MENGABAIKAN ADAM

Tari berjalan setengah berlari, dia sudah tidak tahan lagi membendung air matanya yang kini mulai berjatuhan membasahi pipinya.

"Kenapa sesakit ini rasanya Tuhan." keluhnya saat merasakan dadanya terasa begitu sesak.

Adam yang masih terpaku tersadar saat Tari menutup pintu mobil, "Tari." teriaknya membuka pintu mobil dan mengejar Tari.

****

Saat tiba didepan rumahnya, lampu masih menyala yang menandakan kalau ayahnya saat pasti belum tidur karna menunggu kepulangannya.

Tari mengusap air matanya, dia tidak ingin ayahnya melihat air matanya, Tari berusaha menormalkan mimik wajahnya yang sendu, karna bagi Tari, cukup dia saja yang menanggung semua hinaan yang dilontarkan oleh mamanya Adam, ayahnya tidak perlu tahu akan hal ini.

Tok

Tok

"Ayah, ini Tari ayah, Tari pulang." panggilnya.

Tari mendengar suara derap langkah mendekat, dan gak lama suara ceklek yang menandakan lubang kunci diputar dari dalam.

"Alhamdulillah, akhirnya nak kamu pulang juga, ayah tidak bisa tidur sebelum melihat kamu pulang, bukannya ayah tidak mempercayai nak Adam, hanya saja sebagai seorang ayah, hati ayah tidak tenang." desah ayah Rahman lega begitu melihat putrinya kini berdiri dihadapannya.

Tari memaksakan diri untuk tersenyum untuk memberitahu kepada sang ayahnya kalau dirinya baik-baik saja, "Iya ayah, Tari tidak apa-apa, seharusnya ayah tidur saja, besokkan ayah harus bangun pagi-pagi."

"Kan ayah sudah bilang nak, ayah tidak tenang sebelum melihat kamu pulang, ayah harus memastikan kamu baik-baik saja."

Ayah Rahman menoleh ke belakang melewati bahu Tari, "Lho, nak Adam mana nak, dia tidak mengantarkanmu sampai depan rumah."

"Tadinya mas Adam memang mau nganterin Tari sampai rumah ayah, tapi Tari larang karna ini sudah malam, Tari menyuruh mas Adam balik langsung saja." bohongnya.

"Ohhh begitu, ayok masuk nak, diluar dingin, nanti kamu masuk angin."

Setelah putrinya masuk, ayah Rahman langsung mengunci pintu rumahnya.

"Jadi bagaimana nak pertemuannya dengan orang tua nak Adam, apakah mereka menyukaimu." tanya sang ayah dengan rasa ingin tahu.

Seperti yang Tari bilang, biarlah hanya dia menanggung sakitnya hinaan yang dilontarkan oleh mamanya Adam, dia tidak ingin ayahnya tahu, ayahnya sudah tua, Tari tidak mau ayahnya kefikiran akan hal ini.

"Baik kok ayah, mereka keluarga yang baik." ujarnya hanya untuk membuat ayahnya senang.

"Syukur alhmdulillah ya nak, ayah yakin keluarga nak Adam adalah orang-orang yang baik yang tidak memandang status sosial."

"Kalau ayah tahu apa yang dikatakan oleh mamanya mas Adam, Ayah pasti akan sangat sedih." lirih Tari dengan hati perih.

"Ayah, sebaiknya ayah tidur, sudah malam."

"Kamu juga tidur ya nak."

"Iya ayah."

Saat mereka akan memasuki kamar masing-masing, mereka dikagetkan oleh suara ketukan, lebih tepatnya sieh suara gedoran dari luar.

"Tari, buka pintunya Tari, ayok kita bicara baik-baik." suara Adam setengah berteriak.

"Lho, itukan suara nak Adam." heran ayah Rahman memandang putrinya yang tadi mengatakan kalau Adam sudah pulang.

Naomi menggeleng sebagai kode meminta ayahnya tidak membuka pintu tersebut.

Dari sini ayah Rahman mengambil kesimpulan kalau saat ini putrinya dan Adam dalam keadaan tidak baik-baik saja.

Ayah Rahman adalah seorang ayah yang pengertian, diapun tidak marah saat mengetahui kalau putrinya itu ternyata membohonginya.

"Apa yang sebenarnya terjadi nak antara kamu dan nak Adam."

"Maafkan Tari ayah, saat ini Tari belum bisa cerita sama ayah."

"Tidak apa-apa nak kalau kamu tidak mau cerita sekarang." ujar ayah Rahman penuh pengertian.

"Tari, buka sayang, ayok bicara baik-baik, jangan memutus hubungan secara sepihak begini, kenapa kamu tiba-tiba begini, apa keluargaku menyinggungmu." Adam masih menggedor pintu dan berteriak dari luar.

