Pagi yang absurd

Setelah masuk ke dalam rumah, ibu dan sang kakak mencoba mengintrogasi Diara.

"Duduk!" pinta sang kakak sambil menepuk sofa, agar sang adik mau duduk dan bercerita asal mula jadian dengan si Nicko.

Diara dengan santainya duduk, lalu ibu dan sang kakak mengganggunya.

"Wah, sudah ada pengganti? sudah move on?" sindir sang kakak.

"Oh, apa Nicko lebih kaya? lebih ganteng?" sahut ibu Diara.

Diara merasa bahwa dua orang yang ribut itu terlalu banyak bertanya, sehingga dia merasa tidak nyaman.

"Apakah itu penting?" tanya Diara sambil beranjak dari tempat duduknya, soalnya dia sudah tidak nyaman.

Namun, sang kakak menarik lengannya.

"Jangan pergi dulu, aku sangat ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi padamu, kau masih suka dengannya?" ucap sang kakak mencoba mencari tahu.

"Aku tidak perlu menjawab semua pertanyaan yang ada di dalam hatimu."

Sang adik terlihat diam, wajahnya berubah marah.

"Ya, oke. Aku akan tanya pada Nicko saja," jelas Rafles.

"Kenapa tanya Nicko?"

Sang adik merasa Rafles tidak masuk akal. Bagaimana bisa masalah dengan mantan kekasih, Rafles justru menanyakannya kepada Nicko.

"Kau paham apa yang aku katakan, memangnya aku tidak tahu jika Nicko itu anak buahnya Mateo? Haha."

Sang kakak menggengam satu kunci penting.

"Aih, kenapa kakak curang sekali. Kapan dia bilang padamu?"

"Aku mendengar Nicko berbicara dengan Mateo saat kita sedang di ruang tamu. Aku memang kepo dan berusaha mendengar dengan jelas. Ternyata apa yang aku dengar memang benar?"

Rafles sangat cerdas, dia langsung mendapatkan strike.

"Kak, aku kebelet. Lanjutkan besok."

Sang adik langsung lari, dia tidak mau mempersulit keadaannya.

Dia berlari menuju kamarnya yang ada di dekat ruang keluarga.

...

Kamar Diara ...

Diara mengunci kamarnya, dia mencoba untuk menelfon nomor ponsel sang mantan yang sudah tidak aktif.

Dia bahkan mengirim pesan untuk Mateo.

"Mateo, apa kau sudah menikah?"

Sang gadis terlihat ragu untuk mengirim pesan itu, tetapi tiba-tiba saja jarinya keseleo dan mengirim pesan itu.

"Astaga, mengapa aku mengirim pesan padanya? kalau dia baca bagaimana? Ah, tidak mungkin. Mateo kan sudah ganti nomor ponsel. Bodoh amat, lebih baik aku tidur saja."

Diara meletakkan ponselnya di atas ranjang, lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk mencuci muka.

...

Pukul 23.00 ...

Di atas ranjang, dia hanya bisa berguling kesana kemari. Rasanya sangat tidak tenang, hingga satu kesempatan membuatnya ingin sekali melihat pesan singkat yang baru beberapa menit lalu dikirim kepada mantan kekasihnya.

Meskipun sudah tahu jika pesan itu tidak terkirim, nyatanya Diara tetap saja was-was.

Namun, dia segera mengambil ponsel yang ada di atas nakas.

Sang gadis mencoba untuk melihat apakah nomor ponsel Mateo memang benar-benar sudah tidak digunakan.

Padahal dia tahu, jika semua yang ada dibenaknya hanyalah halusinasi.

Drttt ... Drtt ... Drtt ...

Belum sempat mengambil ponsel, getaran yang di timbulkan dari alat komunikasi itu membuatnya terkejut.

Apalagi setelah ia mengetahui siapa yang menghubunginya.

"Astaga! Mateo? bagaimana bisa nomor ponsel Mateo jadi aktif?" ucap Diara merasa terkejut dengan keadaan yang tidak terduga ini.

Dia merasa bahwa seorang Mateo, bisa saja mengolok-olok dirinya, alhasil, dengan paniknya, sang gadis menutup panggilan itu kemudian nomor ponsel mantan kekasihnya di blokir.

"Huft! aku merasa menjadi gadis paling bodoh di seluruh dunia, untuk apa semua ini? lebih baik aku tidur saja."

Sang gadis tidak bermain dengan ponselnya seperti biasanya, karena ada insiden kirim pesan dan melakukan panggilan keluar di nomor mantan kekasihnya.

.

.

.

Pagi hari pukul 05.00 ...

Sang gadis sudah terbangun sejak pukul 04.30, tapi dia masih saja berada di depan cermin. Entah apa yang dia cari di kamar mandi.

"Aku tidak bisa datang ke kantor itu, di sana pasti ada Mateo? apakah aku menjadi gadis paling aneh? aku bahkan menghubungi mantan kekasihku," batin sang gadis dengan sikat gigi yang berada di dalam mulutnya.

