"Rian! Sini kamu!"
"Ya Bu Manda, ada apa, Bu?"
"Dari mana kamu dapat gadis gila seperti itu, hahh? Siapa yang merekomendasikan Serena jadi pelayan Pak Bos?! Heran aku! 'Kok berani sekali dia bersikap selancang itu? Berkas dia juga tidak ada di data rekrutmen. Tapi Pak Bos sudah menyuruhku melakukan orientasi pada gadis itu." Manda menautkan alisnya. Sisa-sisa kelelahan masih tampak jelas dari raut wajahnya. Ya, ia baru saja selesai main kejar-kejaran dengan Serena.
"Gadis itu dipilih langsung oleh Pak Bos, Bu. Jadi, Bu Manda tidak perlu bertanya lagi. Kalau Bu Manda penasaran, boleh langsung bertanya saja pada Pak Bos."
"Ya ampun Rian, mana berani aku bertanya pada Pak Bos. Mau cari mati?" keluhnya. Sekarang sambil memijat kakinya yang pegal akibat mengejar Serena.
"Sudahlah Bu Manda, kita ikuti saja aturan mainnya. Baru beberapa jam Nona Serena ada di sini, aku justru merasa jika apartemen ini jadi lebih berwarna. Jarang-jarang 'kan Bu Mandi lari-lari dan diperlakukan seperti itu?" Rian malah terkekeh.
"Apa?! Rian! Dasar pria labil! Kamu bersikap kayak begitu karena Serena cantik, 'kan? Oiya, untuk apa kamu memanggilnya Nona? Bukan 'kah Nona kita hanya Nona Clara Judith?" Manda semakin keheranan.
"Aku memanggilnya Nona, karena di hadapan Pak Bos, Hugo, Edrick dan Boy juga memanggilnya Nona."
"Apa?! Apa Pak Bos tidak melarang? Hmm, aneh sekali."
"Ssst, sudah ah. Aku masih ada pekerjaan." Rian berlalu begitu saja.
"Rian tunggu."
"Ada apa lagi Bu Manda?"
"Aku sampai lupa, aku memanggil kamu karena Serena berulah lagi."
"Berulah lagi?"
"Ya Rian. Dia sekarang mengunci diri di kamarnya. Alasannya karena mau tidur dan tidak mau diganggu. Coba kamu pikir baik-baik. Mana ada pelayan baru izin tidur siang. Jangankan yang baru, yang lama juga tidak pernah izin tidur siang."
"Hahaha." Rian malah tertawa.
"Rian! Anak ini!" Karena kesal, Manda akhirnya mentoyor kepala Rian.
"Bu, sakit."
"Begini saja 'lah, aku malas bicara lagi sama kamu. Biar aku saja yang langsung menghadap Pak Bos untuk melaporkan ulah Serena. Awalnya, aku akan meminta bantuan kamu." Mandapun berlalu.
"Nah, begitu lebih baik," sahut Rian.
...***...
"Huuu, mama ... papa ...."
Ternyata, saat ia seorang diri, Serena tidak sebar-bar sikapnya. Nyatanya, ia tidak tidur siang. Gadis itu sedang menangis di pojok kamar sambil memeluk lututnya. Kamar ini sangat asing dan tentu saja bukan kamar yang sesuai dengan seleranya.
Serena juga merasa lapar. Namun ia tidak tahu caranya mendapatkan di apartemen aneh ini. Ya, ini apartemen aneh karena sangat besar dan terdiri dari beberapa unit yang dijadikan menjadi satu kesatuan.
"Kruweek."
Bising ususnya berbunyi. Ini memang waktunya makan siang. Akibat berlari, rasa lapar Serenapun kian menjadi. Gadis itu mengusap air matanya dan mengendap-endap menuju pintu keluar.
"Krieet."
