Brak!
“Mati saya!” pekik Junita terkejut bukan main, ketika pintu kamarnya tahu-tahu dibuka kasar oleh Vina.
Ingin dia langsung memarahi sahabat satu kuliahannya itu karena tidak ketuk pintu lebih dulu. Pasalnya, dia jadi ketahuan sedang menonton video porno di laptopnya.
Namun, Junita lebih terkejut lagi melihat wajah Vina yang sembab dengan mata yang merah dan berair. Jelas bahwa putri Haji Suharja Gendara itu sudah menangis sejak tadi.
“Eh eh, kamu kenapa, Vin?” tanya Junita heran, sampai lupa menyembunyikan layar monitor yang sedang beradegan wik wik.
Vina tidak langsung menjawab. Sembari sesegukan dia sempat melirik ke layar laptop sahabatnya itu, membuat Junita tersadar lalu segera menutup laptopnya begitu saja. Vina tidak terkejut melihat hal itu. Ia sudah tahu bahwa Junita sesekali suka menonton film biru kebiru-biruan seperti itu. Maka tidak heran kalau sekarang ini Junita sudah tidak perawan lagi.
“Saya ribut sama Rudi,” ucap Vina lirih.
“Bukannya sudah sering. Lima tahun loh kamu sama Rudi pacaran, sudah enggak kehitung berapa banyak kalian bertengkar,” kata Junita.
“Tapi kali ini dia keterlaluan sekali, Ta,” kata Vina, bernada agak lebih keras, menunjukkan bahwa ia pun marah selain sedih.
“Apanya yang keterlaluan?” tanya Junita sambil beringsut lebih mendekati Vina yang duduk bersimpuh di lantai. Ia meletakkan kedua tangannya di paha putih sahabatnya itu dan menatap serius wajah becek tersebut.
“Di Taman Ikan, di depan banyak orang, saya dimaki-maki. Dibilang cewek murahan ikan pe-rek. Sakit sekali hati saya dibilang seperti itu, Ta. Biasanya dia kalau marah cuma main ngambek, enggak sampai main tangan ….”
“Main tangan?” ucap ulang Junita seraya kerutkan kening. Ia butuh penjelasan lebih jelas apa yang dimaksud dari “main tangan” itu. “Kamu ditampar sama Rudi?”
“Hampir. Hiks hiks …,” jawab Vina, lalu kembali menangis sesegukan mengingat kejadian di Taman Ikan.
“Sudah, sudah,” ucap Junita sambil menarik kepala Vina ke dalam pelukannya. Ia mencoba menenangkan wanita cantik itu.
“Hp saya dia rampas lalu dilempar ke laut. Beberapa data penting tugas kuliah saya file-nya ada di hp ini,” kata Vina lalu menggeletakkan ponselnya begitu saja di lantai berkeramik kuning itu.
“Kalau itu kamu kan bisa buat ulang,” kata Junita. “Memangnya apa yang membuat Rudi sampai semarah itu?”
Vina melepaskan diri dari pelukan Junita yang juga dengan ikhlas melepaskan.
“Dia cemburu saya teleponan dengan Jamal di depannya. Padahal saya sama Jamal enggak ada hubungan apa-apa. Saya hanya minta dibantu mengerjakan tugas kuliah. Kenapa sampai cemburu separah itu?”
“Sudah enggak apa-apa, nanti juga dia telepon kamu lagi dan minta maaf. Kan biasanya dia begitu. Setahu saya, selalu Rudi yang minta maaf duluan kalau kalian ribut, padahal terkadang kamu yang salah,” kata Junita.
“Saya sudah enggak peduli lagi sama dia. Terserah dia mau minta maaf atau enggak, mau terus pacaran atau putus, saya enggak peduli lagi. Yang saya permasalahkan itu hp saya mati, data tugas saya hilang. Kalau mau diulang lagi, butuh waktu sebulan lagi,” kata Vina yang sudah reda kembali tangisnya.
“Coba kamu tanya Dendi. Dia kan ngontrak di kontrakan kamu. Hp Rani aja yang parah bisa dibenarin sama dia. Paling ujung-ujungnya uang rokok saja sama tukaran nomor,” kata Junita.
“Ooh, dia ngerti urusan hp?” tanya Vina yang baru tahu. Ia seolah menemukan senter di saat tidak ada listrik.
“Dia itu IT di PT Udang Garuda. Dia ngerti urusan laptop, hp dll. Mendingan buruan tanya ke dia, siapa tahu kalau cepat, hp kamu masih bisa dikasih napas buatan,” kata Junita lagi.
“Tapi, jam segini dia ada?” tanya Vina.
“Biasanya dia pulang jam lima sore,” jawab Junita sambil berpaling melihat ke jam dinding. “Lima menit lagi. Tapi muka kamu dikasih selai cokelat dulu, biar enggak kelihatan habis nangis begitu.”
