku pamit ke kamar dulu. Selamat beristirahat," ujar Caitlyn sembari bangkit dari kursi rotan yang didudukinya.
"Selamat beristirahat." Jawab Owen. Pria itu terus menatap kepergian Caitlyn, hingga menghilang dari pandangannya.
Sepeninggal Caitlyn, Owen terdiam seolah sedang memikirkan sesuatu. Ditemani keheningan malam, pria itu menyeruput kembali teh buatannya yang sudah mulai mendingin.
"Aku merindukanmu," gumam Owen lirih.
...**********...
Caitlyn tak menyangka, bahwa pagi datang lebih cepat dari biasanya. Mungkin karena ini adalah batas waktu yang diberikan Owen, atas penawaran yang dia ajukan semalam.
Setelah mandi dan berganti pakaian, Caitlyn mengurus kedua anaknya terlebih dahulu. Wanita itu dengan telaten juga merapikan tempat tidur yang dipakai Chloe dan Wayne.
Setelah selesai barulah ketiganya pergi menuju ruang makan.
"Pagi, Uncle Owen," sapa Chloe. Wayne turut mengucapkan hal yang sama.
Owen dengan ramah membalas sapaan dua keponakannya tersebut, sambil mengusap kepala mereka satu persatu.
"Pagi, Cait." Tak lupa, dia juga menyapa ibu dari dua keponakannya itu.
"Pagi." Caitlyn tersenyum ramah. Sebisa mungkin dia berusaha bersikap biasa, seolah tidak terjadi sesuatu semalam.
Keempatnya makan dalam suasana yang cukup tenang. Baik Chloe mau pun Wayne tidak terlihat rewel, atau pun bersikap tidak sopan di meja makan. Semasa hidup, Sean memang selalu mengajarkan hal-hal baik pada mereka berdua.
"Bu, aku mau itu!" Wayne menunjuk sepotong buah semangka yang terlihat sangat segar.
Saat Caitlyn hendak mengambilkannya, Owen sudah terlebih dahulu meletakkan buah tersebut di mangkok kosong milik Wayne. Dia juga menawari Chloe.
Tak hanya itu saja, Owen juga membantu Chloe membersihkan mulutnya yang kotor karena tumpahan susu.
Melihat bagaimana Owen bersikap, membuat kerinduan Caitlyn pada Sean kembali hadir. Sebisa mungkin wanita itu menahan air matanya, agar Owen tidak tersinggung.
"Chloe, kau mau sekolah?" tanya Owen tiba-tiba, saat mereka telah selesai menghabiskan sarapan.
Mendapat pertanyaan demikian, Chloe tentu mengangguk semangat. Maklum saja, sejak kematian Sean, Chloe tidak bersekolah. Itu artinya, Chloe sudah hampir tiga bulan menganggur di rumah.
"Besok Uncle akan mendaftarkanmu dan Wayne sekolah. Paling lambat kau akan kembali ke sekolah minggu depan. Bagaimana?"
Netra hazel Chloe membesar. Gadis kecil itu sontak melompat ke arah Owen dan memeluknya erat. "Terima kasih banyak, Uncle," ucap Chloe lirih.
Owen membalas pelukannya. "Sama-sama, anak pintar," jawab pria itu lembut. Wayne yang melihat keakraban mereka, turut bergabung.
Sementara itu, Caitlyn hanya bisa terdiam. Di satu sisi dia ingin menolak tawaran Owen, tetapi di sisi lain wanita itu tidak ingin menghancurkan kebahagiaan putri sulungnya tersebut.
...**********...
Setelah sarapan selesai, Owen meminta beberapa asisten rumah tangganya untuk menjaga Chloe dan Wayne, sementara dia mengajak Caitlyn berbincang di halaman belakang rumah.
"Soal sekolah anak-anak, aku tak tahu harus berkata apa, Owen." Caitlyn memulai pembicaraannya dengan canggung.
"Terlepas penawaranku semalam, mereka berdua memang membutuhkan pendidikan, Cait. Aku tidak bisa membiarkan keponakanku tidak mengenyam pendidikan."
Dalam hati, Caitlyn membenarkan perkataan Owen.
"Dan tolong, jangan jadikan sekolah sebagai patokan keputusanmu," sambung pria itu. "jawablah sesuai dengan kata hatimu, karena aku ingin pernikahan ini bisa berjalan seperti pasangan pada umumnya."
Caitlyn bergeming. Matanya menatap sekeliling halaman rumah yang dipenuhi banyak tanaman dan bunga hias berwarna-warni. Satu hal baru yang dia sadari dari Owen. Sebab, seingatnya dulu, pria itu tidak begitu menyukai tanaman dan bunga. Dia bahkan pernah berkelakar akan memenuhi seluruh rumah pribadinya kelak, dengan satu pohon besar saja.
"Baiklah, aku menerimanya," jawab Caitlyn.
Mendengar itu, Owen justru terkejut. "Apa kau yakin? Ingat Cait, ini bukan pernikahan di atas kertas. Terlepas dari niatku untuk membantumu menghidupi Chloe dan Wayne, tetapi aku ingin pernikahan ini benar-benar terjadi layaknya pernikahan biasa."
Caitlyn menghela napas sejenak. "Aku tahu. Aku pun tak ingin menikah berkali-kali. Kita lakukan perlahan saja. Mungkin sekarang kita belum bisa mencintai satu sama lain, tetapi kedepannya siapa yang tahu," ujar wanita itu.
Seolah ada beban berat yang terlepas, Owen mulai mengendurkan raut wajahnya yang semula terlihat tegang.
"Terima kasih," ucap pria itu.
"Aku lah yang harus berterima kasih," balas Caitlyn. Dalam hati, dia juga meminta izin pada sang suami, agar merestui dirinya turun ranjang.
"Omong-omong, apa sebenarnya pekerjaanmu? Kita akan menikah, tetapi aku sama sekali tidak tahu tentang dirimu," ujar Caitlyn tiba-tiba. Pasalnya, pria itu sejak kemarin berada di rumah. Hari ini pun, dia tidak berangkat kerja.
Owen tersenyum simpul. "Ayah angkatku memiliki universitas, dan aku dosen di sana. Jam mengajarku nanti siang," jawab Owen.
"Oh." Caitlyn mengangguk-anggukkan kepala. "Ah, bolehkah aku meminta sesuatu?" tanya wanita itu kemudian.
Owen mengalihkan pandangannya pada Caitlyn. "Apa?"
"Rasanya sudah lama sekali aku tidak keluar rumah." Caitlyn melipat bibirnya, ragu untuk melanjutkan perkataan.
"Ahh, aku akan mengajakmu dan anak-anak pergi jalan-jalan besok. Lagi pula, aku takut kau akan tersadar di jalan."
Caitlyn mengerutkan keningnya. "Tidak perlu khawatir, aku hafal tiap seluk beluk United States."
Mendengar hal tersebut, Owen tertawa kecil. "Memangnya kau pikir, kita ada di mana?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments
Nena Anwar
Owen kamu merinďukan siapa 🤔🤔🤔 hayo lho Cait kamu ada dimana kan kamu dibawa kabur sama Owen 😀😀😀
2023-01-06
0
Siska Agustin
lah Caitlyn kagak tau dia sekarang ada di kota mana 😁
2023-01-06
1