Ciuman Pertama

"Itu ciuman pertamaku. Kau mencurinya tanpa izin."

Rigel menatap Hera terkejut saat wanita itu berkata demikian sembari melajukan mobilnya.

Dari bagaimana Hera menggodanya saat Rigel baru tersadar, dia pikir Hera setidaknya pasti pernah menjalin hubungan dengan seseorang sampai tahap seperti itu. Tapi, bagaimana bisa?

"M—maaf. Aku tidak berniat seperti itu," ujar Rigel merasa bersalah sendiri.

Dis mencoba berkata jujur. Karena sebenarnya, Rigel seperti telah dibutakan oleh kecemburuannya pada Roby dan Erina. Hingga menjadikan Hera yang ada di hadapannya sebagai pelampiasan.

"It's okay. Lagipula sudah terjadi, tidak mungkin bisa juga kau mengembalikannya," ujar Hera tenang. Meski dalam dirinya sendiri memang cukup kacau.

Rigel terdiam. Dia jadi teringat akan apa yang terjadi. Tentang kehidupannya yang kacau.

"Mau mampir ke suatu tempat dulu?" tanya Hera saat menyadari kekalutan Rigel di sampingnya.

Rigel menggelengkan kepalanya. "Tidak. Aku butuh beristirahat lagi. Tubuhku masih terasa sakit," ujar Rigel.

Lebih tepatnya tubuh dan hatinya yang sakit.

"Baiklah," ucap Hera kemudian.

Keheningan dengan cepat menyelimuti keduanya. Dimana keduanya sama-sama terdiam dalam pikirannya masing-masing. Khusunya Rigel yang bahkan bisa merasakan pening di dalam kepalanya.

"Apa yang harus aku lakukan jika aku memilih tinggal di tempat itu?" tanya Rigel pada akhirnya.

Rigel tidak memiliki tujuan lain. Sehingga dia harus memutuskan untuk tetap mengikuti Hera. Tidak ada rumah, tidak ada istri, tidak ada keluarga lain selain Roby yang mengkhianatinya.

Hera tersenyum dengan lembut, tanpa menoleh pada Rigel. "Akan aku katakan saat kita di rumah nanti," ucapnya.

Lantas Rigel menggelengkan kepalanya. Dia tidak terima dengan apa yang dikatakan oleh Hera. Tidak setuju dengan wanita itu.

"Aku ingin mendengarnya sekarang. Setidaknya katakan secara garis besarnya. Aku ingin tahu itu sebelum aku memutuskan apa yang harus dilakukan setelah ini," jelas Rigel.

Meski Rigel berada di jurang keputusasaan, tetap saja dia tidak ingin mengambil keputusan dengan gegabah. Ya, terkecuali dengan apa yang dilakukan tadi pada Hera.

Hera terdiam untuk beberapa saat. Dia nampak kebingungan dengan apa yang harus dia lakukan sekarang. Sebelum akhirnya dia menghela nafasnya dalam, dan menoleh pada Rigel untuk beberapa detik saja.

"Aku akan membawamu untuk bertemu dengan seseorang terlebih dahulu. Bukan karena aku tidak mau atau tidak bisa menjelaskan. Tapi, karena dia yang lebih berhak untuk memberitahukan padamu lebih detailnya," jelas Hera.

"Tunggu, jadi ada orang lain selain Big boss itu dan juga kau?" tanya Rigel tak percaya.

Hingga akhirnya sebuah anggukan yang ditunjukan Hera nampak membuat Rigel berusaha mencerna semua hal itu. Meski semuanya tetap saja membuat Rigel pening dan tak paham.

"Kalau begitu, kita ke rumah sebelumnya saja dulu. Aku benar-benar sedang tidak ingin membuat kepalaku terasa lebih pening lagi," seru Rigel yang kini sudah bersandar pada kursi dan memijat pangkal hidungnya sendiri.

"Baguslah, karena kau memang harus benar-benar siap saat berhadapan dengannya," ucap Hera dengan cukup lirih.

Meski penasaran, tapi Rigel lebih memilih untuk tak memusingkan hal itu. Kepalanya sudah cukup pening dengan apa yang dia alami. Rasanya Rigel perlu beristirahat sejenak sebelum akhirnya bisa benar-benat membalas perbuatan orang-orang yang telah menghinanya. Semua orang yang merendahkan kemiskinannya. Setidaknya, Rigel akan berusaha mendapatkan banyak uang demi membalas mereka semua.

Tak terasa, mereka pun sudah kembali pada sebuah rumah besar yang sebelumnya. Sekarang, Rigel baru tersadar jika rumah itu benar-benar terlihat mewah sekali.

