Bertemu Ibu Kanaya

        "Syukurlah tidak ada hal yang serius," Kata Dimas. Tangannya makin erat menggenggam tangan Kanaya. Ada perasaan lega dan tenang dari raut wajahnya Dimas. Kanaya yang tidak terbiasa tangannya dipegang oleh seorang pria hanya bisa terdiam dan terlihat berusaha untuk tidak memberikan banyak pergerakkan karena takut mengusik Dimas yang terlihat begitu tenang menggenggam tangannya.

        "Kak Dimas," panggil Kanaya.

        "Heum?" jawabnya masih dengan wajah yang menenangkan.

        "Aku boleh minta tolong?"

        "Boleh." jawabnya tanpa ragu sedikitpun, padahal dia tidak tahu apa yang akan Kanaya minta darinya.

        "Serius boleh?" Kanaya terlihat masih tidak terbiasa dengan sikap orang lain yang begitu leluasa mengabulkan permintaan tolongnya. Apalagi Dimas yang menunjukkan penuh perhatian padanya. Padahal Dimas yang Kanaya kenal pasti akan bilang, "Memangnya siapa lo berani minta tolong sama gue?" Jika Kanaya ingat saat dia terkena lemparan bola basket dari Dimas dan terjatuh, Kanaya tidak melihat Dimas yang khawatir atau merasa bersalah padanya. Dia hanya menjadi penonton Kanaya yang terjatuh pingsan karena ulahnya.

        "Apa pun kalau kamu yang minta tolong, pasti aku tolongin lah," jawab Dimas. "Lagian tumben nanya dulu kalau mau minta tolong?" lanjut Dimas. Kanaya sempat tertegun karena semua hal yang dia terima dari Dimas benar-benar bukan sesuatu yang mudah Kanaya dapatkan dari orang lain. Tetapi walau begitu Kanaya merasa bahwa Dimas sedikit alay karena memberikan jawaban seperti itu, alhasil dia hanya bisa cengengesan lalu bilang, "Boleh cariin aku kalender cetak nggak kak?"

        Dimas mengerutkan keningnya, lalu bilang, "Perasaan kamu udah lihat kalender di handphone aku. Ehmm dasar, akal-akalan nih mau cek ponsel pacarnya. Nggak ada apa-apa di ponsel aku Nay. Message cewek yang aku ladenin tuh cuman message dari kamu doang." Mendengar itu pipi Kanaya memerah, bagaimanapun Kanaya bukan seorang gadis yang pernah mendapat ucapan seperti itu dari seorang pria dan saat bisa merasakannya secara langsung hati Kanaya juga bisa berdebar karenanya. Padahal sebelumnya dia tidak pernah seperti ini ketika sedang di gombalin pria. Lebih tepatnya dia akan bodo amat dan menghindar. Mungkin berbeda karena dia mendapatkannya dari Dimas.

        "Bukan gitu kok. Ya udah nggak jadi! Nggak usah dicariin kalendernya." Kanaya menghadapkan tubuhnya ke depan seperti sedang mengakhiri pembicaraannya dengan Dimas. Dimas yang melihat itu tampak tersenyum gemas. "Yeyyh ngambek, iya aku cariin."

        "Nggak papa kak, nggak usah."

        "Eiyy jangan ngambek gitu dong."

        "Aku nggak ngambek. Serius nggak jadi kok."

        "Beneran?"

        Kanaya mengangguk. Lalu dia teringat kalau sejak bangun dari pingsan Kanaya belum mengecek ponselnya.

        "Oh iya kak, ponsel aku dimana yah?"

        Dimas terlihat kaget mendapat pertanyaan itu dari Kanaya, "Kamu punya ponsel? Bukannya kamu belum punya ponsel karena orang tua kamu kesulitan buat biaya hidup sehari-hari keluarga kalian? Kamu juga nggak nerima ponsel yang pernah aku kasih kan?"

        "Aku nggak punya ponsel?" tanya Kanaya malah ikut bingung. Kanaya mulai teringat kalau saat kelas satu SMA memang dirinya belum mempunyai ponsel. Salah satu alasannya adalah apa yang dibilang Dimas barusan. "Jadi ini bener-bener tahun 2016?"

