Arumi menjalani hari-hari seperti biasa. Dia tidak mau terlalu berlarut-larut menyesali apa yang telah terjadi. Sekarang yang menjadi fokus utama Arumi adalah kebahagiaan untuk dirinya sendiri.
Arumi bahkan merasa seolah tidak memiliki suami. Kavi sangat jarang berada di apartemen, pria itu hanya terlihat saat pagi. Arumi berusaha untuk tidak peduli, kewajiban yang bisa dia lakukan hanya membersihkan apartemen dan menyiapkan sarapan. Beruntung Kavi tidak memprotes apapun karena sejujurnya Arumi tidak mau berhadapan dengan pria itu.
Namun, kedamaian Arumi hanya bertahan sebentar karena Kavi mulai menunjukkan taringnya. Pria itu selalu berkata ketus dan menampilkan raut wajah tak suka.
Malam ini Kavi pulang dalam keadaan mabuk, pria itu merancau berbicara banyak hal yang tidak Arumi pahami.
"Arumi, lo tahu ini semua gara-gara lo! Gue lagi berjuang dapetin restu orang tua gue, tapi lo merusak semuanya!" Kavi berteriak marah, menatap Arumi dengan penuh kebenci.
"Maaf Mas," ucap Arumi pelan.
"Sial! Lo benar-benar pengacau! Harusnya lo nolak menikah dengan gue atau jangan-jangan lo sengaja, iya? Lo sengaja mau jebak gue dalam pernikahan ini?"
Arumi menggeleng kuat sembari dengan hati-hati membantu Kavi menuju kamar pria itu.
"Maaf kalau pernikahan ini membuat hidup Mas berantakan, Arum nggak pernah mau menjebak Mas." Ucap Arumi setelah berhasil membantu Kavi tidur di atas ranjang.
"Gue benci lo Arumi! Gue benar-benar benci lo, pengacau!" rancau Kavi lagi.
"Benar Mas, benci aku sepuas hati Mas. Sampai kapanpun aku cuma terlahir cuma untuk dibenci. Si pengacau dan si pembawa sial ini memang pantas untuk dibenci."
Arumi berbalik pergi menuju kamarnya. Dia tidak sanggup menahan sesak di dadanya. Di dalam kamar Arumi hanya mampu menangis seorang diri.
"Ya Allah, kenapa takdir begitu kejam pada Arumi?" Arumi memukul dadanya berusaha meredakan rasa sakit di hatinya.
Arumi tidak pernah meminta ini semua terjadi, dia tidak pernah memaksa agar pernikahan tetap berlangsung tidak peduli siapa mempelai prianya. Namun, kenapa Kavi berkata seolah-olah ini semua karena Arumi?
Jika bisa memilih tentu saja Arumi memilih untuk menanggung malu karena ditinggalkan di hari pernikahan. Sayangnya, Arumi tidak pernah bisa memilih karena pada kenyataannya dia hanya bisa melakukan apa yang diperintahkan.
Sejak awal Arumi hanya pion yang digerakkan oleh orang-orang sesuka hati mereka. Arumi dipaksa menikah dengan pria lain yang sangat membencinya. Dia tidak pernah diberi pilihan karena nyatanya hidup yang dia jalani selalu diatur Mayang.
"Ya Allah, rasanya sangat menyakitkan." Arumi menghapus air matanya yang sejak tadi tidak berhenti mengalir.
Arumi selalu berusaha tegar meski hatinya rapuh. Dia selalu terbiasa dengan rasa sakit, seolah hatinya telah mati rasa.
...----------------...
Kejadian semalam tidak diingat oleh Kavi. Pria itu tepat bersikap biasa dan selalu menatap Arumi dengan penuh kebencian.
Sore ini mereka harus menginap di rumah orang tua Kavi. Sesuatu yang membuat Kavi ribut seharian dan selalu menyalahkan Arumi atas segala hal.
"Gara-gara lo weekend gue jadi berantakan! Seharusnya setiap weekend gue senang-senang sama cewek gue dan sekarang gue harus menderiya sama lo!"
Kavi terus mengoceh, meluapkan rasa marahnya pada Arumi yang hanya bisa pasrah menerima. Arumi tentu tidak akan berani melawan ucapan pedas dari Kavi.