 "Kamu masuk nak, biar ayah yang mengahadapi nak Adam."

"Ayah, biarkan saja, nanti kalau mas Adam capek, dia akan pergi dengan sendirinya." 

"Mana bisa dibiarkan nak, itu bisa memancing keingintahuan tetangga, apalagi ditengah malam buta kayak gini, kamu mau rumah kita didatangi oleh para tetangga yang kepo."

Tari menggeleng, "Tapi ayahhh…

"Sudahlah nak, serahkan semuanya sama ayah, percayalah sama ayamu ini." suara ayahnya terdengar meyakinkan dan itu membuat Tari mengangguk.

Dan pada akhirnya Tari masuk ke kamarnya dan mempercayakan semuanya pada ayahnya.

Begitu anaknya sudah menutup pintu kamarnya, ayah Rahman membuka pintu.

Adam yang sudah mengangkat tangannya untuk menggedor pintu kini menurunkannya kembali.

"Ayah." meraih tangan ayah Rahman dan menciumnya.

"Tari mana ayah." tanya Adam memanjangkan lehernya untuk mencari keberadaan Tari.

"Tari lagi istirahat nak."

"Mohon maaf ayah kalau saya mengganggu istirahat ayah malam-malam begini, tapi bolehkan saya minta tolong ayah memanggilkan Tari." pintanya sopan.

"Ayah tidak tahu permasalahan kalian nak, Taripun tidak ada ngomong apa-apa sama ayah, tapi nak, biarkan Tari beristirahat dan menjernihkan fikirannya, kamu bisa datang besok pagi, siapa tahu hatinya sudah membaik dan bisa diajak bicara baik-baik." ayah Rahman memberi saran.

Dengan tidak rela Adam berkata, "Baiklah ayah, bilang sama Tari ayah, besok saya kembali lagi."

"Pasti ayah sampaikan nak." janji ayah Rahman mantap, "Nahh sekarang sebaiknya kamu pulang dulu, takutnya nanti keluarga nak Adam mengkhawatirkan nak Adam."

"Baik ayah." sebelum pulang, Adam kembali mencium punggung tangan ayah Rahman, ayah yang seharusnya sebentar lagi akan berstatus sebagai ayah mertuanya.

"Semoga mereka baik-baik saja dan tidak mengalami masalah yang berarti." harap ayah Rahman kalau hubungan putrinya dan Adam baik-baik saja.

****

Adam memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi, dia ingin segera tiba dirumah dan mencecar mamanya untuk mencari tahu apa yang telah mamanya katakan sehingga membuat Tari jadi berubah dan tidak ingin melanjutkan hubungan mereka.

20 menit kemudian, Adam tiba dirumahnya, dia masuk dengan tergesa-gesa dan berteriak memanggil sang mama.

"Ma….mama…."

Pembantu rumah tangganya yang bernama bi Asih dengan tergopoh-gopoh mendekati tuannya.

"Ada apa tuan, kenapa teriak-teriak."

"Mama mana bik."

"Nyonya sepertinya dikamarnya tuan."

Adam kemudian langsung melangkah menuju kamar mamanya.

"Ma, mama didalamkan, buka pintunya ma." Adam mengetuk pintu kamar mamanya dengan tidak sabaran.

"Ma, Adam mau bicara sama mama."

Pintu terbuka, mama Cellin terlihat mengenakan piyama tidurnya, sepertinya dia sudah bersiap untuk tidur.

"Ada apa Adam, kenapa kamu mengganggu mama malam-malam begini, mama mau istirahat." 

"Ma, mama bicara apa dengan Tari, kenapa Tari langsung memutuskan hubungan dengan Adam." cecarnya langsung pada intinya.

"Apa sih maksud kamu Adam, mama gak ngerti."

"Jangan pura-pura tidak mengerti ma, mama mengerti maksud Adam, mama ngomong apa sama Tari ma." 

Hmmm, gak ada." jawab mama Celin tidak menjawab keingintahuan putra bungsunya.

"Ma…."

"Mama tidak mengatakan apa-apa sama kekasih kamu itu Adam, kami hanya ngobrol biasa, kenapa kamu jadi menuduh mama yang bukan-bukan sieh."

"Kalau mama tidak mengatakan apa-apa sama Tari, kenapa Tari jadi memutuskan hubungan kami secara sepihak ma, padahal ketika berangkat dari rumahnya kami baik-baik saja."

"Ohh, gadis itu memutuskan hubungan kalian juga ternyata, baguslah, dia sadar diri juga."

"Apa maksud mama." cecar Adam mendengar apa yang diucapkan oleh mamanya barusan.

"Adam, gadis itu tidak pantas untuk kamu, mengertikah kamu, dia itu hanya anak seorang penarik angkot Adam."