“Iya.”
Maka, dengan berbekal info dari Junita itu, Vina segera pergi ke kontrakan milik keluarganya. Orangtua Vina memiliki sepuluh pintu kontrakan yang letaknya berjarak lima rumah dari rumah Vina. Orang yang mengontrak di sana rata-rata orang yang sudah berkeluarga. Tiga di antaranya bukan keluarga. Satu dari yang tiga adalah Dendi, seorang pemuda yang mengontrak sendirian.
Dendi bukan warga asli desa nelayan tersebut. Dia dari luar Provinsi Lampung. Karena pekerjaanlah yang membuatnya harus tinggal di dekat perusahaan. Dan didapatnya tempat tinggal di kontrakan Haji Suharja Gendara. Sudah hampir satu tahun dia mengontrak di desa nelayan tersebut.
Karena urusannya mendesak, Vina tidak pakai acara pulang dulu ke rumahnya, meski dekat dari kontrakan. Ia sempat merias ulang wajahnya di rumah Junita agar tidak terlihat sembab dan layu.
Vina memarkirkan motornya tepat di depan pintu sebuah kontrakan di antara lima pintu yang berderet. Ia tahu yang mana kontrakan Dendi. Saat itu pintu kontrakan terbuka dan ada sepasang sepatu lelaki di depan pintu. Terlihat gorden jendela kacanya tertutup.
“Assalamu ‘alaikum!” salam Vina di depan pintu, tanpa berani melongokkan kepala di pintu yang terbuka separuh.
“Wa ‘alaikumussalam!” sahut satu suara lelaki dari dalam.
Beberapa hitungan kemudian, tak kunjung ada orang yang keluar dari dalam. Namun kemudian, ada pertanyaan.
“Siapa? Masuk saja, saya lagi tanggung!” sahut suara lelaki yang ada di dalam.
“Saya Vina, anak Haji Suharja,” jawab Vina sambil dengan perlahan melongokkan kepalanya untuk melihat ke dalam.
Ternyata, lelaki yang ada di dalam sedang berjongkok melakukan sesuatu terhadap kabel-kabel di belakang perangkat komputernya.
Saat melihat cahaya dari luar tertutupi oleh bayangan, lelaki yang masih berseragam kerja itu segera menengok dengan tangan terulur jauh memegangi kabel yang sedang dibalutnya dengan isolatif.
Lelaki yang masih muda dan terbilang ganteng itu terkejut dalam hati, bahkan jantungnya terhentak, lantaran ketika menengok, yang dilihatnya langsung sepasang kaki yang putih bersih hingga paha yang mulus. Saat itu, Vina masih mengenakan celana pendek warna putih.
Namun, buru-buru pemuda itu melihat ke atas, dia tidak mau diduga jelalatan oleh si pemilik paha. Ternyata di atas lebih cantik lagi. Selain melihat wajah yang cantik di dalam temaram karena membelakangi sumber cahaya, ia juga melihat busungan dada yang aduhai.
“Vina putri Pak Haji?” terka pemuda itu segera, khawatir salah mengenali, meski tadi Vina sudah memperkenalkan diri sebelum masuk. Ia berusaha bersikap wajar, meski di dalam hati perasaannya berbunga-bunga karena kedatangan perempuan cantik.
“Iya, Bang.”
“Sebentar, lagi tanggung,” kata pemuda yang memang adalah Dendi. Nama lengkapnya Dendi Gunadi.
“Iya, Bang. Enggak apa-apa.”
“Masuk. Duduk. Maaf kalau berantakan, maklum kontrakan bujangan,” ucap Dendi sambil fokus memandangi kabel yang sedang diurusnya.
Vina lalu duduk di lantai. Pasalnya, di ruang depan kontrakan yang sempit itu hanya ada satu meja buat komputer dan satu kursi. Selebihnya adalah barang-barang yang tersusun di pinggiran, beberapa bahkan terkesan berantakan. Ada juga beberapa benda elektronik yang tersusun.
Setelah menggunting isolatif pada kabel, Dendi pun selesai. Dia berdiri sejenak, lalu menengok dan tersenyum kepada Vina. Dalam posisi dirinya berdiri dan Vina duduk, sekilas Dendi mencoba mencuri pandang pada leher baju Vina, memandang gumpalan bersih yang sedikit mengintip.
“Ada perlu apa, Vin?” tanya Dendi yang sejatinya tidak begitu akrab dengan putri pemilik kontrakan itu. (RH)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
delete account
kwkwkwkw kalo baca yang ini bikin emosi juga yap/Facepalm/
2024-04-30
0
@⍣⃝𝑴𝒊𝒔𝒔Tika✰͜͡w⃠🦊⃫🥀⃞🦈
Dendi matanya jelalatan eman" ya klu ngk dilihat
2023-11-08
1
Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman
semoga vina tidak datang pada orang yang salah
2023-06-18
2