Rudi Adalah Cintaku
Sebuah mobil mewah berwarna biru terang berjalan pelan di permukiman desa nelayan yang jalanannya sudah berupa coran semen. Lebar jalannya tidak selega jalan raya sebelum masuk ke desa.
Masuknya si mobil mewah yang pastinya punya harga mahal, cukup menarik perhatian warga yang berada di sekitar rumah-rumah panggung moderen. Namun, perhatian mereka hanya sekilas, lagi pula mereka tidak tahu siapa pengemudi mobil itu. Kacanya terlalu bagus untuk ditembus mata.
Pada akhirnya, mobil yang hanya berkapasitas empat orang itu berbelok masuk ke halaman rumah yang sudah rapi oleh susunan bata konblok. Itu sebuah rumah besar dengan dua lantai. Berbeda dari rumah kebanyakan yang ada di desa nelayan itu.
Rumah besar mewah bercat kuning gading itu memiliki dua pohon kelapa pada kanan dan kirinya, serta satu pohon mangga di halaman depan. Halamannya yang terbilang luas dikelilingi pagar semen setinggi dada orang dewasa dengan pintu pagar yang terbuka lebar. Memang seperti itu kondisinya jika siang hari, maksudnya jika mobil hendak keluar masuk tidak perlu repot-repot turun membuka pintu pagar.
Di halaman itu ada dua mobil yang terparkir, satu minibus warna merah maroon dan satunya lagi mobil pick up hitam. Di bagian depan kanan rumah adalah garasi yang bisa muat dua mobil.
Terlihat ada beberapa lelaki sedang bekerja di sisi kiri halaman. Mereka sedang menyortir udang-udang besar berdasarkan ukurannya.
Tit tit!
Pengemudi mobil biru terang membunyikan klakson dua kali ketika memasuki halaman tanpa hambatan. Klaksonnya bermaksud memberi tahu bahwa “Saya datang”.
Semua orang pun jadi menengok memandangi mobil yang datang. Mereka kerutkan kening dalam pandangannya yang serius. Sebab, mereka tidak mengenal mobil milik siapa itu. Setahu mereka, di kampung nelayan itu tidak ada warga yang memiliki mobil mewah warna biru terang seperti itu.
Suharja Gendara sebagai tuan besar di rumah tersebut, juga tidak mengenali mobil siapa itu.
“Siapa itu, Ambo?” tanya Suharja kepada salah satu karyawannya.
“Tidak tahu, Ji,” jawab Ambo Dalle, seorang pemuda beristri satu, dengan menyebut majikannya “Ji” yang merupakan singkatan dari “Pak Haji”.
Klaksonan mobil itu juga membuat seorang wanita kurus paruh baya keluar dari dalam rumah. Sebab, jarang-jarang mobil yang datang membunyikan klakson. Wanita yang rambutnya diikat sederhana kuncir kuda itu mengenakan daster kembang-kembang lengan pendek. Wanita bernama Sunirah itu juga kerutkan kening, tanda ia juga tidak mengenal mobil milik siapa itu.
Namun, siluet dari kaca depan dengan jelas menunjukkan bahwa pengemudi mobil itu adalah seorang wanita berkaca mata hitam.
Jleg!
Ketika terdengar suara pintu mobil dibuka, semua mata segera fokus memandang. Mereka semua ingin melihat makhluk apa yang akan keluar dari dalam mobil.
“MasyaAllah!” pekik Tahang si pemuda bujang, ketika melihat kaki putih mulus bersepatu warna merah cerah dan mengkilap tersiram cahaya matahari.
Selanjutnya muncullah seraut wajah cantik berkulit putih bersih bergincu merah membara, begitu cantik dengan kaca mata hitam. Rambutnya lurus pendek seleher yang semua helainya berwarna kuning seperti orang bule, bukan seperti terpanggang matahari. Dua antingnya bukan lagi emas, tapi permata biru terang, yang akan bersinar ke mana-mana jika kena tembak cahaya matahari.
Setelah wanita muda itu menutup pintu mobilnya, terlihat jelaslah seorang bidadari memakai rok pendek beberapa centi di atas lutut dengan pakaian berwarna biru navy.
“Hallah! Itu mah Vina,” kata Suharja setelah mengenali anak sulungnya tersebut. Lalu bentaknya kepada para karyawannya, “Awas kalau kalian cuci matanya kelamaan! Lanjutkan kerja!”
Ambo Dalle, Tahang, dan dua pemuda lainnya segera menghentikan perhatian mereka dan kembali melanjutkan kerjanya. Namun, sesekali mereka melirik atau menengok, terlebih ketika Suharja sudah berjalan pergi mendatangi wanita cantik yang bernama lengkap Vina Seruni binti Suharja Gendara itu.
Sebagai warga kampung nelayan tersebut, apalagi mereka yang masa kerjanya di rumah itu lebih dari tiga tahun, sangat mengenal Vina yang tiga tahun lalu tiba-tiba menghilang.
“Ya Allah Vinaaa!” jerit Sunirah heboh karena begitu gembira melihat kepulangan putri sulungnya. Ia berjalan cepat untuk lebih dulu menyongsong putrinya yang sudah tertawa gembira pula.
