"Kenapa kisah hidupku jadi seperti ini?" gumamnya. Ia memeluk berkas rekam medis milik mamanya. Ternyata, mamanya mengalami penyakit kelainan ginjal yang mengharuskannya cuci darah setiap bulan.
"Mama, kenapa tidak pernah jujur pada Eren, Ma? Mama dan papa jahat sekali sama Eren. Apa ini karena kalian selalu menganggap aku masih kecil dan tidak bisa diandalkan?" Ia bicara sendiri. Linangan air mata mesih terlihat di pelupuk matanya.
Lalu berdiri perlahan untuk melihat kamar asing ini. Kamar yang menurutnya begitu kumuh. Gadis itu bahkan menutup hidung dan nyaris muntah saat melihat kondisi kamar mandi yang berada di kamar tersebut. Kamar megah yang dulu menjadi kebanggaannya, kini telah raib.
"Huuu."
Kembali menangis. Serena tidak menyangka kehidupannya yang sempurna itu telah berubah tiga ratus enam puluh derajat. Jika ia semiskin ini, apa teman-temannya masih mau berteman dengannya? Ia melangkah perlahan menuju tirai kumal yang menutupi jendel kamar. Jemari lentiknya bahkan mencubit jijik saat menyingkap tirai tersebut.
Ternyata, kaca di baliknya sangat buram. Apa papa sangat miskin? Pikirnya. Dari balik kaca yang buram itu, ia melihat adiknya sedang menangis. Adik terkecilnya bernama Silviana berusia lima tahun, sedang menangis sambil membanting botol dot kesayangannya yang hanya berisikan air putih. Sementara Rio, adiknya yang berusia sepuluh tahun, sedang memerhatikan sekelilingnya. Bocah itu pasti bertanya-tanya dengan keadaan mereka saat ini.
"Mama, berapa lama kita akan berwisata di rumah ini? tanya Rio.
"Tidak akan lama, 'kok. Rio sabar ya. Ini misi penting. Kalau keluarga kita berhasil melewati misi terlama berwisata di rumah ini, papa akan mendapatkan bonus besar dan kita semua boleh kembali ke rumah lama kita," jelas sang mama. Ia rela berbohong demi menenangkan anaknya.
Serena terpuruk. Ia menjatuhkan tubuhnya dan bersimpuh di lantai. Apa yang dikatakan mamanya membuat hatinya rapuh dan terkula.
"Mama, Via mau minum susu rasa vanila," rengek Silviana.
"Via sudah besar. Mulai hari ini, tidak boleh minum susu lagi ya. Via masih bisa makan yang lain selain susu."
Wanita itu memeluk putri bungsunya. Airmatanya berderai. Yang Maha Kuasa sedang mengujinya dengan sesuatu yang tidak pernah ia sangka-sangka. Ia tahu jika ini adalah kesalahan suaminya, namun ia sadar benar jika selama ini, ia selalu mendukung suaminya atas dasar kepercayaan dan cinta.
"Mama." Serena mendekati mamanya. Ia lantas memeluk punggung wanita berkulit pucat itu.
"Eren, maafkan Mama ya. Di saat seperti ini, Mama tidak bisa melakukan apapun untuk menolong kamu dan memperbaiki masalah ini. Sisa-sisa uang yang Mama miliki sudah digunakan untuk membeli rumah ini," lirihnya.
"Kapan jadwal Mama cuci darah?" Serena malah menanyakan hal itu. Membuat mamanya terbelalak.
"Cu-cuci darah? S-siapa yang cuci darah?" Ia pura-pura tidak tahu.
"Mama!" Serena berdiri.
"Jangan bohongi Eren lagi, Ma! Eren sudah tahu semuanya!"
"A-apa?! E-Eren, ssst ... te-tenang sayang. Ada adik-adik kamu, tolong jaga sikap." Sambil menggelengkan kepalanya. Serena terdiam.
"Maaf, Kakak sedang berakting. Ini bagian dari misi," terangnya seraya tersenyum.
"Rio tidak percaya kita berakting. Apa papa bangkrut? Apa kita jadi orang miskin?" sangkal Rio. Kalimat itu membuat Serena dan mamanya secara bersamaan memeluk Rio. Ya, mungkin hanya Silviana yang percaya jika keadaan ini adalah bagian dari misi.
...***...
"Eren, kamu di mana? Aku ada di depan rumah kamu. Tapi ada tulisan jika rumah kamu sudah disita. Eren, kenapa kamu tidak mengangkat panggilan dan membalas pesanku? Eren, aku sudah tahu kasus papamu dari papiku. Ren, maaf karena aku tidak bisa membantumu. Tapi, aku ingin bertemu kamu, Ren. Aku merindukan kamu, Eren."
Serena sedang membaca pesan dari sebuah nomor yang dinamainya 'Leon is my heart.' Sepertinya, itu adalah pesan dari kekasihnya.
"Jangan menghubungiku lagi, Leon. Dunia kita sudah berbeda. Kamu tentunya tidak mau memiliki kekasih yang miskin. Lagi pula, keluargamu pasti sudah tahu jika reputasi papaku sudah hancur. Leon, aku mencintai kamu. Tapi, untuk saat ini rasanya ... kita tidak mungkin bisa bersama lagi."
Itulah pesan yang ditulis Serena sebelum memblokir nomor milik Rion.
"Eren, segeralah kembali ke apartemen pak bos Marvin sebelum Papa kehilangan kesempatan. Tolong Ren, tolong Papa. Apa Papa harus bersujud di kaki kamu?"
Pak Wandira yang sedari tadi menunggu keputusan putrinya terlihat gusar. Ia mondar-mandir ke sana-kemari sambil bertolak pinggang.
"Papa jahat," tuduh Serena sambil menatap surat perjanjian pernikahan antara ia dan pak bos Marvin yang telah ditanda tangan oleh papanya secara sepihak tanpa persetujuan Serena.
"Papa terpaksa, Ren. Begini, coba kamu pikirkan lagi. Apa kamu yakin bisa bertahan dengan kehidupan seperti ini? Apa kamu yakin akan mengubur cita-citamu menjadi desainer ternama? Eren, pernikahan kamu dan pak bos Marvin adalah langkah awal untuk mendapatkan kembali kekayaan kita. Eren, tolong berpikir logis, gunakan kepercayaan pak bos Marvin agar kamu tidak kehilangan segalanya. Papa sudah menelepon orang-orangnya pak bos Marvin untuk menjemput kamu."
"A-apa dengan Eren pergi Papa bisa menjamin keselamatan mama dan adik-adik? Jika Papa tidak bisa menjaga mereka, Eren akan melaporkan Papa ke polisi karena telah menelantarkan anak-istri."
"Eren, kamu tidak melaporkan Papa ke polisipun, nama Papa sudah ada di data kriminal kantor polisi. Papa sudah dilaporkan oleh beberapa klien, namun Papa tidak ditahan karena pak bos Marvin menjaminkan namanya dan menolong Papa."
"Apa? Apa Papa serius?"
"Papa serius, Eren. Jika kamu tidak pergi, Papa sudah dipastikan akan ditangkap polisi dan tidak bisa mengurus mama lagi."
"Huks, jika memang dengan cara ini mama dan adik-adik akan terjamin keselematan dan kesejahteraannya ... baiklah, Eren akan menemui pak bos Marvin. Tapi ... Papa jangan berharap Eren rela menyerahkan kesucian Eren pada pria tua itu."
"Eren, dia tidak tua. Dia baru berusia 28 tahun. Dia tampan, kaya-raya dan terkenal. Tolong jangan bicara sembarangan lagi. Lagi pula, pak bos Marvin adalah suamimu."
"Suami? Silahkan saja Papa bicara demikian. Karena di mata Eren, dia tetaplah pria jahat yang rela melakukan segala cara untuk mencapai tujuan hidupnya."
Setelah melepas rindu dengan dan adik-adiknya, Serenapun pergi. Pada adiknya Serena mengatakan akan mengikuti acara sekolah ke luar kota. Air mata Serena tumpah-ruah. Dengan berat hati, ia terpaksa pergi untuk menyerahkan dirinya pada Marvin Mahesa Jacob, si 'Pak Bos.'
"Cepat masuk, Nona. Anda tidak boleh datang terlambat." Orang-orang 'Pak Bos' menarik tangan Serena agar segera masuk ke dalam mobil. Gadis itu bahkan tidak diberi kesempatan untuk menoleh ataupun melambaikan tangan pada orang tuanya.
Tangis mama Serena pecah saat mobil yang membawa Serena hilang dari tatapannya. Sementara itu, senyum tipis pak Wandira tersungging manakala ia yakin putrinya bisa memperbaiki semuanya.
...***...
"Serena, silahkan pakai baju ini."
Seorang pelayan menyodorkan pakaian pada Serena. Ia menatap Serena dengan sinisnya, dari ujung rambut hingga ke ujung kaki.
"Baju apa ini?" Serena heran.
"Itu baju pelayan. Kata Pak Bos, kamu adalah pelayan baru."
"Apa?!" Dasar penjahat! Dia ternyata hanya menganggapku sebagai pelayan, umpat batin Serena.
"Cepat pakai! Kamu harus aku latih dulu! Perkenalkan, aku Manda, ketua pelayan," terangnya. Menyodorkan tangan. Serena meraih tangan Manda dengan gaya malas-malasan. Ujung bibir Serena bahkan terangkat sedikit seolah mengejeknya. Sikap Serena membuat Manda kesal.
"Kamu?! Serena! Sini kamu!" Menarik rambut Serena.
"Ahh, lepas! Berani sekali kamu memegang rambutku!" Serena menangkis tangan Manda.
"Apa?! Kurang ajar! Serena! Di antara pelayan Pak Bos, hanya kamu yang berpendidikan sangat rendah. Kamu hanya lulusan sekolah menengah pertama, kan?! Sedangkan aku, aku lulusan S2!" teriak Manda sambil melayangkan sebuah tamparan ke pipi Serena. Namun, sebelum mengenai, Serena berhasil menepisnya.
"Manda! Aku tidak berpendidikan rendah! Aku hanya belum lulus sekolah! Statusku masih pelajar di sekolah menengah atas! Aku bahkan bersekolah di sekolah terbaik di negara ini!"
"Apa?! Dasar gadis pembual! Siapa yang meloloskanmu menjadi pelayannya Pak Bos, hah?! Etika kamu benar-benar buruk!" Manda semakin meradang. Kali ini, ia berniat untuk menendang kaki Selena. Namun lagi-lagi, serangannya gagal. Gadis itu malah berlari keluar dari kamar.
"Kejar aku kalau berani!" teriak Serena. Ia bahkan menabrak beberapa pelayan yang sedang membawa hidangan.
"Aaa!" teriak mereka saat baki di tangannya terjatuh ke lantai akibat ulah Serena.
"Serenaaa! Berhentiii!" Manda beteriak sambil mengejar Serena. Ia bahkan melepas hak tingginya agar bisa mengejar Serena lebih cepat.
"Ble," ejek Serena sambil menjulurkan lidah dan menjulingkan matanya saat melihat Manda ngos-ngosan. Para pegawai lain yang melihat kejadian itu hanya bisa melongo tidak percaya. Sebab selama ini, tidak ada satupun pegawai yang berani melawan 'Bu Manda.' Sedangkan gadis ini, kata Pak Bos adalah pelayan baru.
"Kok bisa Pak Bos merekrut pelayan sebar-bar itu?" ujar seorang pelayan pria.
"Tunggu, aku tidak yakin kalau gadis itu adalah pelayan. Lihat, dia sangat cantik dan mulus," sahut yang lainnya.
Mereka bergumaman sambil menonton pertunjukan seru. 'Manda dan Serena kejar-kejaran.'
"Serena! Huuh. Hahh. Berhenti kamu! Ka-kalau tidak, aku akan melaporkan perbuatan kamu pada Pak Bos!" Manda menyerah, mengatur napas dan mengusap keringat di pelipisnya.
"Hahaha, dasar tua! Baru berlari sebentar saja sudah ngos-ngosan! Payah! Hahaha," ejek Serena. Lalu dengan santainya ia duduk di kursi terlarang sambil bertopang kaki.
"Ja-jangan!" teriak pegawai yang lain termasuk Manda. Ya, kursi itu adalah tempat duduknya Pak Bos Marvin Mahesa.
"Kenapa?! Apa aku salah duduk di kursi ini?! Kalau aku duduk di atas kepala Bu Manda, 'nah itu baru salah!" oceh Serena. Ucapan gadis itu membuat para pelayan saling berpandangan.
Siapakah Serena? Kenapa gadis itu sangat lancang?
Pertanyaan itu menyeruak di hati mereka. Lalu di sudut lain unit apartemen termegah itu, seorang pelayan wanita tengah menelepon seseorang.
"Nona, gadis itu benar-benar mencurigakan, dia sangat sombong dan lancang." Sambil memantau situasi. Ia seperti tidak ingin jika pembicaraannya diketahui orang lain.
"Kamu gila ya?! Kamu melaporkan seorang pelayan murahan kepadaku?! Yang benar saja!" Suara di balik telepon.
"Nona, masalahnya adalah ... pelayan baru itu sangat cantik. Dia juga seperti tidak takut pada Pak Bos. Satu hal lagi Nona, dia belum lulus sekolah. Sedangkan di peraturannya, karyawan Pak Bos harus berpendidikan minimal sarjana," terangnya.
"Apa?!" Suara di balik telepon terdengar panik.
"Ya Nona. Aku tidak mengada-ada."
"Tetap awasi gadis itu!" titahnya.
"Baik, Nona."
...***...
"Menarik," gumamnya.
Bibir merah alaminya mengulum senyum saat ia melihat tayangan ulang sebuah rekaman CCTV. Dalam rekaman itu, terlihat seorang gadis belia sedang berlari dengan lincahnya dari kejaran seorang wanita dewasa. Lalu ia berdiri saat rekaman CCTV menunjukkan gadis itu duduk di sebuah kursi. Matanya seketika tertuju pada kaki jenjang gadis itu.
"Sial!" geramnya.
Segera mematikan rekaman tersebut. Lalu duduk di kursi kerja sambil memutar pensil. Kepalanya bersandar pada kursi, matanya terpejam. Entah hal apa yang tengah di pikiran pria itu. Yang jelas, ia terlihat sangat tampan.
...~Next~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
Ani Supriadi
menarik nyai ceritannya
2024-09-02
0
Yusria Mumba
pasti lama2 suka, si bos,
2023-09-23
0
Harmony
wow
2023-05-12
0