"Gue cuma ngantar lo doang, kalau Bunda nanya bilang kerjaan di kantor lagi banyak!" ucap Kavi ketus.
"Iya Mas," Arumi hanya mampu mengiyakan agar pembicaraan ini tidak panjang.
"Satu lagi, di kamar gue ada sofa yang bisa lo pake buat tidur. Lo tidur di sofa karena gue nggak mau tidur satu ranjang sama lo!"
Sekali lagi Arumi hanya mampu menuruti keinginan Kavi. Diberi sofapun menuruti Arumi sudah jauh lebih baik daripada dia harus tidur seranjang dengan Kavi. Bisa saja saat dia tertidur nyenyak Kavi menyalurkan amarahnya dengan mencekik dia.
Arumi mengelus dada, berusaha menyabarkan hati menghadapi Kavi yang selalu marah padanya. Arumi terbiasa menerima kebencian, bahkan orang tuanyapun selalu memperlakukannya seperti seorang musuh yang harus dijauhi.
Usai mengantar Arumi dan berpamitan pada orang tuanya Kavi segera pergi. Pria itu sedang mengurus sesuatu yang menurutnya sangat penting.
...----------------...
Kedatangan Arumi tentu saja disambut baik oleh Nina. Wanita parah baya itu bahkan tidak sabar menunggu Arumi.
"Arum gimana kabarnya?" tanya Nina dengan hangat.
Mereka saat ini berada di ruang keluarga, duduk berbincang santai. Hal yang sejak dulu sering dilakukan oleh Arumi saat masih berpacaran dengan Aziel.
"Alhamdulillah baik, Bunda. Bagaimana kabar Bunda sama Ayah?" tanya balik Arumi disertai senyum manisnya.
"Alhamdulillah kami baik. Bunda bersyukur kalau keadaan kamu baik. Jujur saja Bunda khawatir sama kamu mengingat pernikahan yang kamu jalani bukan seperti impian kamu."
Nina menunduk lesu, hatinya merasa bersalah karena ulah Aziel yang membuat Arumi terpaksa menikahi Kavi yang bahkan sudah memiliki kekasih. Namun, ada satu hal yang disyukuri oleh Nina karena tanpa membuang waktu dia bisa menyingkirkan Cindy --kekasih Kavi-- dengan mudah.
"Bunda jangan khawatir ya, selama Arumi dan Mas Kavi menjalani dengan ikhlas rumah tangga kami pasti baik-baik saja."
Arumi diam-diam tersenyum kecut karena pada kenyataannya Kavi tidak akan dengan ikhlas menjalani pernikahan ini. Di sini hanya Arumi yang berusaha untuk ikhlas menerima takdir.
"Inilah yang buat Bunda ingin kamu jadi menanti Bunda, hati kamu bersih Nak. Kamu terlalu berharga dan hanya orang tertentu yang bisa melihat ketulusan hati kamu."
Arumi hampir menitikan air mata mendengar ucapan hangat dari Nina. Mayang yang merupakan Ibu kandungnya saja tidak pernah berbicara sehangat ini. Mayang selalu menatap dengan benci, wanita itu selalu menganggap Arumi pembawa sial untuknya dan sang suami.
"Arum jangan mikirkan orang yang membenci Arum, cukup pikirkan orang-orang yang menyayangi Aduk seperti Bunda dan Ayah." Nina kembali berkata dengan lembut.
"Iya Bunda, sekarang Arumi hanya ingin memikirkan hal positif saja. Arum cuma mau bahagia tanpa memikirkan orang-orang yang membenci Arum."
Nina tersenyum hangat, senyum yang sejak dulu ingin Arumi lihat dari wajah Mayang. Sayangnya, keinginan sederhana itu tidak pernah bisa menjadi nyata. Bukan senyum hangat yang bisa ditampilkan Mayang untuknya, melainkan wajah datar yang terkesan tidak peduli.
Sampai detik ini Arumi bertanya-tanya, apa kesalahan yang dia lakukan hingga Mayang terlihat sangat membencinya. Bukankah seorang Ibu selalu menyayangi anaknya dengan penuh cinta?
Jika Mayang terlihat membenci Arumi, maka Surya selalu bersikap tidak peduli. Sosok yang seharusnya menjadi pelindung itu hanya bisa memberikan punggung dingin bukan dekapan hangat seorang Ayah.
Bersambung ~~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments