Milaine segera bersiap untuk kepulangannya ke mansion Lysander. Seorang sopir ditugaskan untuk menjemput dirinya. Pada awalnya, sepanjang perjalanan menuju mansion berlangsung mulus. Akan tetapi, saat di persimpangan jalan sepi, tiba-tiba segerombol orang memberhentikan mobil yang ditumpangi Milaine.
“Mohon maaf, Nona. Saya tidak bisa melanjutkan perjalanannya karena kita telah dikepung,” ucap sang sopir.
Milaine berdecak kesal, satu persatu dari orang-orang itu mulai memukul kaca mobil. Suara berisik dari teriakan dan pentungan yang mereka gunakan membuat kesabaran Milaine terkuras habis.
“Hei, bajing*n! Berhentilah merusak mobilku!” teriak Milaine sembari keluar dari dalam mobil.
Sekelompok pria tersebut terlihat seperti preman yang dibayar untuk menargetkan Milaine. Tanpa diberi tahu pun Milaine sudah paham bahwa itu adalah ulah dari salah satu saudaranya.
“Akhirnya kau keluar. Jangan buang-buang waktuku hanya untuk membunuh gadis kecil ini!”
Milaine menyunggingkan sudut bibirnya, dia meraih sebilah kayu tergeletak di dekat mobilnya.
“Kenapa semua orang tidak sabar sekali ingin melihatku mati? Sungguh merepotkan. Ayo maju kalian! Coba serang aku,” tantang Milaine disertai sorot mata membara.
Mereka menyerang Milaine secara bersamaan, gadis itu bergerak dengan sigap menghindari setiap jenis serangan yang mengarah padanya. Tangan Milaine terlihat lincah, ia diam-diam berlatih selama lima tahun belakangan ini demi mempersiapkan hari seperti ini datang. Kelompok pembunuh itu dengan mudah dikalahkan Milaine. Tidak butuh waktu lama baginya menumbangkan kelompok pembunuh yang dianggap amat lemah.
“Yang benar saja mengirim mereka untuk membunuhku. Jangan membuatku tertawa.”
Kala Milaine tengah mengambil napas sejenak, pria yang berperan sebagai sopirnya tiba-tiba mengendap-endap dari belakang punggung Milaine. Dia membawa sebuah pisau di tangan kanannya. Tampaknya dia mencoba untuk menikam Milaine dari belakang.
“Matilah kau, gadis gila!”
Sang sopir berupaya menghunus punggung Milaine. Namun, tepat sebelum ujung pisau itu menyentuh kulitnya, Milaine memutar badan lalu memelintir tangan si sopir.
“Sudah aku duga, kau memang orang suruhan yang diperintahkan untuk membunuhku. Pantas saja kau membawaku ke tempat sepi seperti ini. Aku tidak peduli siapa yang mengirimmu, tetapi tampaknya kau salah sasaran.”
Milaine menambah kekuatan cengkraman tangannya hingga membuat pria itu kesakitan luar biasa.
“Arrgghhh! L-Lepaskan! Lepaskan saya, Nona … saya hanya disuruh, s-saya tidak berniat membunuh Anda. T-Tolong a-ampuni say—”
“Terlambat!” Milaine memutar tangan si sopir itu, dia merebut paksa pisaunya dan langsung menikam perut pria tersebut sebanyak tiga kali.
Milaine membuang pisau itu jauh-jauh, mini dress yang membalut tubuhnya kini penuh oleh noda darah.
“Apakah mereka pikir aku tidak akan bisa kembali hidup-hidup ke kediaman Lysander? Naif sekali. Sebaiknya aku buat mereka membayar ini semua nanti. Padahal aku berniat untuk kembali dengan pakaian yang bersih,” gumam Milaine menggerutu.
***
Di kediaman Lysander, semua orang terlihat bekerja seperti biasa. Mereka tidak mengadakan penyambutan atas kembalinya Milaine. Justru atmosfer mansion terasa memberatkan sebab tidak ada satu pun di antara para pekerja yang menginginkan Milaine balik ke kediaman tersebut. Wajar saja, itu karena mereka takut Milaine akan mengancam nyawa mereka.
“Nigel, mau sampai kapan kau duduk di teras? Cuaca sedang dingin. Bagaimana kalau sakitmu kambuh lagi nantinya?”
Fiona menegur Nigel di teras paviliun. Adik dari Milaine itu tengah menunggu kedatangan Kakaknya. Akan tetapi, karena tubuhnya yang lemah, Fiona selalu melarangnya untuk terpapar udara dingin terlalu lama.
“Tidak, Ibu. Aku mau menunggu Kakak. Tidak ada orang di kediaman ini yang menyambut Kakak selain aku,” ujar Nigel.
