Berkali-kali Rigel menarik nafasnya dalam. Berkali-kali juga dia merasakan sakit di setiap tarikan nafas yang dia lakukan. Sakit yang tak bisa terelakan lagi dalam dirinya, rasa sakit yang secara perlahan mungkin telah menggerogoti hidup Rigel sampai hancur nantinya.
Air matanya bahkan tak dapat lagi keluar karena rasanya terlalu sakit. Bagaikan telah disayat mata pisau yang tajam, Rigel bisa merasakan perih di dalam hatinya. Lebih perih dari sekadar luka yang ditaburi garam.
"Aku harus bertemu dengan Ibu," ucap Rigel pada akhirnya. Setelah dia juga hanya terdiam beberapa jam meratapi rasa sakit hatinya.
Mungkin ini satu-satunya cara untuk dia mempertahankan rumah tangganya. Dia masih begitu mencintai Erina, tidak mungkin dia berpisah dengannya. Rigel mungkin bisa memaafkan pengkhianatan Erina ini padanya, meski memang lukanya teramat dalam.
Membutuhkan perjalanan 40 menit untuk Rigel sampai di rumah keluarga Erina. Dia juga hanya mengandalkan kendaraan umum karena dia sendiri tidak memiliki kendaraan pribadi, baik itu motor apalagi mobil.
"Syukurlah, sepertinya mereka sudah bangun," ucap Rigel dengan helaan nafas lega.
Sebenarnya sekarang sudah pukul enam pagi, Rigel bahkan tidak tidur sama sekali karena memikirkan Erina dan Roby.
"Selamat pagi, Pak, Bu. Ini aku Rigel," ucap Rigel dengan ketukan yang dia lakukan pada pintu rumah itu.
Tak sampai menunggu waktu lama, Rigel sudah mendapati pintu tersebut terbuka.
"Ada apa?"
Bukan sambutan baik. Rigel tahu itu dari raut wajah yang ditunjukan wanita paruh baya tersebut. Sorot mata tajam justru malah didapatkan oleh Rigel.
"Ada yang harus aku bicarakan dengan kalian tentang Erina," ucap Rigel tanpa ingin berbasa basi.
"Katakan saja. Suamiku masih tidur, kau tidak bisa masuk dan mengganggu tidurnya," ketus Merlin —Ibu Erina, mertua Rigel.
Rigel sadar, sepertinya Merlin memang masih tidak menerimanya dengan baik sebagai menantu. Padahal, Rigel juga sudah menikah selama satu tahun dengan Erina.
"Erina pergi. Dia berselingkuh dengan Roby, adikku," jelas Rigel lirih.
"Lalu? Apa masalahnya?"
Tidak disangka jika Rigel akan mendapatkan respon seperti itu. Meski Rigel sadar dia tidak diterima, tapi dia sempat berpikir mungkin Merlin akan membantunya. Karena bagaimana pun ini tentang sikap tercela putrinya.
"Lebih baik kau pergi dari sini. Ceraikan saja Erina seperti yang dia inginkan. Mungkin memang adikmu yang bekerja kantoran lebih baik darimu yang hanya bekerja sebagi bartender miskin," ucap Merlin.
Bekum sempat Rigel berbicara lagi, Merlin sudah berjalan masuk kembali dan menutup pintu dengan kasar.
Satu lagi hinaan yang didapatkan Rigel. Membuatnya hanya mampu mengepalkan tangan dengan rahang yang telah mengeras. Dia berada di dalam amarah, tapi tidak bisa untuk melampiaskannya pada siapa pun, pada apa pun.
"Kemarilah!"
Seseorang di seberang jalan nampak melambaikan tangannya pada Rigel. Membuat Rigel teralihkan dari rasa marahnya dan menatap orang itu dengan heran.
"Iya, kau! Kemari!" Serunya lagi memanggil Rigel.
Rigel sempat menolehkan kepalanya ke sana dan kemari, dimana dia tak mendapati siapa pun lagi di sana selain dirinya. Membuat Rigel akhirnya yakin orang itu baru saja memanggil dirinya.
"Kau memanggilku? Ada apa?" tanya Rigel saat dia berhasil menghampiri orang itu.
Seorang pria tinggi dengan setelan jas hitam.
"Iya, tentu saja kau. Siapa lagi?!"
"Kenap?" tanya Rigel semakin penasaran.
Dia malah jadi berdebar sendiri. Cemas jika pria di depannya ini adalah seorang debt collector yang mungkin akan menagih beberapa tagihan yang belum dia bayarkan.
"Kau butuh pekerjaan?" tanya pria itu tiba-tiba.
Rigel lantas mengernyitkan dahinya. Dia kebingungan dan merasa cukup heran.