“Emaaak!” sebut Vina sambil berjalan merentangkan kedua tangannya.
“Hahaha! Kenapa enggak kasih-kasih kabar kalau kamu mau pulang, Nak?” tawa dan tanya Sunirah sambil memeluk erat putrinya yang beraroma harum parfum mahal produk dalam negeri.
“Kalau kasih kabar dulu, pasti enggak diizinkan Bapak,” jawab Vina sambil memandang kepada Suharja yang sudah berdiri di dekat mereka.
“Kamu pulang enggak bawa masalah, kan?” tanya Suharja.
“Bawa, Pak,” jawab Vina sambil beralih memeluk ayahnya. Lalu katanya lagi, “Kalau saya enggak pulang ke sini, bisa mati bunuh diri saya, Pak.”
“Ah, kalau bicara itu yang benar!” hardik Suharja sambil menyentil pelan kening putrinya yang pernah memiliki banyak masalah.
“Hahaha! Saya bercanda, Pak. Selain rindu bikin masalah, saya juga mau istirahat dari urusan perusahaan,” kata Vina yang sudah melepaskan pelukannya pada ayahnya.
“Baru datang saja kau sudah buat masalah. Tahang sudah senang saja melihat kakimu yang mulus itu,” kata Suharja.
“Iya, nanti saya pakai celana panjang, Pak. Saya berangkat ke sini langsung dari kantor, enggak pulang lagi ke rumah,” kilah Vina.
“Ayo masuk, Nak!” ajak Sunirah.
“Di mobil ada ole-ole, Mak. Suruh Bang Ambo saja yang ambil, mobilnya enggak saya kunci,” kata Vina.
“Iya, biar Ambo yang ambil,” kata Suharja. “Bapak selesaikan kerjaan Bapak dulu.”
“Iya, Pak,” ucap Vina.
Sunirah dan Vina Seruni lalu berjalan menuju pintu rumah.
“Ambo, Tahang, ambil barang-barang di mobil Vina. Bawa ke dalam!” teriak Suharja sambil berjalan menuju ke meja kerjanya lagi.
“Iya, Ji!” sahut Ambo Dalle dan Tahang bersamaan.
Keduanya segera bangkit lalu mencuci sebentar tangan yang usai memegang-megang udang. Mereka pergi ke mobil Vina.
Di pintu, Vina disambut pula oleh adik kecil perempuannya yang bernama Vivi Milenia dan adik perempuan ayahnya yang bernama Murni.
“Uuuh, tambah besar sekali!” komentar Vina saat memeluk adiknya yang berusia 12 tahun.
“Kak Vina kok tambah cantik, wangi banget lagi?” komentar Vivi pula.
“Namanya juga bos minyak wangi, yang harus cantik dan wangi,” jawab Vina.
“Kalau bos minyak wangi, boleh dong saya dapat,” kata Vivi.
“Pastinya,” ucap Vina sambil tertawa. Lalu tanyanya, “Ferdy ke mana, Mak?”
“Latihan bola,” jawab Sunirah.
“Tapi masih sekolah?” tanya Vina lagi.
“Sudah enggak. Mau jadi pemain bola profesional katanya. Dia itu mainnya sudah tingkat kabupaten loh, Nak,” jawab Sunirah.
“Wuih, keren. Anak desa nelayan bisa tembus ke tingkat itu,” puji Vina.
“Vivi, sana mandi. Sebentar lagi waktunya ngaji!” perintah Sunirah.
“Iya, Mak,” ucap Vivi patuh. Lalu katanya kepada sang kakak, “Minyak wanginya saya minta dua loh, Kak.”
“Iya, asalkan ngajinya rajin,” kata Vina.
“Alhamdulillah. Rezeki anak saleh,” ucap Vivi.
“Anak salehah,” ralat Murni.
“Hihihi!” tawa Vivi sadar dengan kesalahan istilahnya. Ia lalu berlari kecil masuk ke dalam lebih dulu.
Para wanita dewasa itu sudah masuk ke ruang tamu yang memiliki dua set kursi sofa warna merah dan kuning.
“Vivi ngaji sama Ustaz Barzanzi?” tanya Vina menerka, sambil bergerak hendak duduk di sofa.
“Ngaji di rumahnya Ustaz Rudi,” jawab Murni.
Penyebutan nama itu seketika membua ekspresi wajah Vina berubah hening, sehening pantai di kala subuh. Penyebutan nama itu langsung membawanya kepada ingatan masa lalu. Namun, ada yang aneh baginya.
“Ustaz Rudi siapa?” tanya Vina serius, ia tidak mau salah menduga orang.
“Bekas pacarmu,” jawab Murni, ketika Sunirah lebih memilih diam jika menyangkut perkara ustaz tersebut.
“Hah! Rudi jadi ustaz?” pekik Vina dengan mimik yang benar-benar terkejut, seakan tidak percaya mendengar jawaban bibinya itu. (RH)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
delete account
kelihatan sombong in orang /Doubt/
2024-04-30
1
delete account
mobil apa kok bergitu Yap?
2024-04-30
0
ICʝιвяιℓ ємєяѕση_ADINDA💐
baru mampir di sini lagi
2024-03-14
0