"Bisa, tapi seiring berjalannya waktu. Hilang ingatan itu akan berangsur pulih saat pasien tidak memiliki tekanan apapun. Sedangkan untuk kelumpuhan sendiri, pasien bisa menjalani beberapa jenis terapi," jawab dokter.
"Tidak bisa dalam waktu satu bulan dia sembuh ya Dok?" tanya Deo lagi.
"Tuan, kasus kecelakaan yang dialami pasien bisa dibilang cukup berat. Apalagi pasien sampai mengalami koma yang panjang. Untuk sadar saja, bersyukur. Masa pemulihan selama satu bulan itu masih dibilang sangat singkat," jawab dokter yang mulai greget dengan Deo.
"Ya sudah kalau begitu. Setelah dia benar-benar pulih secara fisik, segera kabari saya kembali," titah Deo. Pria itu terbiasa dengan kekuasaan yang dimilikinya. Setelah memberi perintah, kemudian pergi dari hadapan dokter tersebut.
Saat dokter dan perawat hendak pergi dari ruang rawat inap Hyuna, perawat yang biasa memeriksa pun datang.
"Kamu darimana saja, Bora? Ini hasil pemeriksaan dokter barusan," kata perawat yang berdiri di samping dokter sambil memberikan papan yang terdapat lembar hasil pemeriksaan di atasnya.
"Aku ada tugas tambahan dari admin rumah sakit," jawab Bora, nama lengkapnya Debbora Olla. Perawat paruh baya itu mengambil papan tersebut dan membacanya. "Dok, apa benar ini hasilnya?" tanyanya pada dokter dengan mata membulat sempurna. Dia tidak percaya akan hasilnya itu.
"Benar, setelah ini kamu bantu dia untuk pulih. Sepertinya Tuan yang mengurus biaya pasien, ingin pasien segera pulih," jawab dokter, berbicara santai.
Bora menghempaskan napasnya. "Suaminya ke sini?" tanyanya dalam hati. Sedangkan yang dilihat kedua orang yang ada di depannya itu, dia seketika mematung.
Sesaat kemudian dokter menepuk bahu Bora. "Jangan lupa, lakukan tugasmu dengan baik!" Lalu pergi bersama perawat yang bersamanya tadi. Sementara Bora hanya mengangguk pelan, kemudian masuk ke dalam ruangan.
Bora membuka pintu lalu menatap Hyuna sesaat. Wanuta itu sedang terbaring tenang dengan mata yang terpejam. Kemudian pintu pun perlahan di tutup kembali olehnya.
Suara langkah kaki Bora membuat wanita cantik yang masih terbaring lemah di atas tempat tidur pun terbangun. Seperti ada naluri yang terhubung sejak kedatangan Bora.
"Hai, maaf ya Nyonya, aku baru bisa menemuimu. Tadi sedikit ada urusan sebentar dengan admin rumah sakit. Jadi tidak bisa ikut visit sama dokter ke sini," sapa Bora menceritakan sedikit tentang keberadaannya, karena tadi tidak ikut memeriksakan kondisi Hyuna bersama dokter.
Hyuna mengerutkan alisnya. "Maaf Sus, tadi Suster panggil aku Nyonya? Apa aku sudah menikah? Lalu dimana suamiku?" cecarnya. Dia benar-benar tidak ingat apapun tentang masa lalunya.
"Um ... " Bora tampak ragu. Sejujurnya perawat itu bingung harus memulai menceritakannya darimana.
"Ada apa Sus?" tanya Hyuna, lirih.
"Jadi, ... " Bora pun akhirnya menceritakan awal Hyuna masuk rumah sakit hingga enam bulan lamanya di sana.
Hyuna hanya terdiam. Dia sendiri masih berusaha mencerna cerita dari Bora barusan.
"Berarti pria yang tadi masuk ke kamar ini, suamiku?" tanya Hyuna memastikan.
