Setelah gila mendapatkan uang satu miliar, Sean menjadi gila kembali saat dia berpikir bagaimana seharusnya menghabiskan satu miliar itu.
Pemuda itu duduk di atas meja belajarnya sambil melihat situs jual-beli properti. Bahkan, dia melakukan itu sampai tengah malam. Namun, belum ada satu rumah pun yang dia pilih.
Membeli rumah adalah satu-satunya daftar apa yang harus Sean beli. Dia tidak ingin terus menumpang pada keluarga Ellinden yang sudah memperlakukannya seperti budak. Mencari rumah baru yang nyaman untuk bisa ditinggali Sean bersama ayahnya adalah apa yang diharapkan saat ini.
Dengan uang 1 miliar yang dimilikinya, tidak hanya rumah layak saja yang bisa Sean beli, tetapi dia bisa mendapatkan sebuah mobil dan barang-barang yang diinginkannya selama ini.
"Bisnis?" Tiba-tiba ide itu terbesit dalam kepalanya.
Sean kembali mempertimbangkan keputusan untuk menghamburkan uang. "Aku bisa mendapat uang lebih banyak lagi dengan itu. Bukankah itu ide bagus? Apa aku harus menggunakan semua uangku untuk berbisnis?"
Meskipun pemuda itu ingin segera membawa ayahnya untuk tinggal di rumah baru, keputusan tergesa-gesa itu akan berdampak besar. Semua orang akan curiga bagaimana ayahnya yang hanyalah tukang kebun dan dirinya yang adalah seorang mahasiswa memiliki uang untuk membelinya. Bisa-bisa tuduhan mencuri uang keluarga Ellinden benar-benar tidak bisa dielak. Lebih baik menggunakan uang itu dengan tidak mencolok.
"Hah, jadi apa yang harus aku lakukan?"
[Misi Harian]
[Jual satu ukisan hasil karya anda]
Jendela sistem yang mendadak muncul berhasil menghentikan Sean yang sedang berpikir. Mata hitam pemuda itu melirik sepintas dan kembali dibuat berpikir.
Baru pertama ini sistem memberikan misi yang masuk akal. Hanya saja … misi ini terbilang menyulitkan Sean. Meskipun hasil lukisan Sean paling diakui di universitasnya, tetapi siapa kiranya yang mau membeli lukisan pemula dengan cat murah miliknya?
"Ah, tunggu dulu!" Mata Sean melebar cerah, sepertinya ada banyak ide yang sedang mengantri di dalam kepalanya.
***
Semalaman Sean tidak tidur, itu terlihat dari kantung hitam yang menggantung di matanya. Ada hal yang harus diselesaikannya dalam semalam. Dia harus menyelesaikan sebuah lukisan.
"Akhirnya, selesai!" Sean mengangkat kedua tangan dan merenggangkan otot-otot kaku. Pandangan lelahnya beralih di atas kanvas yang sudah dipenuhi cat minyak. Sebuah lukisan Fauvisme yang menggambarkan seorang anak perempuan sedang memeluk ibunya adalah hasil kerja keras Sean.
Kanvas berukuran 30x60 segera dibungkus setelah catnya mengering. Ini bukanlah lukisan sempurna dan tampak terburu, tetapi Sean harus bisa menjualnya hari ini untuk bisa memenuhi misi harian dari sistem.
Setelah membereskan pekerjaannya, Sean bersiap-siap untuk pergi. Namun, langkahnya tertahan saat dia melihat dirinya di depan cermin.
Benar, tangan kanan Sean sudah kembali seperti semula, tetapi bila sampai hal itu diketahui Frans, sudah pasti dia akan mencari cara untuk mencelakainya lagi.
Sudah lama Frans mengincar jari-jari Sean. Bagaimana tidak, ayah Frans adalah pengusaha galeri terkenal dan ibunya adalah pelukis veteran. Sebagai anak yang akan mewarisi usaha itu, karya seni dan pengamatannya harus lebih unggul dibandingkan siapa pun. Namun, Sean yang tidak memiliki latar belakang hebat justru dapat mengunggulinya.
Frans tidak dapat membiarkan Sean terus berkembang sehingga motif itulah yang digunakannya untuk menekan, membulli dan melakukan kekerasan.