Ia membuka pintu kamar dan memantau situasi. Pikirnya, harus ada yang bisa dimakannya. Walaupun ia tidak suka dengan kondisi ini, Serena berpikir harus bertahan hidup demi bisa membuktikan pada mama dan papanya jika dirinya bisa diandalkan.
"Bagus," gumamnya saat melihat jalur menuju area dapur sepi dari pelayan.
Tap, gadis itu mulai melangkah dengan hati-hati. Saat samar-samar terdengar suara yang berbincang, Serena berbunyi di balik tirai. Kejadian itu terjadi berulang-ulang. Tapi karena belum mengenal dengan baik denah apartemen ini, Serena jadi kesulitan menemukan letak dapur. Sekarang, ia jadi bingung sendiri harus berbelok ke arah mana.
Belum lagi kebingungannya hilang, punggung serena tiba-tiba tidak sengaja menekan sebuah pintu yang memang tidak terkunci. Karena ia mendengar derap langkah kaki, Serena spontan bersembunyi di balik pintu tersebut dan segera menutpnya dengan perlahan.
"Hufh," ia menghela napas. Merasa lega karena terbebasa dari kondisi panik.
"Kok jadi sepi ya?"
Berulang kali ia menajamkan pendengaran untuk memastikannya. Namun hasilnya tetap sama. Setelah beberapa saat, barulah ia menyadari jika dinding ruangan ini kedap suara.
Lalu ia terkejut karena menyadari telah berada di sebuah kamar yang sangat megah. Kamar ini didominasi oleh waran hitam putih dan silver. Kamar ini bahkan jauh lebih megah dari pada kamar miliknya.
"Wah, kamar siapa ini?"
Sambil mengedarkan pandangan. Lalu matanya berbinar saat melihat keberadaan kulkas berukuran besar yang ada di kamar tersebut. Tanpa pikir panjang, Serena mendekati kulkas dan segera membukanya.
Luara biasa. Isinya sangat lengkap. Serena sampai bingung harus mengambil apa. Tapi, apa boleh ia mengambil sesuatu dari kulkas ini? Bukankah jika ketahuan akan dicap sebagai pencuri?
"Tapi 'kan aku lapar. Lagi pula, aku ini istrinya Pak Bos. Ya wajar kali kalau aku makan di rumah ini?"
Atas dasar pertimbangan itu, Serena akhirnya mengambil satu kemasan kecil yang berisi biskuit.
"Kenapa tidak pulang saat akhir pekan saja Ra? Kalau kamu pulang besok, saya sibuk."
Serena baru saja mendengar suara seseorang. Jantungnya berdegup seketika. Sebab, ia mengenal suara itu.
"Saya pulang cepat karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan di apartemen. Saya baru pulang beberapa menit yang lalu, bisa kita akhiri saja panggilannya?"
Suara tersebut semakin terdengar jelas. Serena gugup. Iapun kembali bersembunyi di balik tirai. Tapi karena gugup, Serena tidak sengaja menjatuhkan kemasan biskuit yang diambilnya. Keberadaan tirai berukuran tinggi dan gelombang tirai yang berukuran besar, menjadi keuntungan tersendiri untuk Serena karena bisa bersembunyi dengan mudah. Serena menjinjitkan kakinya agar tidak terlihat. Ia bahkan memelankan bunyi napasnya.
Pak Bos Marvin?
Jantung Serena berdegup. Ia menyesali kecerobohannya. Kok bisa ia melakukan kesalahan dan masuk ke kamar Pak Bos? Serena membekap bibirnya saat Marvin membuka baju kerjanya. Ternyata, Serena bersembunyi di balik tirai yang tipis. Harusnya, ia bersembunyi di balik tirai yang berwarna hitam.
Semoga dia tidak melihatku, harapnya.
...***...
Sementara itu, di area lain unit apartemen megah ini, tampaklah Manda yang kembali meradang setelah mendapati kamar Serena tidak berpenghuni.