"Benar. Tuan Deo, suamimu," jawab Bora dengan pasti. Perawat itupun kemudian menunjukkan foto pernikahan Hyuna dan Deo sewaktu masih diruang ICU.
Hyuna terperangah. Pasalnya saat pertemuan pertamanya tadi, Deo sama sekali tidak menyebut dirinya sebagai suami dari Hyuna. Mereka layaknya orang asing yang baru pertama kali bertemu.
Akan tetapi, memang keduanya orang asing. Deo bertemu Hyuna saat kejadian kecelakaan itu sedang tidak sadarkan diri. Berlumuran darah bahkan mungkin nyawanya hampir tak tertolong.
Bisa dibilang, Deo bagai malaikat penolong untuk Hyuna. Namun selebihnya, mereka hanya terikat pada sebuah status belaka.
"Sus, bisakah bantu aku untuk duduk bersandar? Rasanya kepalaku pusing sekali jika terus rebahan seperti ini," pinta Hyuna. Dengan senang hati, Bora membantunya.
"Baik Nyonya."
Akan tetapi, ketika Hyuna hendak menggerakkan kedua kakinya, seakan mati rasa dan sulit untuk digerakkan.
"Sus, kenapa kakiku tidak bisa digerakkan? Tidak mungkin kan aku lumpuh?" tanya Hyuna. Kedua matanya seketika berkaca-kaca dan terpaku pada kedua kakinya.
Bora ikut terenyuh. "Nyonya, kelumpuhan ini hanya sementara. Semua otot syaraf pada lutut Nyonya sedang melemas, itu efek dari koma yang berlangsung berbulan-bulan. Aku harap Nyonya jangan berkecil hati, aku akan bantu Nyonya supaya bisa berjalan lagi," kata perawat itu, memberi semangat pada Hyuna.
"Pantas saja dia tidak menemuiku lagi. Sepertinya dokter sudah memberitahukan padanya tentang kondisiku. Padahal aku sudah menganggapnya sebagai dewa penolong. Apalagi biaya di rumah sakit yang telah dia keluarkan tidaklah sedikit. Aku merasa, pernikahan ini memang tiada artinya untuk pria itu," batin Hyuna menerka-nerka.
"Lebih baik, sekarang Nyonya istirahat ya, fokus pada pemulihan. Sebab, kondisi Nyonya saat ini masih riskan terjadi penurunan." Bora mencoba membesarkan hati Hyuna yang sedang remuk redam.
"Terima kasih banyak Sus." Hanya itu yang bisa Hyuna ucapkan saat itu.
"Sama-sama," balas Bora dengan sopan dan juga sambil tersenyum ramah.
...----------------...
Setelah dari rumah sakit, Deo memilih pulang ke rumah. Dia tidak langsung pergi ke kamarnya, melainkan menemui sang ayah yang sedang membaca di perpustakaan mini di rumah tersebut.
"Dad ... " sapa Deo, kemudian ikut duduk di sofa yang berhadapan dengan sofa yang diduduki oleh ayahnya.
"Ada apa Deo?" tanya Fabios. Matanya enggan berpaling dari buku yang masih dibaca olehnya.
"Aku ingin memberitahukan tentang sesuatu padamu. Walau sebenarnya aku tidak yakin kalau Daddy akan terkejut dan mungkin ... Marah padaku," jawab Deo ragu-ragu. Batinnya pun menerka-nerka respon sang ayah. Berharap fokusnya teralihkan dari buku yang sedang dibacanya.
Sesaat setelah Deo menghentikan ucapannya, benar saja. Sang ayah menutup buku yang ada di tangannya.
"Katakan saja, apa yang ingin kamu beritahukan?" Raut wajah Fabios mendadak serius, memposisikan tubuhnya berhadapan dengan sang anak.