Fiona mendengus kasar mendengar jawaban Nigel, dia bahkan tidak mengharapkan anak itu kembali lagi ke kediaman ini. Fiona juga berdoa agar Milaine terkena musibah di tengah perjalanan supaya ia bisa mengadakan upacara pemakaman untuk putrinya.
“Tidak usah menunggu gadis gila itu. Lebih baik sekarang kau masuk ke dalam. Tidak ada gunanya menyambut pembunuh sepertinya,” kata Fiona berbicara dengan nada lembut.
“Aku sudah mengatakan berulang kali. Kakak bukan pembunuh, dia tidak pernah—”
“Astaga, apakah kalian menyambut kepulanganku?”
Kedua bola mata Nigel membulat sempurna saat melihat sosok wanita yang dia rindukan muncul di hadapannya.
“Kakak!”
Sontak Nigel bangkit dari kursi dan langsung berlari mendekap Milaine. Sejujurnya saja Milaine tertegun melihat sang Adik tumbuh lebih tinggi darinya. Mereka tidak bertemu selama lima tahun sebab Nigel dilarang oleh Fiona untuk menemuinya. Terlebih lagi Fiona selalu menaruh pengawal di setiap sisi demi mengawasi pergerakan Nigel.
“Bagaimana kabarmu, Nigel? Apakah kau sehat?” tanya Milaine.
“Ya, seperti yang Kakak lihat. Aku sekarang juga jauh lebih tinggi dari lima tahun yang lalu.”
Milaine mengulas senyum tipis, ia mengusap puncak kepala Nigel. Lima tahun berlalu begitu saja tanpa memberinya kesempatan menyaksikan pertumbuhan Nigel.
“Aku senang melihatmu tumbuh besar. Mulai sekarang biarkan Kakak yang menjagamu. Paham?” tutur Milaine.
Nigel mengangguk antusias. “Iya, aku paham.”
Nigel tidak berhenti tersenyum, Fiona tidak bisa melakukan apa pun karena ini pertama kali setelah lima tahun dia melihat Nigel begitu ceria.
“Tetapi, Kakak … kenapa pakaianmu berlumuran darah? Apakah ada sesuatu yang terjadi di perjalanan tadi?” Nigel bertanya seusai sadar melihat bercak darah di mini dress Milaine.
“Iya, tadi ada sedikit masalah di jalan, tetapi aku berhasil mengatasinya. Sekarang ayo kita masuk ke dalam. Aku punya sesuatu untukmu,” ujar Milaine.
“Sesuatu? Apakah Kakak menyiapkan hadiah untukku?”
“Ya, anggap saja seperti itu. Nanti aku perlihatkan padamu.”
Milaine menggandeng Nigel masuk ke kediaman. Ketika dia menginjakkan kaki di teras, langkahnya langsung dihentikan oleh Fiona.
“Siapa yang mengizinkanmu masuk?” Fiona mencegat Milaine dengan raut muka sinis.
Milaine menghela napas panjang. “Nigel, kau masuklah lebih dulu. Aku harus berbicara serius dengan Ibu kita.”
Nigel berencana menghentikan situasi tersebut. Namun, tampaknya suasana di antara mereka bukanlah sesuatu yang dapat dia cegah.
“Baiklah, aku akan menunggu Kakak di dalam.”
Milaine melipat kedua tangan di dada, sekarang dia sama tinggi dengan Ibunya. Tidak seperti lima tahun lalu, wujudnya masihlah seorang anak kecil.
“Kenapa aku tidak diizinkan masuk? Padahal aku Nona di kediaman ini.”
“Aku tidak peduli itu. Keberadaanmu hanya akan mengancam nyawa Nigel. Kenapa kau harus kembali? Aku lebih suka kau membusuk di rumah sakit jiwa,” tekan Fiona.
“Kalau aku mati, siapa yang akan melindungi Nigel? Lagi pula, keberadaanku masih dibutuhkan oleh Nigel. Walaupun kau Ibuku, kau tidak punya hak untuk melarangku atau mengusirku dari kediaman ini,” balas Milaine.
Fiona terdiam, tak disangka Milaine tumbuh menjadi gadis yang sangat berani. Padahal dulunya dia tidak pernah menatap lurus Fiona atau pun berkata secara lancang.
“Aku tidak membutuhkanmu untuk melindungi Nigel. Kau hanya anak pembawa sial, aku khawatir Nigel terluka jika bersamamu.”
Milaine menyorot tajam Fiona lalu berucap, “Ibu, kau itu lemah dan tidak punya kuasa di kediaman ini. Jadi, apa yang bisa diandalkan darimu? Tidak ada kan?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
mawar hitam
ya tuhan ada ya seorang ibu macam fiona.emang slah milaine ke ibunya apa sih?? kok sgitu tganya ke milaine.
2024-09-06
0
Byan Feb
apa yg bisa d andelin dr km? g ada kan.. m
beuuh.. puedesssh...!!!
2023-07-08
0