Liam menghela napas pelan seiring ia meringis, menahan rasa sakit di sudut bibir kiri dan juga sekitarnya yang lebam, selain bekas jemari khas tamparan yang juga masih ada di pipi sebelah kiri. Liam masih ada di kamar mandi ruang kerjanya. Ia masih berada di sekitar area wastafel, tempatnya akan mengeksekusi sang istri. Sementara sang istri yang menjadi penyebab wajahnya babak belur, juga ada di sebelah Liam. Namun baru saja, Liam memutuskan masuk ke ruang kamar mandi yang dihiasi kloset dan juga shower.
Fello yang tengah merapikan pakaiannya kemudian membenarkan rias wajahnya, melirik kepergian Liam. Raut wajah kesal sekaligus marah nan sadis masih menjadi ekspresi mencolok dari wanita itu.
Di dalam kamar mandi, Liam mengeluarkan ponsel dari saku sisi celana sebelah kanannya. Melalui ponsel tersebut, ia mengirimi Indah WA.
Liam : Ndah, kamu sudah boleh pulang. Tidak perlu menungguku. Saya sudah pergi saat kamu mengambilkan saya kopi.
Indah : Terima kasih banyak, Pak. Namun, apakah tadi saya membuat Anda menunggu kopinya terlalu lama?
Liam : Tidak-tidak. Memang saya yang ada urusan mendadak.
Liam : Ya sudah, selamat malam.
Indah : Selamat malam, Pak. Sekali lagi, terima kasih banyak.
Lebih tepatnya, Liam tidak mau Indah melihatnya keluar dari ruang kerja bersama Fello, terlebih dengan kenyataan wajahnya yang sampai babak belur layaknya sekarang.
Niat hati ingin memberi Fello pelajaran dengan tidak membiarkan wanita itu menyentuhnya, yang ada wanita itu malah mengamuk. Menampar, bahkan membogem pipi kanan Liam, selain Fello yang tak segan menendang dada Liam hingga Liam terpental.
Begitulah Fello, walau selalu menegaskan dirinya sangat menyayangi sekaligus mencintai Liam, pada kenyataannya wanita itu paling anti diatur apalagi ditekan sekaligus dikuasai. Terlebih untuk urusan percintaan panas mereka, Liam wajib mengikuti kemauan Fello.
Kini, Liam yang sudah makin lelah, mengembuskan napas pelan melalui mulut kemudian duduk di kloset. Pria itu merasa frustrasi, tak yakin bisa bertahan jika situasinya terus layaknya kini. Bersama Fello, ia memang memiliki materi dan juga posisi mentereng yang membuat semuanya memuji bahkan menyegani. Namun, apa gunanya semua itu jika hidupnya selalu diperlakukan layaknya boneka? Jika Liam terus dipaksa dan kehilangan harga dirinya?
Mengandalkan kedua tangannya, Liam mengendurkan dasinya. Matanya yang perlahan basah juga sampai berubah menjadi merah. Lagi-lagi Liam terkungkung di titik nadir. Liam ingin semuanya berakhir, hidup tanpa bayang-bayang Fello jika pada kenyataannya, wanita itu tetap tidak bisa menghargainya. Liam lebih memilih Fello bersama pria lain yang bisa membuat wanita itu merasa jauh lebih bahagia.
Sekitar sepuluh menit kemudian, dari luar ada yang menggedor pintu ruang Liam merenung, dengan sangat kasar. Liam yang tengah duduk loyo di kloset langsung terusik. Bisa Liam pastikan itu Fello yang sampai saat ini masih sangat emosional.
“Mau sampai kapan kamu terus di situ. Ayo kita pulang ini sudah malam!”
Suara Fello masih terdengar emosional.
“Malam ini aku tidak akan pulang ke rumah. Aku ingin pulang ke rumah orang tuaku.” Liam membalas tak bersemangat.
“Kamu marah ke aku gara-gara kejadian tadi? Aku begitu kan karena kamu yang mulai!” sergah Fello masih emosional sekaligus tak mau disalahkan.
Di dalam, Liam tetap membungkuk loyo. “Cek WA kamu. Siang tadi, suster yang mengurus mamahku juga mengabarimu bahwa keadaan mamahku makin kurang baik.”
Di depan pintu, Fello yang masih emosional langsung mengernyit curiga. Namun, ia segera mengeluarkan ponsel dari tas jinjing mahal berukuran mungilnya. Ia langsung memeriksa pesan masuk di ponselnya. Di sana memang masih banyak pesan masuk yang belum ia baca termasuk pesan masuk dari kontak Suster Mama Liam.
Tak lama setelah Fello membaca pesan yang dimaksud, Liam keluar. Namun, pria itu mendadak mematung setelah sampai melepas kaitan pintu dan membuat pintu kayu bercat keemasan tersebut terbanting menghantam dinding di belakangnya.
“Sori, ... aku beneran minta maaf,” lirih Fello penuh sesal sambil membingkai wajah Liam. Khusus wajah bagian kiri Liam yang terluka, ia membelainya dengan sangat lembut, tapi suaminya itu tetap diam sekaligus menunduk. Liam mengabaikannya.
“Aku baru perawatan, dan perawatan yang aku jalani mewajibkanku untuk istirahat total. Aku belum bisa menemanimu ke rumah mamah kamu.”
Satu hal yang sampai detik ini juga tidak pernah Fello lakukan yaitu dekat dengan mamah Liam selaku satu-satunya keluarga yang tersisa dalam hidup Liam. Selalu saja ada alasan Fello menghindar di setiap Liam mencoba mendekatkannya dengan sang mamah.
Karena Liam menatapnya sarat kecewa, Fello yang sadar itu karena keputusannya pun berkata, “Mamah kamu pasti akan membahas masalah anak!”
Mendengar itu, Liam mengembuskan napas pelan sekaligus panjang melalui mulut seiring ia yang juga menunduk.
“Meski harusnya mamah kamu enggak menuntut karena biar bagaimanapun, papah dan mamahku sudah kasih semuanya ke kalian!” sergah Fello.
Liam menatap tegas Fello. “Kalau memang menurut kamu bahkan orang tua kamu, aku dan mamah kamu hanya benalu, kamu boleh membuangku dan carilah suami yang sepadan dengan kamu.”
“Maksud kamu apa bilang begitu?” sergah Fello ketar-ketir.
“Termasuk kedua pengawalmu, ... jika kamu terus menyuruh mereka mengawasiku, aku rela kehilangan semua yang kamu dan orang tua kamu berikan.”
“Liam, ... kamu apa-apaan, sih? Masa hanya karena tadi? Aku kan sudah bilang, itu kamu yang salah. Karena kamu yang mulai padahal kamu tahu aku paling enggak suka diatur!” sergah Fello masih membela diri.
Namun, kali ini Liam sungguh tidak peduli terlebih Fello juga tetap tidak mau menemui mamahnya.
“Liam, kamu mau ke mana? Tolong pikirkan baik-baik, mamah kamu bisa berpikir macam-macam, bahkan kesehatan mamah kamu bisa makin buruk kalau mamah kamu lihat wajah kamu babak belur seperti itu!” Kali ini Fello sampai berteriak, seperti biasa di setiap mereka sedang bersitegang layaknya sekarang.
Liam yang sudah ada di depan meja kerjanya, refleks balik badan. Ia fokus menatap sang istri sarat kekecewaan. “Mamahku bisa makin sakit jika setiap waktunya, dia terus menungguku. Bahkan aku tidak tahu, sampai kapan mamah bisa begitu di tengah kenyataannya yang sudah renta. Jadi, mulai besok juga aku mau ambil cuti! Aku mau fokus urus mamah aku dulu. Kalau kamu enggak kasih izin bahkan marah, kamu dan orang tua kamu bisa pecat aku. Kalian bisa pecat aku kapan saja. Kamu juga bisa menceraikan aku kapan saja!”
“Liam, aku enggak mungkin melakukan itu. Aku enggak bisa tanpa kamu jadi aku mohon, jangan berbicara omong kosong seperti itu. Oke, kamu boleh cuti dan aku juga enggak akan kirim ajudan buat jaga kamu, tapi ....”
“Cintamu ke aku terlalu banyak tapi. Mulai sekarang juga aku beneran enggak pakai fasilitas dari kamu dan orang tua kamu, Fel!” marah Liam.
“Oke, ... oke apa pun!” sergah Fello jauh lebih lantang. "Apa pun, aku setuju!”
“Termasuk menemui mamahku? Aku yakin, mamah aku pasti juga kangen banget ke kamu,” sergah Liam.
Fello langsung menggeleng. “No, untuk yang itu aku beneran belum bisa karena mamah kamu pasti akan langsung bahas anak. Mamah kamu pasti akan menuntutku memberinya cucu!”
Belum sempat Liam menanggapi tanggapan terakhir sang istri, pria itu mendapat telepon masuk dari suster yang mengurus mamahnya. Mamahnya masuk rumah sakit dan sampai kritis. Kendati demikian, Fello tetap tidak mau ikut dan berdalih takut dituntut mengenai momongan oleh mamah Liam yang jelas-jelas dikabarkan kritis.
Liam yang makin khawatir pada keadaan mamahnya, selain Liam yang sudah menyerah pada sikap Fello, langsung menuju rumah sakit sang mamah dirawat. Untuk pertama kalinya setelah menjadi bagian dari kehidupan seorang Fello yang membuatnya dipenuhi kemewahan, Liam menyetir sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
Nuryanti Yanti
Ono Yo menantu ku fello Ki....gendeng
2024-05-28
0
👏Zhenonk🏚️²²¹º
ngebayangin cewek hyper, posesif n arrogant.. duuhh Liam.. mending udahan deh🙈😓
2024-03-28
0
Fani Indriyani
ini liam bkn anaknya sekertaris lim dan widy kan kak Ros?
2024-03-15
0