"Ma, apa yang mama katakan." Adam tidak menyangka mamanya mengatakan hal tersebut.

"Sayang, lepaskan gadis itu, kamu pasti bisa mendapatkan yang jauh lebih daripada gadis kampung itu."

Adam menggeleng, "Adam tidak menyangka mama bisa mengatakan hal ini, yang Adam tahu, mama adalah orang baik yang tidak membedakan seseorang berdasarkan status sosialnya."

"Percayalah sayang, mama tetaplah orang baik dan tidak membedakan orang berdasarkan status sosialnya dalam hal pertemanan, tapi rasanya mama tidak bisa menerima kalau gadis itu menjadi bagian dari keluarga kita, mengertilah sayang, gadis itu bukanlah gadis yang tepat untukmu, mama akan mengenalkan gadis yang cocok yang bisa menjadi pendampingmu kelak." mama Cellin berusaha membujuk putranya.

"Gak ma, Adam tidak mau, Adam mencintai Tari ma, Adam tidak menginginkan gadis yang lain." setelah mengatakan hal tersebut, Adam berlalu dari hadapan mamanya dengan perasaan kecewa, dia tidak pernah menyangka, wanita yang selama ini dia kenal selalu baik pada setiap orang ternyata tidak menyukai kekasih yang dia cintai.

"Aku fikir mama bersikap ramah sama Tari karna dia menyukainya, ternyata itu hanya topeng belaka."

****

Adam kembali memacu mobilnya, rasanya dia tidak ingin berada dirumah untuk saat ini, Adam menghentikan mobilnya dipinggir jalan, dia meraih poselnya dan menghubungi Tari, Adam yakin Tari belum tidur.

Sayangnya, panggilannya diabaikan oleh Tari, Adam kemudian menarikan jemarinya dengan lincah untuk mengirim pesan pada Tari.

[Sayang, aku mencintaimu, jangan putuskan hubungan kita secara sepihak, aku tidak yakin bisa hidup tanpamu, aku harap kamu jangan ambil hati kata-kata mama, apapun yang terjadi, aku akan menikahimu."]

Bahkan pesan Adampun diabaikan oleh Tari, hanya centang dua abu-abu yang artinya Tari tidak membaca pesan dari Adam padahal beberapa detik yang lalu Adam melihat kekasihnya itu online.

[Sayang, pliss jangan abaikan aku seperti ini, balaslah pesanku.]

Adam berharap Tari akan membalas pesannya, nyatanya Tari tetap konsisten mengabaikan pesannya.

Hal itu membuat Adam emosi, dia memukul stir, "Ini semua gara-gara mama, kenapa mama jadi jahat begini." teriaknya menghiasi keheningan malam.

Tidak mau larut dalam kesedihan, Adam kembali memacu mobilnya menuju sebuah club malam, tempat yang selalu dia datangi dulu sebelum dia kenal dengan Tari, setelah dia pacaran dengan Tari, dia sudah tidak pernah lagi datang ke club itu, namun kini perasaaanya yang tengah gundah gulana memaksanya untuk mendatangi tempat tersebut hanya sekedar untuk menghibur dirinya.

"Hugo, buatkan minuman yang biasa untuk gue." teriaknya pada bertender yang sudah dia kenal baik diclub itu.

Hugo bengong sesaat, dia seperti melihat seorang ustadz ditempat yang tidak seharusnya.

"Kenapa lo, kayak lihat setan saja." komen Adam melihat ekpresi terkejut diwajah Hugo.

"Lo Adamkan."

"Bukan, gue Ibrahim, ya Adamlah."

"Busettt, ada angin apa yang membawa elo ke surga dunia begini setelah sekian lama lo sempat vakum kemari, lo ada masalah Dam."

Adam mengangkat bahu, "Yahh begitulah kira-kira, tidak ada hidup yang tidak ada masalahkan." jawab acuh tak acuh.

"Masalah perempuan ya."

"Hmmmm."

"Lo sekarang jangan banyak tanya deh, cepat buatkan apa yang gue minta."

"Beneran nieh lo mau minum lagi, bukannya elo sudah tobat."

"Bawel lo ya, buruan." bentak Adam tidak sabaran.

"Oke tuan Adam yang mulia."

Hugo menyodorkan segelas besar minuman dengan kadar alkohol tinggi dihadapan Adam.

Adam meneguk gelas berisi minuman keras yang disodorkan oleh Hugo dalam sekali teguk, rasa panas menjalari tenggorokannya begitu minuman berwarna kuning keemasan itu mengaliri tenggorokannya.

Adam telah menghabiskan bergelas-gelas minuman memabukkan tersebut, bahkan dia kini telah hilang kesadarannya, omongannya mulai ngentur tidak karuan.