"Sebenarnya, enam bulan yang lalu aku menolong seorang wanita yang mengalami kecelakaan di perempatan jalan pusat kota. Saat aku membawanya ke rumah sakit, aku sama sekali tidak membawa identitas apapun tentangnya. Akhirnya karena aku yang bertanggung jawab, aku ... " Deo menghentikan ucapannya. Entah kenapa dia begitu yakin kalau kata terakhirnya pasti membuat pria berusia 61 tahun itu terkejut. Terlebih ketika melihat sorot matanya, Deo sedikit bergidig ngeri. Karena Deo merasa lebih takut dan sungkan pada sang ayah.
"Aku apa? Bicara dengan jelas. Aku paling malas mendengar pria menyampaikan informasi setengah-setengah!" sergah Fabios mulai geram dengan Deo.
"Aku menikahinya," ucap Deo beriringan dengan hembusan napas panjang seakan melonggarkan paru-parunya yang beberapa saat tadi sempat terasa sesak.
"Menikahinya? Lalu kamu sendiri tidak tahu asal usulnya darimana? Kalau kamu mau tanggung jawab ya tidak harus menikahinya juga Deo. Apa kamu sudah tidak ingat dengan Leika? Tidak ingat perjuanganmu supaya Leika bisa diterima di keluarga Ainsley?" Fabios mulai naik pitam. Putra sulungnya berhasil membuat detak jantungnya berpacu lebih cepat karena rasa marah yang mulai menguasai dirinya.
"Daddy ... Saat itu keadaanya sangat mendesak. Kalau aku tidak menikahinya, pihak rumah sakit tidak akan memberi tindakan apapun padanya," timpal Deo berusaha membela dirinya sendiri dari amukan sang ayah.
"Ya tapi ... " Fabios memijat keningnya. Kepalanya tiba-tiba merasa pening. "Jangan bawa wanita itu ke rumah. Sebelum kamu memastikan kalau dia berasal dari keluarga yang selevel dengan kita. Kamu tahu sendiri kan, keluarga Ainsley tidak ada yang berasal dari kalangan biasa? Apa kata keluarga besar dan juga para kolega kalau kamu sampai menikah dengan orang biasa? ... " Fabios mengulurkan telunjuknya tepat di depan wajah Deo. "Jangan penah menjadi pria pecundang karena mengikuti hawa nafsumu. Kalau identitasnya sudah kamu pegang, silahkan kamu memilih diantara kedua orang wanita itu atau ... "
"Atau apa Dad?" tanya Deo tiba-tiba memotong ucapan sang ayah.
"Atau kami akan menjodohkanmu dengan wanita yang memiliki level kekayaan yang sama dengan keluarga kita," ancam Fabios dengan penuh penekanan.
Fabios mengambil segelas air dari atas meja lalu meminumnya, sedangkan Deo beranjak dari duduknya. Matanya yang tajam, menatap Deo penuh arti.
"Baiklah jika itu memang mau Daddy. Aku akan segera mencari tahu informasi tentang wanita itu," ucap Deo dengan keyakinannya.
Fabios menaruh gelasnya kembali. "Lakukan saja, jangan banyak omong kosong," titahnya, bersikap dingin. Tanpa berkata sepatah katapun, Deo pergi dari hadapannya.
...----------------...
Di kamar, Deo duduk di tepi tempat tidur. Kedua tangannya memutar-mutarkan ponsel sambil berpikir.
"Dia sudah sadar tapi amnesia dan lumpuh. Apa aku batalkan saja pernikahan yang sudah berjalan enam bulan ini ya? Lalu menunggu Leika siap aku nikahi." Deo bermonolog sambil mengacak rambutnya, merasa frustasi.
Setelah cukup lama terdiam, Deo mengusap kasar wajahnya kemudian menarik napas dalam-dalam. Pria itu akhirnya menghubungi seseorang melalui ponselnya.
"Ya, hallo. Ada tugas baru untukmu!"
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
Widi Widurai
lah slama ini kmana aja. 6 bln knp ga dicari identitasnya. kan enak kl nyari, pas sadar dah ketemu klg
2024-03-23
0
Elisabeth Ratna Susanti
maaf kalau bacanya nyicil ya🙏
2023-01-19
1