Episode 3

Jenni merapikan pakaian bermerek di lemari. Samar-samar terdengar Monca mengatai Daniel. Jenni tak ingin ikut campur atau hanya sekedar menguping, hingga dengan santainya dia mencoba satu gaun yang sejak tadi menyita perhatiannya.

Dia tersenyum saat melihat tubuhnya dibalut gaun cantik yang memperlihatkan area leher hingga bagian dadanya, pada bagian belakang sedikit transparan, begitu juga pada bagian lengannya, sungguh, gaun satu itu begitu cocok dikenakan oleh Jenni yang memiliki bentuk tubuh ideal. Namun sayang, lengan jeni juga tubuhnya bagian belakang terdapat memar sehingga tidak memungkinkan untuk Jenni gunakan saat acara reuni nanti.

"Sudah aku bilang, aku ini cantik. Hanya Nous saja yang mengatakan aku jelek!" gumam Jenni menatap dirinya di cermin. Nous adalah pria yang dicintai Jenni namun pria itu mengatai Jenni jelek. Bagaimana tidak, Jenni selalu berpenampilan culun saat ke sekolah. Dia ingin dandan, tapi Ketty selalu melarangnya karena takut tersaingi oleh Jenni. Karena sudah terbiasa, Jenni selalu berpenampilan culun saat di sekolah, hanya di sekolah saja.

Di kamar lain, Monca mengatai Daniel. Daniel yang begitu mencintai Monca hanya diam tanpa menjawab. Dia tidak ingin wanita yang dicintainya itu semakin benci padanya. Puas mengatai Daniel, Monca melenggang pergi dari apartemen.

Prank!! Satu botol anggur berhasil dipecahkan oleh Daniel yang sedari tadi menahan marah. Monca adalah istrinya, kenapa untuk mencium keningnya saja Monca tak mengizinkan Daniel melakukan itu.

Mendengar suara nyaring dari kamar lantai dua, Jenni segera melepas gaun yang dikenakannya. Lalu dengan cepat dia mengenakan pakaian yang pagi tadi ia kenakan. Berlari keluar dari kamar, Jenni mendapati Daniel yang tangannya luka.

"Tuan, tangan anda mengeluarkan darah." Jenni memberitahu dengan cemas.

"Ambil kan aku P3K!" titah Daniel mengambil tempat di sofa. Dia terlihat biasa saja walau tangannya mengeluarkan darah.

"Apa pembunuh tidak takut mati? Kenapa mereka begitu gampang melukai diri sendiri," gumam Jenni pelan namun masih bisa didengar oleh Daniel. Wanita itu mencari P3K, lalu ia kembali dengan P3K di tangannya. Jenni segera mengobati luka Daniel. Melihat Jenni, Daniel menarik senyum. Entah apa arti senyum itu. Selesai diobati, Daniel beranjak dari sofa.

"Segera ganti pakaianmu. Hari ini kita akan pergi jalan-jalan," terang Daniel. Dia tak menganggap Jenni pelayan. Dia menganggap Jenni adiknya. Namun untuk mengikat Jenni agar tetap di apartemen, dia menawarkan pekerjaan. Terlebih dia tahu Jenni sering diamuk ayah kandungnya.

"Ternyata pembunuh itu baik juga," gumam Jenni sebelum ke kamar.

Daniel terkekeh. Biarlah Jenni menganggapnya pembunuh. Daniel memainkan ponselnya sambil menunggu Jenni. Tak lama menunggu, Jenni datang mengenakan salah satu pakaian dari lemari Monca yang tadi diminta untuk dibuang. Cocok, pakaian itu sangat cocok dikenakan oleh Jenni.

"Haruskah aku ucapkan terima kasih padamu?" ucap Daniel beranjak dari sofa. Jenni mengernyit. Dia sama sekali tidak paham.

"Semua pakaian yang kamu keluarkan tadi aku yang beli. Aku beli untuknya tapi tak sekalipun dia mengenakannya" Daniel menghela napas berat. "Ayo kita pergi" tambahnya menggiring langkah.

Jenni menatap iba majikannya itu. Walau dia seorang pembunuh tapi dia baik pada orang di sekelilingnya, termasuk padanya. Pikir Jenni. Jenni tidak tahu jika pria yang dia panggil Tuan itu bukanlah seorang pembunuh, melainkan seorang pengusaha. Jenni mengikuti langkah kaki Daniel, tiba-tiba wanita itu berhenti lantaran sang majikan tiba-tiba berbalik.

"Kamu yang menyetir" titah Daniel seraya membuang kunci pada Jenni, segera Jenni menangkapnya.

Jenni mengangguk, segera dia masuk ke dalam mobil. "Tuan, kita mau ke mana?" tanya Jenni menatap lurus ke depan.

"Rumah Sakit George" balas Daniel.