"Tolooong!" teriak Manda. Pekerja yang lain datang dan bertanya masalahnya.
"Serena tidak ada di kamarnya. Apa salah satu dari kalian ada yang melihat dia?!"
"Tidak Bu Manda, kami tidak melihatnya," jawab seseorang dan mewakili yang lainnya.
"Kurang ajaaar! Ya ampun Serenaaa! Mau anak itu apa, 'sih?" Manda beteriak sambil mengepalkan kedua tangannya.
"Bu Manda bagaimana kalau kita cek CCTV saja?" Seorang pegawai pria memberi ide.
"Ide bagus. Tapi CCTV di sini hanya bisa dicek menggunakan sidik jari Pak Bos. Kalau aku lapor Serena hilang, Pak Bos juga pasti menuduhku tidak becus bekerja. Tapi kalau gadi itu tidak ditemukan, aku khawatir Pak Bos lebih marah. Sebab kata Rian."
Manda tiba-tiba mengecilkan suara. Lalu melambaikan tangan pada semuanya. Merekapun antusias, segera berkerumun mendekati Manda.
"Ssst, ini rahasia kita ya." Manda ternyata tukang gosip.
"Jangan bocor ke yang lain," lanjutnya. Yang mengerumuni Manda mengangguk serempak.
"Rion memanggil Serena dengan embel-embel Nona."
"Hahh?" Pendengar gosip terkejut.
"Ssst, aku belum selesai bicara."
"Terus?" Mereka tentu saja penasaran.
"Rian memanggilnya Nona karena Edrick, Hugo, dan Boy juga memanggil Serena dengan sebutan Nona di hadapan Pak Bos, dan Pak Bos tidak marah."
"A-apa?" Info dari Manda membuat mereka saling memandang dan terkaget-kaget.
"Ya ampun, 'kok bisa ya Pak Bos tidak marah, apa karena Serena sangat cantik? Hmm, ini tidak bisa dibiarkan." Provokator muncul. Seorang pelayan muda langsung protes dan disahuti oleh yang lainnya.
"Kamu benar Iin, kita harus protes pada Pak Bos, enak saja pelayang baru diperlakukan seistimewa itu! sahut yang lain.
"Hei, ssstt. Kalian tenang dulu. Sudah kubilang ini rahasia. Kita pantau dulu selama beberapa hari, jika ada hal lain yang mencurigakan, barulah kita bertindak."
Manda mencoba menenangkan situasi. Batinnya jadi tidak tenang, sebab gosip darinya ternyata langsung menimbulkan suasana yang tidak kondusif.
"Ya sudah, aku mau menemui Pak Bos dulu, karena sikap Serena keterlaluan, aku yakin kalau Pak Bos tidak akan menyalahkanku. Dulu, seorang pelayan langsung dipecat gara-gara pelayan itu iseng-iseng duduk di kursinya Pak Bos. Semoga saja Serena juga langsung dipecat," harap Manda.
"Ya, semoga saja," sahut mereka. Lantas membubarkan diri seraya berdesas-desus. Topik hari ini tentu saja seputar 'Serena.'
...***...
Marvin meletakkan ponselnya di nakas setela Clara Judith menutup panggilannya. Clara Judith adalah kekasih Marvin yang sedang berkuliah di luar negeri. Clara adalah putri bungsu dari seorang pengusaha ternama sekaligus pejabat negara bernama Erda Wiguna.
Marvin mengernyitkan alisnya yang terlihat begitu lebat, hitam, dan rapi. Ia merasa ada kejanggalan pada kulkasnya. Sebab, kulkasnya tidak tertutup dengan sempurna. Segera menutupnya dan terus berpikir.
Perasaan, saya belum buka kulkas, batinnya.
Lalu terkejut saat mendapati jemari kakinya yang tampak sangat dan sangat bersih itu tidak sengaja menendang sesuatu.
"Apa ini?" Segera mengambil kemasan utuh sebuah buskuit yang tergeletak di lantai. Bersamaan dengan itu, bel kamarnya berbunyi.
"Pak Bos, permisi. Mohon maaf mengganggu. Aku Manda." Suara Manda muncul pada interkom. Marvin baru bicara setelah menekan sebuah tombol yang ada pada pintu kamarnya.
"Ada apa?" Suaranya terdengar dingin. Seolah malas bicara dengan Manda.
"Aku mohon maaf Pak Bos, pelayan yang Anda suruh untuk diorientasi itu tidak ada di kamarnya. Aku mau meminta izin pada Anda untuk mengecek rekaman CCTV supaya bisa segera menemukannya," jelas Manda.
"Oya?" sahut Marvin, dan ia terkejut ketika melihat gelombang tirai begerak dan ia segera nenyadari sesuatu.
"Aku mohon maaf Pak Bos, dan sebaiknya, Pak Bos juga memang harus melihat rekaman CCTV," lanjut Manda.
"Saya sedang sibuk, kamu boleh pergi."
Marvin memijat tombol merah pada interkom. Itu artinya, kalaupun Manda bicara lagi, Marvin tidak bisa mendengar ucapan Manda. Di luar kamar, Manda mengehela napas. Jawabah Pak Bos, benar-benar aneh dan tentu saja tidak bisa menyelsaikan masalah. Manda akhirnya pergi tanpa mendapatkan hasil apapun.
Setelah tahu Manda pergi, Marvin mendekati tirai. Ia yakin jika sumber masalah yang dihadapi Manda berada di balik tirai kamarnya. Saat Marvin melihat ujung tirai, ia melihat sekilas ada jari kaki.
"Apa kamu tahu konsekuensinya masuk ke kamar orang lain?" tanya Marvin dengan suara tegas. Sosok yang berada di balik tirai tidak menjawab.
"Kesalahan kamu sangat banyak. Kamu tidak bisa saya maafkan. Sepertinya, orang tuamu tidak berhasil mendidik kamu," lanjut Marvin.
Di balik tirai, Serena langsung mengepalkan tangan. Ia masih terima saat jika dirinya disalahkan. Tapi ia tidak terima jika yang sisalahkan adalah orang tuanya.
"Jangan sembarangan bicara! Mama dan papaku sudah merawat dan mendidikku dengan baik!" sentaknya sembari menyingkap tirai, bertolak pinggang dan menatap Marvin dengan tatapan tajam.
"Kamu?!" Marvin tercengang. Gadis ini menjadi orang pertama yang berani bertolak berkacak pinggang di hadapannya.
"Hina aku saja, silahkan! Tapi jangan menghina papa dan mamaku! Ya, aku tahu papaku salah, tapi Anda jangan sembarangan menyalahkan papaku," lanjut Serena.
"Nyalimu besar sekali. Andai kamu tahu kesalahan papamu sebesar apa, kamu pasti malu bicara seperti itu di hadapan saya." Marvin membiarkan Serena. Ia kembali ke aktivitas sebelumnya. Melanjutkan kembali membuka bajunya.
"Eren, kamu tidak melaporkan Papa ke polisipun, nama Papa sudah ada di data kriminal kantor polisi. Papa sudah dilaporkan oleh beberapa klien, namun Papa tidak ditahan karena pak bos Marvin menjaminkan namanya dan menolong Papa."
Teringat akan ucapan papanya membuat Serena tertunduk. Gadis itu khawatir jika kelancangannya akan membuat Marvin marah dan membahayakan papanya.
"Aku minta maaf Pak Bos Marvin. Aku masuk ke kamar ini tidak sengaja."
"Saya tidak bertanya," jawab Marvin.
"Terima kasih Pak Bos, kalau begitu, aku pamit ya." Serena mengendap sambil menunduk. Marvin cuek. Ia membiarkan Serena pergi. Tapi, Serena kesulitan membuka pintunya.
"Ma-maaf Pak Bos, bagaimana cara membuka pintunya?"
Tapi Marvin diam saja. Ia sedang memilih baju yang akan ia gunakan.
"Pak Bos, bagaimana cara membuka pintunya?"
"Bukankah sebelumnya kamu kaya-raya, apa di rumahmu tidak ada pintu seperti itu?" Tetap tidak peduli pada Serena. Malah merebahkan diri di tempat tidur dan memainkan ponselnya.
"Aku tidak menggunakan pintu seperti ini, Pak Bos."
"Oh," sahut Marvin. Tetap fokus pada ponselnya. Serena kesal. Ingin rasanya menjambak rambut Marvin dan membatingnya ke ke tembok. Namun ia menahan diri dan mencoba bersabar.
Karena pegal, Serena akhirnya duduk di lantai. Ia menatap langit-langit kamar yang menjulang tinggi.
"Siapa yang membolehkan kamu duduk," Marvin melirik pada Serena dengan sudut matanya.
"Baik, aku akan berdiri lagi." Sabar, sabar, tenang, tenang. Serena mengelus dadanya.
Dua menit, tiga menit, sampai sepuluh menit berlalu, Serena masih berdiri di depan pintu. Tangannya mengepal karena kesal. Ia berpikir akan tetap berdiri dan diam saja sampai kapanpun. Mungkin, jika dirinya benar-benar pingsan, Marvin akan memedulikannya.
Keras kepala, batin Marvin. Sesekali melirik pada Serena. Di menit ke 27, Marvin melihat jika tubuh Serena mulai goyah. Ia juga melihat keringat di pelipis Serena.
"Sampai kapan kamu mau berdiri?"
"Sa-sampai Anda membolehkanku duduk," jawab Serena. Suara gadis itu mulai terbata-bata.
Di menit ke 38, Serena sudah tidak bisa menahan kakinya lagi. Ia merasa sangat lelah dan pegal. Ia hendak memegang gagang pintu namun kakinya sudah terlebih dahulu goyah.
'Bruk.' Serena bersimpuh di lantai. Marvin terkejut. Tapi ia kembali cuek saat melihat Serena masih bisa duduk sempurna. Di menit ke 40, kepala Serena oleng ke kanan dan kiri. Lau di menit ke 45 Serena terkulai lemas. Marvin sigap melempar bantal agar kepala Serena tidak membentur tembok. Untung saja lemparan Marvin tepat sasaran.
Serena pingsan dengan posisi miring dan bantal di kepalanya. Awalnya, Marvin tidak ingin peduli, tapi karena Serena seperti tidak bernapas, ia terpaksa bangun untuknmemeriksa Serena.
"Merepotkan," gumamnya.
"Serena? Hei," ia mengambil tongkat golf untuk menyentuh pipi Serena. Lalu Marvin terkejut saat menyadari jika bibir Serena yang awalnya terlihat merah muda, kali ini terlihat putih memucat.
"Serena!" Tanpa sadar melempar tongkat golf dan memangku tubuh Serena. Marvin kemudian merebahkan Serena di tempat tidurnya. Karena ia memiliki adik perempuan yang seumuran dengan Serena, Marvin jadi merasa iba.
"Haish," rutuknya. Segera memalingkan muka setelah melihat baju Serena yang tersingkap. Cepat-cepat mengambil selimut dan melemparnya pada bagian tubuh Serena yang terbuka.
"Jangan mengira kalau saya akan tergoda dengan anakmu, Wandira," gumamnya.
...~Next~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
indah77
semangaaat nyaaaiiii 💪💪💪
2023-01-31
0
indah77
Bim sala Bim tumbuhkan cinta dihari.keduanya...
2023-01-16
0
kistatik
waduh bagaimana ini sudah punya kekasih Clara ternyata
2023-01-12
1