"Sebenarnya, rumah siapa ini?" tanya Rigel pada Hera saat mereka sudah berjalan berdampingan untuk masuk.

"Rumahku," ucap Hera singkat.

"Wow."

"Kenapa? Apa itu begitu mengejutkan?" tanya Hera sembari tersenyum tipis.

Rigel menggelengkan kepalanya. "Tidak. Dari penampilanmu sepertinya kau memang pantas memiliki rumah besar ini."

Pria itu memang memuji dengan tulus. Bersamaan dengan angan yang ada di dalam benaknya sekarang. Seandainya saja dia juga memang memiliki rumah sebesar ini.

"Apa kau juga menginginkannya?" tanya Hera yang kini sudah menghentikan langkahnya menatap Rigel.

Rigel lantas menatap Hera dengan satu alis yang sudah terangkat. "Apa jika aku mengatakan iya, kau akan memberikannya?"

"Bukan aku yang memberikan. Tapi kau sendiri yang akan mendapatkannya sendiri," ujar Hera tenang.

"Bagaimana mungkin orang sepertiku akan—"

"Kau hanya perlu menjalani kehidupan barumu. Setelah berbicara dengannya, kau hanya perlu menerima setiap tawaran yang dia berikan. Maka, kau akan mendapatkan apapun yang kau inginkan," jelas Hera dengan raut wajah yang mulai terasa dingin.

Rigel sendiri tidak mengerti kenapa wanita itu mengubah raut wajahnya menjadi begitu dingin seperti saat ini.

Rigel kini telah mendekat pada Hera. Dimana dia sudah menatap Hera dengan sorot mata yang terlihat mengintimidasi. "Apa kau sedang mencoba mempermainkanku, Hera?"

Dengan sorot matanya, Hera telah menatap Rigel dengan sendu sekarang. Benar-benar membuat Rigel sempat kebingungan sendiri saat melihatnya.

"Kau pria yang malang, Tuan Rigel. Tidak mungkin aku mempermainkanmu," ucap Hera dengan suara yang lirih.

Hal yang membuat Rigel semakin tak percaya dengan apa yang telah dia dapati. Tak percaya jika wanita yang terlihat angkuh sebelumnya, justru memiliki sisi yang seperti ini. Seperti Rigel yang bahkan memiliki sisi lain dalam dirinya. Kekejaman yang masih belum dia sadari di dalam dirinya.

Semakin mendesak Hera hingga punggung wanita itu menyentuh tembok, Rigel masih menatapnya dengan lekat dan tajam. "Kenapa kau mau menampungku di sini?" tanya Rigel.

Pertanyaan yang Rigel lemparkan mampu membuat pria itu melihat mata Hera yang bergetar. Seperti wanita itu telah berada dalam kegugupannya.

"T—tuan," ujar Hera dengan terbata.

"Kenapa? Cukup katakan," ucap Rigel semakin tegas pada Hera.

"Tolong kendalikan dirimu," peringat Hera pada Rigel.

Sebab tanpa disadari, Rigel benar-benar mendesak Hera sekarang. Dengan sorot mata yang tajam dan rahang yang mengeras, Rigel seperti baru saja menunjukan sisinya yang lain. Sisi gelap yang selama ini tersimpan di dalam dirinya. Sisi gelap yang muncul ke permukaan setelah kecelakaan itu terjadi.

Memejamkan matanya, Rigel kini telah menghela nafasnya dalam.

"Maaf," ucap Rigel yang kemudian kembali menjauh dari tubuh Hera.

Hera menggeleng dan bernafas lega. "Aku akan kembali ke kamarku. Kau hanya perlu memanggilku jika membutuhkan sesuatu. Nanti malam kita akan temui 'dia' yang bisa memberikan semua hal yang kau butuhkan," ujar Hera.

Rigel menatap Hera lekat. Kalau diperhatikan, Hera terlihat begitu polos. Mengingat wanita itu juga baru pertama kali mendapatkan ci*man dari seorang pria.

"About your first kiss. Aku benar-benar minta maaf soal itu," ucap Rigel pelan.

Lantas Hera menatap Rigel dengan lekat. "Jangan pernah membahas tentang itu lagi. Apalagi kalau di hadapan 'dia'. Kau mungkin akan langsung dihabisi saat itu juga," jelas Hera yang sudah bergegas meninggalkan Rigel.

Jawaban Hera membuat Rigel bertanya-tanya. Siapa 'dia' yang dimaksud Hera, dan siapa Hera sebenarnya. Apa hubungan mereka dan juga kenapa menolong Rigel dan membawanya.

Akankah, orang-orang itu bisa membantu Rigel untuk mendapatkan semuanya?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!