        "Maksud kamu apa sih Nay, dari tadi perasaan omongan kamu aneh-aneh. Kamu punya handphone yang kamu sembunyikan dari aku?"

        "Kak Dimas,,, kayaknya kepala aku pusing lagi deh."

        "Mau aku panggilin dokter?" tanya Dimas yang dengan mudahnya bisa teralihkan perhatiannya dari hal yang dia curigai barusan kepada Kanaya.

        Kanaya menggeleng, "Sepertinya ada ingatanku yang hilang sebagian. Mungkin ini efek kejedot pintu. Mungkin terlalu keras. Dari tadi aku terus-terusan lihat momen dimana kita lagi jalan berdua di taman, makan ice cream, main basket di fun city, main 4D game, padahal aku ngerasa aku nggak punya moment itu."

        Dimas tersenyum, "Nggak papah, nanti kita bikin momen manis itu lagi walaupun ada momen kebersamaan kita yang mungkin hilang dari ingatan kamu."

        "Aku bahkan nggak percaya kalau aku adalah pacar kak Dimas apalagi waktu tahu kita udah pacaran tiga bulan."

        "Aku juga masih nggak percaya bisa jatuh cinta sama kamu di hari pertama kita bertemu."

        "Cinta pandangan pertama?"

        "Aku lebih nggak percaya karena kamu punya perasaan yang sama."

        "Kayaknya suatu keajaiban karena aku bisa jadi pacar kak Dimas. Tapi kak, kayaknya ada satu kenangan buruk di ingatan aku."

        "Ingatan apa?"

        "Kayaknya aku pernah di bully dan yang nolongin aku itu kak Dimas."

        "Oh itu,, kamu bukan dibully, kamu cuman pernah berantem sama Diandri karena waktu itu kita terpublikasi udah pacaran dan Diandri marah besar. Diandri ngira kalau aku juga suka sama dia karena aku sama dia udah temenan dari kecil dan aku sama dia itu udah akrab banget. Kayak adik sama kakak. Diandri sama dua sahabatnya melabrak kamu dan sempet main fisik ke kamu."

        "Oh gitu."

        (KANAYA POV: Padahal kak Diandri yang aku kenal dulu adalah senior yang baik. Kenapa kisahku di masa lalu berubah terlalu jauh seperti ini?)

        "Aku minta maaf yah Nay, mungkin karena itu ingatan kamu ada yang hilang. Aku nggak tahu kalau pertengkaran itu efeknya bisa sampai segitunya ke kamu."

        "No, no, bukan salah kak Dimas ko. Oh iya, terus tadi aku denger kak Dimas lagi ada pertandingan basket yang kak Dimas tinggalin, terus gimana?"

        "Yah, gimana? Habisnya aku takut terjadi apa-apa sama kamu. Lagian aku ikut pertandingan itu kan karena pengen jadi kebanggaannya kamu. Kalau aku tetep disana padahal kamu lagi sakit artinya aku gagal juga buat menuhin janji aku biar bisa selalu ada disisimu ketika kamu membutuhkan kehadiran aku."

        "Kak Dimas,,, aku pengen nangis dengernya."

        Dimas mengelus puncak kepala Kanaya, "Ini belum seberapa dengan apa yang udah kamu lakukan buat aku Nay." Kanaya tidak tahu apa yang dilakukan dirinya kepada Dimas. Namun Kanaya bahagia bisa mendapat kasih sayang dari Dimas sebesar ini.

        Jam empat sore, Kanaya sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Dimas mengantar kekasihnya itu, dia memarkirkan mobilnya di SPBU yang dekat dengan rumah Kanaya. Karena rumah Kanaya harus masuk lagi ke dalam gang yang tidak bisa dimasuki oleh mobil. Namun itu bukan berarti membuat Dimas hanya mengantar Kanaya sampai depan gang. Walaupun Dimas terlihat dari keluarga berada dia tampak tidak masalah mengantar ke rumah Kanaya yang berada dilingkungan biasa atau mungkin tidak se elit lingkungan rumahnya.