“Itu tidak bisa terjadi lagi. Setidaknya aku harus berpura-pura menjadi cacat di depannya agar keselamatanku terjamin.” Itulah yang dipikirkan Sean dengan cerdas.
Tanpa membuang waktu, pemuda itu mengambil kotak obat dan melilitkan perban pada tangan kanannya sendiri. Setelahnya, dia bergegas pergi dengan sebuah karya seni.
***
“Berapa harga yang aku dapatkan untuk lukisan ini?” tanya Sean sambil menyerahkan kanvasnya pada seorang pria berkacamata.
Pria 30 tahun itu adalah seorang kurator dan juga seorang pemilik dari galeri seni kecil yang bernama ‘Pipe Art Spaces Gallery’. Dia memeriksa lukisan Sean dengan begitu detail.
“Bagaimana? Apa aku bisa menjualnya di tempat ini?” Sean kembali mengajukan pertanyaan.
Pria di depannya menatap Sean dan menggeleng. “Lukisan ini tidak layak dijual. Meskipun teknik dan perpaduan warnanya begitu bagus, tetapi aku tidak bisa menemukan nyawa di dalamnya.”
Nyawa yang dimaksudkan adalah gambaran cerita dari lukisan itu yang membuatnya tampak hidup. Sebuah kiasan yang dapat langsung dipahami Sean.
Saat ini Sean tidak bisa menutupi ekspresinya yang kusut. Sebagai pemuda yang memiliki penglihatan bagus dalam menilai karya seni, dia juga mengerti bahwa lukisan Sean yang dipelajari secara otodidak itu tidak layak digantung dalam sebuah galeri.
Melihat itu, kurator hanya tersenyum menghibur. “Kau masih muda, kau masih bisa mencari pengalaman. Cobalah mencari galeri lain dan … semoga beruntung.”
“Aku mengerti,” balas Sean berbalik pergi.
“Ah, kau … siapa namamu?” kurator bertanya sehingga Sean menghentikan langkahnya. Namun, tanpa berbalik Sean menyebutkan namanya.
“Sean Herdian.”
“Ah, Sean. Sebenarnya aku menyukai lukisanmu. Namun, teruslah me
berlatih bakatmu dan datanglah padaku setelah kau merasa cukup,” ungkapnya.
Pria berkacamata itu menghampiri Sean dan memberikan sebuah kartu nama untuknya. “Kau dapat mencariku kapan pun. Tentunya aku akan selalu menyambutmu.”
Sean dapat melihat kartu nama itu dan secara tidak sadar menyebutkan nama di dalamnya. “Kenzo Karrin?”
Pria yang baru saja dipanggil Sean hanya tersenyum kecil dan melambaikan tangannya sebelum pergi. “Semoga beruntung!”
***
Setelah pergi di beberapa galeri seni, Sean benar-benar mendapatkan penolakan. Sebagai pelukis pemula yang belum menyelesaikan pendidikan seni di universitas, tentu saja para kurator memberikan cibiran kasar.
Tidak seperti Kenzo Karrin yang menyemangatinya, para kurator itu lebih galak ketimbang dosen penguji skripsi yang sedang datang bulan. Benar-benar hari yang berat bagi Sean.
Sean yang tengah berjalan, menepi di pinggir dan duduk di atas kursi taman. Dia meletakkan lukisannya di samping dan menghela napas.
“Benar-benar mustahil untuk menjualnya,” desahnya sambil menyandarkan kepala.
Sean benar-benar tidak tahu mengapa dia bekerja sekeras ini dengan kemampuannya yang pas-pasan. Misi harian yang diberikan sistem setidaknya ikut andil. Namun, karena Sean tergoda dengan hadiah dalam menyelesaikan misi harian.
Hadiah terakhir yang diberikan sistem adalah uang tunai 1 miliar, lalu berapa banyak hadiah lain yang bisa diberikannya untuk memenangkan misi? Apakah bisa mencapai sekian miliar, atau bahkan angkanya menyentuh triliun?
Namun, di tengah perasaan Sean yang sedang patah, mustahil dia dapat menyelesaikan misi kali ini. Bahkan, sampai matahari terbenam pun dia tidak berhasil menggantungkan lukisan itu di salah satu galeri.
‘Byur!’
Sebuah mobil dengan kecepatan tinggi melintas dan membuat genangan air di jalanan terciprat pada lukisan Sean. Tidak hanya lukisannya, tetapi dirinya ikut basah.
“Ah sial! Mengapa aku terus-terusan sial hari ini!” cerca Sean sambil memeriksa keadaan lukisannya.
Beruntung cipratan air itu hanya mengenai luar bungkus kanvas dan tidak sampai merusak cat. Akan tetapi Sean harus melepaskannya agar keadaan kanvas tidak lembab.
Pikiran Sean kembali keruh, untuk apa dia repot-repot melakukan hal itu. Hari sudah malam, dan batas penyelesaian misi akan berakhir. Dia gagal dan parahnya suasana hatinya sedang buruk sehingga ada pikiran kecil untuk membuang benda itu.
“Om?” Seorang laki-laki kecil menarik lengan baju Sean. “Apakah aku dapat membeli lukisan itu?”
Bocah berumur 8 tahun itu menunjuk lukisan Sean dengan jari kecilnya, sontak Sean ikut melihat.
“Kau menginginkannya?” tanya Sean dengan ramah.
“Jangan khawatir, aku akan membayarmu, Om,” ucapnya dengan mata cerah sambil memberikan sebuah origami burung pada Sean. “Aku ingin membeli lukisan itu dengan ini.”
Tidak ada harapan menjual lukisan pada bocah itu. Namun, ketibang dibuang, lebih baik lukisan itu diberikan padanya.
“Baiklah aku akan menjualnya untukmu.” Sean menerima origami itu dan memberikan lukisannya pada si bocah. Namun, karena ukuran kanvasnya sedikit lebih besar, bocah itu tampak kesulitan untuk membawanya. “Di mana kau tinggal? Aku akan mengantarkanmu.”
Dengan bersemangat si bocah menunjukkan arah rumahnya. “Ini rumahku, siapa nama om?”
“Aku Sean,” jawab Sean sambil memberikan lukisan yang dibawanya.
“Terimakasih, Om Sean. Hari ini adalah ulang tahun ibuku dan aku akan memerikan lukisan ini sebagai hadiah. Aku harap dia akan menyukainya,” ucapnya sebelum masuk ke dalam rumah.
Sean hanya tersenyum, tetapi sebelum pergi, melalui jendela dia dapat melihat si bocah memberikan hadiah itu pada sang ibu. Ibunya tampak senang dan langsung memeluknya. Bersama-sama mereka menggantung lukisan di salah satu dinding rumah yang terlihat.
Melihat hal itu, Sean yang merasa gagal kini menjadi lebih baik. Tidak disangka lukisannya dapat memberikan kebahagiaan untuk mereka.
[Selamat! Anda telah menyelesaikan misi harian]
[Hadiah: … loading]
Sean terkejut setelah melihat jendela sistem muncul. Bagaimana dia dapat berhasil menyelesaikan misi hari ini? Atau mungkinkah sistem kembali mengalami kerusakan seperti apa yang telah terjadi dahulu.
Setelah dipikir-pikir, Sean memang tidak berhasil menjual lukisan pada galeri, tetapi dia menjualnya pada si bocah dengan bayaran sebuah origami. Tidak peduli dengan siapa Sean menjual dan berapa bayarannya, sistem tetap membaca penyelesaian itu.
Sean melihat origami itu kembali dan tersenyum. “Benar, misi tidak menjelaskan tentang bayaran yang harus aku dapat. Meski hanyalah sebuah kertas origami, itu merupakan bayaranku.”
[Konfirmasi hadiah]
[Anda mendapatkan kemampuan Dragon's Hand]
“Menarik!” Sean tersenyum lebar dengan apa yang baru saja didapatkannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
𝙍𝙮𝙪𝙪 𝘼𝙯𝙖𝙩𝙝𝙤𝙩𝙝
... Hufftt
2023-01-27
1
DINA OCTAVIA
knpa gak ngontrak aj , biar gak di curigain , dari pada numpang di tempat musuh
2023-01-13
1
Zafrullah Effendy
mantap thor.....
2023-01-06
0