“Aku pulang, Ayah,” Sesampai di rumah Sean memberikan salam pada ayahnya.
Sayangnya Pak Andi tidak sendirian, dia sedang berbicara serius dengan Tuan Ellinden yang berarti adalah ayah dari Frans.
Pria yang usianya sudah mencapai angka lima puluh tahun itu memiliki penampilan yang menyerupai Frans. Rambut pirang dan mata biru, bahkan sorot mata tajamnya benar-benar tidak bisa dibedakan.
Kedatangan Sean mengalihkan perhatian Pak Andi maupun Tuan Ellinden. Mereka berdua menatap Sean yang penampilannya sedikit tampak kacau. Kemeja dan rambut Sean basah ikut terciprat air seperti nasib dari lukisannya.
“Sean, kau pergi dari mana saja? Kebetulan Tuan Ellinden sedang ingin berbicara denganmu,” Sapa ayahnya terlebih dahulu.
“Ah-ya …, aku-aku hanya ….” Sean menghentikan ucapannya yang terbata itu.
Pemuda itu bisa saja menjelaskan apa yang dia lakukan seharian pada ayahnya, tetapi ucapannya menggantung di tenggorokan saat mata biru Tuan Ellinden ikut menatapnya.
Ayah Frans tidak boleh tahu soal Sean yang kembali melukis, apalagi kondisi tangannya yang sepenuhnya pulih. Lebih baik semua yang dilaluinya hari ini disembunyikan dan selamanya mereka menganggap bahwa Sean adalah pemuda cacat.
Sean lebih memilih tidak melanjutkan ucapannya, dia sedang berpikir bagaimana cara mengalihkan pembicaraan barusan.
“Ah, ayah bilang Tuan Ellinden ingin menemuiku.” Sean berpaling pada pria Eropa yang berdiri di sebelah ayahnya. “Tuan, apa yang ingin anda bicarakan dengan saya?”
Tampaknya Rift Ellinden tidak tertarik pada alasan Sean menghilang seharian. Dia beralih untuk duduk di sofa ruang keluarga. Di belakangnya Sean dan ayahnya mengikutinya.
“Duduk, Sean!” pintanya dengan suara tegas. Bahkan permintaan itu lebih mirip dengan sebuah perintah bila dia terus menekuk wajahnya yang kaku.
Sean mengambil tempatnya, dia duduk di tempat yang tak jauh dari Rift Ellinden, sedangkan ayahnya berdiri di belakang Sean.
“Kau terlihat lebih baik setelah kecelakaan itu.” Awal komentar dari pria Eropa itu sudah membuat Sean tidak nyaman. Mustahil di balik kecelakaan itu dia tidak menyelidiki siapa pelaku sebenarnya.
Tentunya Dia tahu bahwa keserakahan dan temperamen buruk anaknya berakibat fatal bagi Sean. Namun, Ellinden tetap Ellinden. Di belakang nama Frans dan pria itu terukir nama Ellinden yang sama. Sebagai seorang ayah, dia pasti akan melindungi anaknya bagaimanapun caranya.
“Benar, itu semua karena Tuan. Saya dengar dari ayah bahwa andalah yang membayar semua biaya rumah sakitku. Saya bahkan belum sempat mengucapkan terimakasih.”
Rift Ellinden mengangguk tak puas. “Aku sudah mendengar semuanya dari ayahmu. Dia bilang tanganmu tidak bisa digunakan untuk melukis lagi.”
Dengan Rasa sakit yang tidak bernanah di hatinya, Sean menurunkan pandangan. Namun, pria di hadapannya hanya menatap tangan kanan Sean yang terlilit perban.
“Akan tetapi aku tidak ingin membahas keadaanmu.” lanjut Ellinden yang sontak membuat Sean menatapnya. “Ya, aku sudah berjanji pada ayahmu untuk memberikanmu sebuah pekerjaan. Padahal aku ingin kau menjadi salah satu seniman di Ellinden Gallery, tetapi melihat kondisimu saat ini itu tidak memungkinkan.”
Itu tidaklah salah, Sean memanglah digunakan sebagai sapi perah keluarga Ellinden. Ayah Frans tahu bahwa bakat melukis Sean luar biasa. Dia memberikan sedikit bantuan untuk kebutuhannya di asrama sebagai harapan bahwa Sean akan lulus dan menjadi pelukis yang dapat menghasilkan jutaan dollar untuk Ellinden Gallery.
“Walaupun kau tidak bisa lagi menjadi seniman, aku ingin kau menjadi asisten kurator di galeriku. Aku yakin kau bisa belajar dengan cepat di tempat itu,” Jelas Rift Ellinden tanpa mengubah ekspresinya.