Dia menggosok giginya berulang-ulang dengan busa yang sangat banyak.

Tok ... Tok ... Tok ...

Suara ketukan pintu, membuat sang gadis kesal, apalagi suara yang mengiringi ketukan pintu itu.

"Dia! ayo keluar, Nicko datang dengan bosnya. Apakah kau ingin balikan dengannya? sampai-sampai dia datang kemari?"

"Apa bu? siapa yang datang?"

Sang gadis sepertinya pura-pura tidak tahu.

"Mantanmu, siapa lagi?"

Ibu Diara memang seperti itu, selalu ceplas-ceplos tanpa tedeng aling-aling.

Diara meletakkan sikat giginya dan berkumur, gadis itu mencoba untuk tetap sadar dan waras.

"Ya aku akan menemuinya."

"Oke, ibu tunggu. Aku dan Rafles tidak akan pernah menyapanya, dia sudah sangat menyakiti ibu."

"Iya, lupakan saja dia."

"Bukan aku, kau yang harus melupakannya! dasar anak kurang ajar!"

Diara tidak menggubris lagi apa yang dikatakan oleh sang ibu, karena dia secepat mungkin harus mengelap wajahnya yang basah.

Beberapa menit kemudian, sang gadis keluar dari kamar mandi.

Dia tidak mengenakan baju yang bagus, selain baju tidur.

.

.

.

Ruang tamu ...

Sang gadis keluar dari kamar, kini posisinya ada di ruang tamu.

Di sana ada Mateo, juga kekasih barunya, Nicko.

"Sayang? kau cantik sekali," ujar Nicko.

Dia langsung beranjak dari tempat duduknya, tanpa basa-basi lalu memeluk tubuh sang gadis yang kini menjadi kekasihnya.

Sedangkan Mateo sibuk dengan tabletnya, dia sepertinya sedang mengurus pekerjaan.

"Oh ya, kenapa kau kemari sepagi ini? apakah ada hal yang sangat darurat? bosmu juga datang?" bisik sang gadis.

"Tidak, kami hanya mampir saja, bos bilang mengenal kakakmu. Dia satu kelas?"

Deg!

Mateo yang kurang ajar itu memang sangat pandai membuat fakta yang abu-abu menjadi sangat nyata.

Padahal dari dulu, Mateo dan Rafles beda sekolahan. Mereka berkenalan karena teman Rafles merupakan saudara sepupu dari Mateo.

Dari situlah mereka berteman.

Namun, semua itu tidak ada artinya, mau jadi teman atau tidak, keputusan keduanya untuk putus sangat membekas lukanya di hati kakak dan ibu Diara.

Sungguh mengenaskan.

Sang bos mencoba menahan tawanya karena saat melirik ke arah Rafles dan Diara, keduanya selalu memalingkan wajah.

Sekali menatap, tatapan seperti ingin menyeruduknya.

"Sayang, ayo duduk."

"Kalau bukan karena Nicko, malas sekali aku dekat dengan orang egois dan kurang ajar seperti dia," batin sang gadis.

Kini ke empat orang itu duduk satu sofa, hanya saja sang kakak malas dekat dengan Mateo.

Dia beralasan ingin mengambil air di belakang. Sang ibu yang datang dengan waktu yang tidak tepat, sungguh menyebalkan.

Rafles tidak bisa kabur dari situasi tidak kondusif ini.

Pada akhirnya, mereka harus mengobrol.

Obrolan yang sangat tidak penting.

"Kak, apa kau benar-benar lupa dengannya?" tanya Nicko.

Pria ini adalah pria paling polos diantara yang lain, kakak, ibu serta Diara mencoba untuk menahan diri dengan semua kelakuan sang pria.

"Iya dong, dia itu sahabat karibku. Benarkan kak Rafles?"

Sang bos terlihat menutup layar tabletnya, dia fokus pada wajah Rafles.

Rafles menahan emosinya.

Hingga sepuluh menit berlalu, akhirnya perbincangan yang tidak penting, usai sudah.

"Baiklah, kau jangan lupa datang ke kantor tepat waktu, aku sudah tahu background pekerjaanmu, perusahaan lamamu cukup kompeten dalam memilih karyawan. Aku akan menjadi salah satu orang kepercayaanku," ujar Mateo yang selalu semena-mena.

"Tidak perlu bos, jangan membuang waktu untuk menjadikan aku orang kepercayaan, kalau aku bawa kabur uangmu memangnya kau tidak rugi."

"Bawa kabur uang tidak rugi, bawa kabur hatiku, baru rugi."

Sang gadis melotot, dia tak habis pikir dengan paa yang di katakan oleh seorang pria yang sangat tidak baik dimatanya, selalu menyakiti hatinya bahkan menanyakan kabar saja tidak.

"Pagi yang cukup mengenaskan," batin Diara dengan penuh emosi.

*****

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!