        Dengan telaten Dimas membukakan pintu mobil untuk Kanaya dan memapah Kanaya berjalan sampai ke rumahnya. Rumah Kanaya yang dulu adalah rumah sederhana dengan warung kecil didepan yang dijalankan oleh ibunya. Sementara itu ayahnya jam segini masih berada di perjalanan karena ayahnya bekerja cukup jauh dari domisili rumahnya. Kanaya mengulas senyumnya karena bisa melihat kondisi rumahnya yang dulu. Masa-masa SMA memang moment yang paling menenangkan dalam hidupnya.

        Kanaya masuk ke rumah ditemani Dimas dengan wajah berbunga-bunga. Dia tidak peduli lagi sekalipun dia kembali ke masa lalu. Atau melihat kamarnya yang masih bergabung dengan kakak perempuan dan juga adik perempuannya. Yang jelas semua yang dia rasakan hari ini sangatlah menyenangkan. Bertemu dengan orang-orang yang pernah dia kagumi serta diperhatikan oleh mereka dan juga bisa menjadi pacar Dimas adalah sesuatu yang selama ini merasa sangat mustahil Kanaya dapatkan. Kanaya merasa bahwa dirinya telah ditarik dari dunia yang menyedihkan ke dalam surga.

        Sang ibu menyambut kehadiran putrinya itu yang terlihat sangat lemah, "Kamu kenapa Nay?" tanya sang ibu khawatir. Dia menggandeng putrinya dan membawanya duduk di sofa. Tak lupa menawarkan duduk kepada Dimas. Sang ibu menatap Dimas, "Kamu temannya Kanaya yah? Terima kasih sudah mengantar Kanaya pulang," ucap ibunya Kanaya yang sepertinya tidak tahu kalau Dimas adalah pacarnya Kanaya.

        Dimas mengangguk, "Karena Kanaya sudah bersama ibu, saya pamit pulang," izin Dimas.

        "Oh buru-buru yah, yaudah hati-hati dijalan. Sekali lagi terima kasih sudah mengantar Kanaya pulang."

        "Sama-sama, sudah jadi kewajiban saya sebagai kekasihnya Kanaya."

        Ibunya Kanaya terlihat kaget, selama ini putrinya itu sangat tertutup apalagi pada orang lain. Dia sama sekali tidak menyangka akan ada seorang pria yang mengaku sebagai kekasih dari putrinya itu. Sama halnya dengan Kanaya, dia juga tidak menyangka Dimas akan mengatakan hal itu kepada ibunya. Semuanya tentang hubungan seperti pacaran di perlakukan seperti ini oleh seorang pria yang menjadi pacarnya adalah pertama kalinya bagi Kanaya.

        "Anak ini pacar kamu Kanaya?"

        Kanaya menghadap ibunya, walaupun Kanaya masih sama-sama ragu dia mengangguk. Berdasarkan apa yang telah terjadi selama satu hari ini begitulah adanya. Dimas adalah pacarnya yang mencintainya penuh kasih sayang.

        "Istirahat yah Nay, aku pulang dulu. Ibu, saya pamit."

        Keduanya mengangguk, "Mau ibu antar sampai depan?"

        "Tidak perlu bu, Kanaya membutuhkan ibu."

        Ibunya Kanaya memberi kode setuju. Dimas pun pergi dari rumahnya Kanaya.

        "Sejak kapan kamu punya pacar?"

        "Katanya udah tiga bulan."

        "HAH Katanya?" ucap sang ibu tidak habis pikir dengan anaknya yang bisa tidak tahu pasti kapan dia pacaran. Padahal hari jadi pasangan adalah suatu hal yang biasanya lebih mudah diingat oleh perempuan. Tapi melihat anaknya yang juga memasang wajah bingung akhirnya sang ibu tidak mengatakan banyak hal lagi. Beliau segera mengajak Kanaya ke kamar agar Kanaya bisa istirahat.

TO BE CONTINUED

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!