"Busettt, dia tepar lagi." Hugo jadi kebingungan sendiri sampai dia ingat akan Marcell sahabat Adam yang juga sering datang ke club tersebut, dan karna dia dan Marcell bisa dibilang berteman sehingga tidak heran Hugo memiliki nomer Marcell.

Hugo mendial nomer Marcell untuk mengabari pada Marcell tentang kondisi Adam.

"Marcell, lo dimana." cecar Hugo begitu panggilannya dijawab.

"Gue diapartmen, ada apaan sieh tumben banget lo hubungin gue, kangen ya karna gue gak pernah datang lagi ke club."

"Kangen dengkul lo, sahabat lo nieh tepar, kayaknya bergerak saja dia gak sanggup." lapornya.

"Sahabat gue, sahabat gue yang mana, jangan bilang Adam."

"Iya dia itu."

"Adam berada diclub, ngapain."

"Ikut pengajian, ya minumlah, lo gimana sieh."

"Iya maksud gue, gue gak percaya saja tuh anak bisa berada diclub setelah sekian purnama dia tidak pernah mau gue ajakin lagi ke club setelah pacaran dengan Tari."

"Ya nyatanya sekarang dia ada disini, lebih baik sekarang buruan lo susul dia kemari, dia sepertinya sudah benar-benar kehilangan kesadarannya."

"Oke, gue akan otw kesana." putus Marcell mematikan sambungan.

*****

30 menit kemudian, Marcell tiba diclub, dan menemukan sahabatnya itu tepar dan terlihat lemas.

"Minum berapa gelas dia sampai tepar begini." tanyanya pada Hugo.

"Gak gue hitung, pokoknya banyak deh."

"Hehh Adam, sadar lo." Marcell menepuk-nepuk pipi sahabatnya dengan kepala terbaring dimeja besi.

Adam membuka matanya perlahan, dan mengerjap-ngerjapkannya, matanya memerah karna banyaknya minuman beralkohol yang dia konsumsi.

Adam terkekeh melihat sahabatnya itu ada dihadapannya, "Marcell sahabat gue." suara Adam serak.

Marcell duduk dikursi disamping Adam, "Lo kenapa sieh, ada masalah."

Adam menggeleng dan terkekeh, "Gue gak punya masalah, gue hanya mau happy-happy."

"Kita balik yuk." Marcell meletakkan tangan Adam melingkari punggungnya.

Namun Adam mendorong Marcell, dia sepertinya tidak mau pergi dari club tersebut, "Gue mau disini, gue mau seneng-seneng."

"Gimana bisa lo seneng-seneng kalau kondisi lo kayak gini hah, berdiri aja susah lo." teriak Marcell, "Ayok kita balik Dam." Mercell kembali memapah Adam, dan kali ini Adam nurut.

"Hugo, gue balik dulu." teriak Marcell sambil membawa Adam pergi.

"Oke." jawab Hugo berteriak berusaha menyaingi suara dentuman musik diclub tersebut, "Lo gak minum dulu nieh Cell mumpung lo disini."

"Kapan-kapan deh, gue perlu ngurusin sahabat gue ini dulu." jawab Marcell yang juga berteriak.

Dengan susah payah Mercell membawa Adam ke mobilnya dan mendudukkannya dikursi penumpang.

"Huhhh." Marcell menarik nafas lega, "Lo bikin gue susah saja Dam."

"Tariii, jangan tinggalin aku Tari, aku mencintaimu Tari, pliss jangan tinggalin aku, aku tidak bisa hidup tanpamu Tari." Adam menggigau diluar kesadarannya.

Marcell menoleh ke arah sahabatnya, "Ohhh, ternyata lo ada masalah sama Tari Dam." simpulnya setelah mendengar racauan Adam.

Marcell kemudian menjalankan mobilnya dan keluar dari area parkir club malam tersebut.

Marcell berniat membawa Adam ke apartmennya karna gak mungkin rasanya memulangkan Adam ke rumahnya dalam kondisi seperti ini.

*****

Tari tidak bisa tidur malam ini, dan dia memang sengaja mengabaikan panggilan Adam dan juga chat yang Adam kirim.

"Maafkan aku mas Adam, maafkan aku yang mengakhiri hubungan kita, mungkin ini yang terbaik untuk kita, aku memang tidak pantas untuk kamu mas, seharusnya aku menyadarinya sejak awal sebelum perasaanku mendalam begini." Tari memukul-mukul dadanya yang terasa sesak, dia kesulitan untuk bernafas, sejak mengunci diri dikamarnya, kerjaannya hanya menangis dan menangis tanpa suara menumpahkan rasa sakit karna harus mengakhiri hubungannya dengan laki-laki yang dia cintai.

"Aku mencintaimu mas Adam, maafkanlah aku." kata itu terus Tari ucapkan sambil sesenggukan sampai pada akhirnya dia tertidur.

****

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!