"Tiba-tiba?"
Pria itu mengangguk. "Ikut aku kalau kau mau. Aku bisa memberikan gaji yang besar."
Rigel semakin ngeri sendiri. Pria asing menawarkan pekerjaan dengan gaji yang besar pada pria yang baru ditemuinya? Yang benar saja. Apalagi kalau ini bukan penipuan?
"Tidak, terima kasih," tolak Rigel masih dengan mencoba bersikap sopan pada pria tersebut.
"Kau yakin? Aku bisa membuatmu kaya mendadak," ujar pria itu tanpa menyerah sama sekali.
Rigel kembali menggeleng. Tawaran untuk memuaskan Madam di clubnya saja dia tolak. Mana mungkin dia menerima begitu saja tawaran tak jelas dari pria asing?
"Tidak, maaf sekali."
"Bukan hanya kaya mendadak, kau bisa menjadi milyarder. Kau bisa mendapatkan apapun yang kau inginkan. Harta, tahta, wanita? Kau bisa mendapatkan semuanya!"
"Maaf, cari saja orang lain," ucap Rigel sekali lagi dengan penolakannya.
Rigel juga lebih memilih untuk meninggalkan pria itu. Dia kini berniat kembali berjalan ke halte bis untuk kembali ke rumahnya. Dia mengabaikan pria yang berkali-kali mencoba memanggilnya.
Ya, dia lebih memilih kembali meratapi nasib buruknya. Di pecat dari pekerjaannya, dikhianati adik dan istrinya, dihina mertuanya. Semua hal buruk yang menimpanya benar-benar membuat Rigel merasa hidupnya telah hancur.
Berjalan sembari menendang-nendang bebatuan kecil di aspal yang dia injak, Rigel benar-benar putus asa sekarang. Sisa uang di kantongnya bahkan hanya tiga ratus ribu.
"Kau harus bisa membuktikan pada mereka kau bisa lebih baik, Rigel!" seru Rigel pada dirinya sendiri.
Dia mencoba menenangkan dirinya agar tidak benar-benar mengambil keputusan yang salah. Atau bahkan harus terus tenggelam dalam nasib buruk ini.
"Ayo, Rigel. Kau pasti bisa untuk membalas d—"
Rigel menghentikan kalimatnya. Bukan karena dia tidak ingin melanjutkannya. Tapi, karena tubuh Rigel baru saja terpental jauh saat sebuah mobil telah menabraknya.
Tubuh Rigel benar-benar telah terpental jauh. Bahkan, dia juga harus berguling-guling di atas aspal yang melukai kulitnya. Nafasnya tercekat, saat dia mencoba membuka mata.
Pandangan mata Rigel telah memburam begitu dia telah berbaring di atas aspal yang kasar. Seluruh tubuhnya terasa nyeri, perih. Kepalanya telah mengeluarkan banyak sekali darah.
"To—long," ucap Rigel terbata dengan suara yang begitu lirih.
Tubuhnya juga tak bisa digerakkan sama sekali. Matanya terasa berat hingga rasanya ingin terpejam terus menerus.
'Mungkinkah ini akhir kisah hidupku? Apa aku harus mati dalam kondisi mengenaskan ini? Dengan segala nasib buruk yang aku bawa hingga kematian ku?' berbagai pertanyaan itu muncul dalam benak Rigel.
Dia berpikir, mungkin inilah waktunya dia mengakhiri hidup, mengakhiri penderitaannya.
"Rigel Zach Spencer."
Dengan sisa kesadarannya, Rigel bisa mendengar samar-samar seseorang menyebutkan namanya. Membuat Rigel berusaha membuka matanya untuk melihatnya.
'Mungkinkah dia malaikat penolong? Atau bahkan malaikat pencabut nyawa?' batin Rigel.
"To—long," ucap Rigel sekali lagi teramat lirih. Nyaris tak terdengar sama sekali.
"Membutuhkan pertolonganku, Spencer? Pegang tanganku, dan aku akan menyelamatkanmu dari kematian."
Rigel semakin samar mendengarnya. Namun, dia bisa melihat dengan pandangan yang hampir menggelap saat satu tangan terulur padanya.
Rigel tak dapat melihat jelas seseorang yang berdiri di hadapannya. Tapi, Rigel bisa menyadari jika itu adalah seorang pria dengan topi hitam. Pria yang nampak tersenyum miring saat melihat kondisi Rigel.
Hingga secara tak sadar, Rigel mencoba meraih uluran tangan itu. Tak perduli siapapun itu, Rigel hanya ingin dia diselamatkan. Dia masih harus hidup untuk membalas perbuatan orang-orang yang telah menghinanya.
Akankah, pria itu benar-benar akan menyelamatkan Rigel?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments