"Apa yang kalian lihat?" tanya Chia, nada suaranya sedikit meninggi karena risih. Seolah semua mata di meja itu menusuknya. Teman-temannya buru-buru menunduk, menggelengkan kepala.
"Enggak lihat apa-apa kok, Chi," ujar salah satu dari mereka, suaranya terdengar canggung. "Cuma, kamu kelihatan… beda. Sedikit pucat, mungkin?"
"Akhir-akhir ini kamu baik-baik saja, kan? Enggak ada om-om iseng yang gangguin kamu lagi?" Pertanyaan itu meluncur bersamaan dengan tegukan minuman soda dari gelas masing-masing. Mereka tahu betul bagaimana paras Chia yang menawan seringkali menarik perhatian "om-om" bermobil mewah atau sugar daddy yang menawarkan tumpangan. Tapi Chia selalu menolak, tanpa gentar.
Bukan diteror, kalian salah besar. Aku justru sudah jadi istri om-om itu! gerutu Chia dalam hati, pahit. Senyum dipaksakan merekah di bibirnya. "Aku baik-baik saja, kok. Kalian ini ada-ada saja."
Senyum Chia, walau tipis, memiliki daya magis yang kuat. Seketika, para cowok di meja itu seperti tersengat listrik. Mata mereka terpaku, seolah panah asmara menembus jantung. Kharisma Chia, bahkan dalam keadaan lusuh pun, tetap mampu memabukkan. Namun, tentu saja, tidak semua yang hadir mengaguminya. Beberapa gadis menatapnya dengan pandangan iri dan kebencian.
"Cih, jujur saja kamu gelisah karena enggak sanggup lanjut kuliah, kan?" cemooh suara melengking dari meja sebelah. Itu gengnya Agnes. "Hahaha… miskin."
"Modal paras aja sok belagu. Enggak kayak Agnes, udah cantik, kaya raya, bukan anak yatim piatu pula. Calon mahasiswi lagi!" Mereka dengan bangga memuji Agnes, gadis yang duduk di tengah mereka. Agnes, sang primadona kedua di sekolah, berasal dari keluarga super kaya, tapi sayangnya, ia adalah definisi kesombongan, pelit, haus pujian, dan punya hobi berjudi.
"Hei, diam kalian! Jangan seenaknya menghina orang!" Susi, sahabat karib Chia, mendesis marah. "Ngaca dulu, tolol! Chia itu bukan cuma cantik, otaknya juga jenius! Nilainya jauh lebih tinggi dari kalian semua!"
"Sudah, Si. Jangan diladeni." Chia menenangkan Susi, yang memang terkenal gampang terpancing emosi. Berbeda dengan Chia yang harus mengerahkan seluruh kesabarannya untuk menahan kepalan tangan yang gatal ingin mendarat di wajah-wajah sombong itu.
"Betul. Ayo kita lanjut makan saja," sahut teman yang lain, mencoba mencairkan suasana.
Malam kelulusan itu berjalan lancar hingga akhir. Dari meja sebelah, Agnes dan gengnya bangkit, melenggang santai menuju sebuah bar. Sementara yang lain memilih pulang untuk beristirahat. Chia dan Susi memutuskan berjalan kaki, menikmati udara malam yang sedikit sejuk.
Tiba-tiba, sebuah mobil putih mewah menepi persis di samping mereka. Kaca jendela terbuka, menampilkan seringai Agnes. "Cieee… kok jalan kaki sih? Panggil sugar daddy kamu dong, hahahaha…." Tawa mengejek mereka memenuhi jalan.
"Kasihan, sang primadona nomor satu cuma bisa jalan kaki. Pasti malam ini enggak punya ongkos buat sewa taksi, upss, hahaha…." Mobil itu melaju, meninggalkan jejak tawa dan, tak lupa, sebuah kantong plastik bekas berisi sampah makanan yang dilemparkan tepat di kaki Chia.
"Woy, sini kalian, brengsek!" Susi berteriak, kakinya menendang kantong sampah itu dengan geram.
"Sudah, Si. Jangan emosi, kita abaikan saja mereka." Chia memungut kantong sampah itu, membuangnya ke tong sampah terdekat. "Lagipula, ini hari terakhirku di kota ini. Mereka dan aku tidak akan pernah bertemu lagi."
"Apa?! Maksudmu, kamu mau ninggalin aku?" Susi memegangi dadanya, detaknya terasa berdegup kencang.
Chia menghela napas kasar, lalu tersenyum tipis, seadanya. Hatinya mencelos meninggalkan sahabatnya satu-satunya ini, namun ia sadar, kehadirannya di sini hanya akan menyusahkan Susi. Apalagi statusnya yang baru… mustahil bisa ia ceritakan. Pergi adalah satu-satunya cara untuk menjaga rahasia itu.
"Maaf, Susi. Di kota lain sana, aku punya keluarga. Mereka memintaku ke sana dan menyuruhku lanjut kuliah di sana." Chia terpaksa berbohong, merasakan perihnya kebohongan itu. "Kamu enggak usah sedih begitu. Dan jangan coba-coba ikut, awas!" Ia mencubit hidung Susi gemas, mencoba meredakan raut wajah sedih sahabatnya.
"Huaaa… Chia!" Susi langsung memeluknya erat. "Seminggu lalu kamu bikin aku cemas setengah mati karena enggak ada kabar, tapi sekarang kamu malah mau pergi. Kamu bikin aku tambah sedih, tahu!"
Chia bergidik geli mendengar rengekan Susi. "Sudah deh, jangan lebay gini. Hubungan kita tetap lanjut kok. Jadi, pulang sana. Nanti aku hubungi kamu setelah sampai di sana. Oke?"
"Janji, ya! Hubungi aku kalau kamu tiba di sana."
"Ya, janji." Chia tersenyum. Susi membalas senyumnya, lalu melambaikan tangan sebelum naik ke dalam bis kota. Meninggalkan Chia sendirian di pinggir jalan.
"Arghh, dasar bego!" umpat Chia, masih terpaku di tempatnya.
Beg0 banget sih kamu, Chia! Susi adalah satu-satunya tempat kamu bergantung, tapi sekarang kamu melepaskannya begitu saja. Malam ini, aku mau ke mana? Sewa rumah kontrakan belum kubayar, listrik, air… semua belum. Aku harus bagaimana, Tuhan?
Chia mendongak ke atas. Setetes air dingin jatuh mengenai matanya, terasa pedih. Langit di atas sana sudah diselimuti awan hitam pekat. Tanda hujan deras tak lama lagi akan mengguyur kota metropolitan ini.
Apa aku… jual diri? Toh, aku sudah tidak perawan lagi, kan?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Mom Dian
Aduh jangan jual diri jual bunga online aja, kalau lo jual diri gak bisa bayangin lo selaris apa...ngeri deh
2023-01-09
3
Suky Anjalina
next
2023-01-01
0
sella surya amanda
lanjut
2023-01-01
1