Tiba di rumah sakit, Daniel masuk ke ruangan dokter Aaron. Dia mendapati sang dokter sedang melakukan panggilan. Melihat Daniel datang, Aaron segera mengakhiri panggilan telepon dengan seseorang di seberang telepon.

"Cepat ganti perban lukaku" titah Daniel tak mau tahu. Dia harus mengganti perban sebelum ke suatu tempat.

Melihat Jenni, Aaron tersenyum. Seperti biasa, dia akan merayu Jenni. "Hay, Honey. Maukah kau menikah denganku?"

Jleb!! Mata Jenni membulat sempurna. Menikah? Apa dia tidak salah dengar?

"Aku serius. Apa kau mau menikah denganku?" Aaron mengulang kalimatnya. Dia memang sudah jatuh cinta pada Jenni. Dan apa yang dia katakan saat ini memang serius.

Jenni tak bergeming, dia tak tahu harus jawab apa. Haruskah dia menanggapinya dengan sebuah lelucon atau menanggapinya dengan serius.

Melihat Jenni tak bergeming, Aaron menatap Daniel. "Aku jatuh cinta pada wanita itu. Aku rasa kamu tidak keberatan bila aku menikah dengannya" ungkap Aaron penuh percaya diri. Setahu Aaron, Daniel mencintai istrinya, Monca. Jadi dia tidak mungkin keberatan bila dia menikah dengan Jenni.

Melihat keseriusan Dimata Aaron, Daniel menatap Jenni yang juga menatapnya. "Bagaimana, apa kamu mau menikah dengannya?"

Jenni menatap Daniel lalu menatap Aaron. Cukup lama dia menatap Aaron, dan benar, dia melihat keseriusan di mata pria itu. Dari tatapan pria itu, terdapat ketulusan di sana. Tapi, Jenni takut dipermainkan. Secara dia belum mengenal Aaron, bahkan dia tidak tahu nama pria yang mengajaknya menikah.

"Jika kamu belum punya jawabannya, aku akan menunggu sampai kamu punya. Kenalkan, aku Aaron" Aaron mengulurkan tangan pada Jenni.

"Jenni" balas Jenni gugup.

"Bisa aku minta nomor ponselmu?" tanya Aaron menatap serius Jenni yang salah tingkah.

Jenni menggeleng. "Aku tidak punya ponsel" lirihnya.

Aaron menarik senyum. Segera dia mengeluarkan ponselnya. "Kamu gunakan ini dulu, nanti malam aku jemput kamu di apartemen Daniel"

Jenni melirik Daniel, melihat Daniel mengangguk, Jenni menerima ponsel Aaron. Setelahnya ia dan Daniel kembali melanjutkan rencana Daniel. Dalam perjalanan, Daniel melirik Jenni yang terus diam. Bisa jadi Jenni memikirkan Aaron yang mengajaknya menikah.

"Aku mengenalnya, kami berteman sejak kecil bahkan kami sudah seperti saudara. Dia orangnya baik, kamu tidak akan menyesal menikah dengannya. Percayalah padaku, Jenni" ungkap Daniel memberitahu.

"Aku bisa saja menikah muda, tapi bagaimana dengan orang tuaku, mereka tidak akan datang" lirih Jenni.

"Ada aku, kamu bisa serahkan segalanya padaku" ungkap Daniel. Dia menganggap Jenni adiknya, maka dia akan melakukan apapun untuk kebahagiaan Jenni, termasuk mendatangi orang tua Jenni.

Jenni tersenyum. Dia dan Daniel pun berkeliling kota. Menjelang sore, keduanya pulang ke apartemen. Usai mandi, Jenni bingung sendiri. Dia tidak punya baju non formal. Tidak mungkin dia mengenakan gaun lalu ke dapur untuk memasak. Jenni ingat, pakaiannya dan juga uangnya ada di kontrakan.

"Jenni ... buatkan makanan untukku ..." titah Monca yang baru pulang.

Jenni semakin bingung. Tak punya pilihan lagi, wanita itu mengenakan gaun lalu keluar kamar. Monca yang masih di sofa menatap heran Jenni. "Kamu mau ke mana?"

"Mau memasak" jawab Jenni cepat.

Monca tertawa lepas. Dia merasa Jenni tidak waras. Mendengar tawa Monca, Daniel keluar dari kamar. Daniel pun sama herannya melihat penampilan Jenni. Segera Daniel menuruni anak tangga.

"Kamu mau ke mana?" pertanyaan yang sama untuk Jenni.

"Memasak" jawab Jenni cepat.

"Kamu tidak punya pakaian yang lain?" tanya Daniel lagi.

Jenni menggeleng. Menunduk tak berani menatap Daniel maupun Monca yang masih tertawa.

"Ya sudah, mari ikut aku" Daniel ke kamar.

Monca tak sedikitpun cemburu melihat perlakuan Daniel pada Jenni. Alasan pertama, Monca tak sedikitpun menyukai Daniel. Alasan yang ke dua, Jenni bukanlah tipe Daniel sekalipun wanita itu cantik.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!