Setelah gagal menjadikan Sean seniman, pria itu tetap mencari cara untuk memerah kemampuannya. Bagi Rift Ellinden, sapi perah tetaplah sapi perah. Sean adalah sapi perah dan ayahnya tidak lain adalah anjing penjilat untuknya.
Sean ingin marah, bahkan, hampir saja dia mengepalkan tangannya. Namun, dia kembali mengendalikan emosi.
Menjadi asisten kurator bukanlah hal buruk. Meski Sean tahu bahwa dia tidak akan mendapat gaji yang sesuai dari pekerjaannya, tetapi dia dapat belajar di tempat itu. Hanya saja ada yang dikhawatirkan oleh pemuda itu.
Rift Ellinden tidak mengetahui keadaan Sean yang sebenarnya. Dia mengira bahwa dirinya cacat sehingga ingin menghentikan pendidikan seninya dan mencarikan pekerjaan yang sesuai atas kemampuan Sean.
“Aku berterimakasih untuk itu, Tuan. Akan tetapi, bagaimana dengan pendidikan saya? Ini sudah tahun kedua dan saya berharap bisa lulus meski dengan kekurangan yang saya miliki.”
Rift Ellinden mengangguk ragu, “Apa kau tidak kesulitan untuk melanjutkan pendidikanmu?”
Sean langsung menggeleng. “Ya, meskipun saya tidak bisa menggunakan tangan kanan, saya bisa mulai untuk membiasakan diri dengan tangan kiri. Bukannya menempuh pendidikan akan sangat berguna sebagai asisten kurator? Selain teori yang akan didapat, saya juga bisa mendapatkan pengalaman dan relasi yang menguntungkan Ellinden Gallery.”
Samar-samar Sean tersenyum atas alasan-alasan palsunya. Tentu saja dia terlebih dulu memastikan bahwa Rift Ellinden tidak mengetahuinya. Bagaimanapun caranya Sean harus meyakinkan pria itu agar terus memberikan dukungan pendidikan pada Sean.
Rift Ellinden tampak berpikir. Sean tahu argumennya barusan akan sulit ditolak. Dia sungguh mengenal pria yang tidak akan bisa menolak apapun soal uang. Benar-benar mata duitan.
“Baiklah, aku serahkan semuanya padamu asalkan …, kau tidak mengecewakan.” Itu adalah jawaban dari Rift Ellinden sebelum dia pergi.
Benar-benar dapat diprediksi dengan mudah.
***
Keesokannya, Sean bersiap untuk segera berangkat di universitas. Dia sengaja datang lebih siang karena tidak ingin Felix menyadari keberadaannya di kamar asrama.
Sebenarnya Sean muak harus sekamar dengan teman Frans, tetapi dia tidak bisa mengganti pengaturan kamar. Itu karena ayah Frans adalah pengelolah dari asrama ini sedangkan kakak sepupunya adalah penanggung jawab. Benar-benar tidak bisa diharapkan.
“Ah, tunggu dulu!” seru Sean yang menemukan ide bagus untuk merubah pengaturan kamar.
Sean mengurungkan niatnya untuk pergi ke asrama terlebih dahulu, dengan merubah cara berjalannya, Sean berpura-pura tertatih menuju ruang kelas.
Sudah pukul 9 lebih, keadaan kelas sedang tenang saat seorang dosen sedang membawakan mata ajar. Namun, kedatangan Sean memecahkan ketenangan itu. Dia tiba dengan kaki yang pincang dan tangan kanan yang diperban.
“Lihat siapa yang datang?” Seorang berseru dengan wajah pucat yang seolah baru saja melihat hantu.
“Mengapa dia datang ke kelas? Aku pikir dia sudah pergi ke neraka?” Seseorang yang lain menambahkan cercaan untuk Sean.
Berita jatuhnya Sean dari atap rupanya sudah menyebar. Namun, tidak ada seorang pun yang tahu bahwa Sean sedang dalam keadaan baik-baik saja, kecuali Frans dan Felix yang mengetahui dengan benar tentang tangan Sean yang cacat.
“Diam dan kembali tenang!” Dosen pengajar kembali menguasai kelas.
Sean tidak ingin berbicara tentang apapun saat ini, tetapi aktingnya dengan kaki pincang terus dijalankan. Usaha Sean setidaknya dapat mengambil perhatian Frans. Mata biru miliknya terus saja mengikuti pergerakan Sean dengan diam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Nurmiahana Nana
aduh nggak suka cerita bertele2 😔
2023-02-22
1
𝙍𝙮𝙪𝙪 𝘼𝙯𝙖𝙩𝙝𝙤𝙩𝙝
... Tch, Lama sekali.. kapan balas dendam nya?
2023-01-27
2