Malam itu, banyak suara masuk ke telinga Chery, seakan berlomba siapa yang paling keras dialah juaranya. Chery hanya bisa menangis lalu sesekali tertawa seakan ada yang merasa lucu.
Aroma macam obat juga tak lupa ikut mendorong sifatnya lebih gila, kepalanya tak lepas dari pandangan segerombolan orang-orang yang kini berada di depannya. Tak jauh. Sungguh! Itu hanya berjarak beberapa meter darinya berdiri tak tegap saat ini.
Tubuhnya membentur tembok dengan cat khas putihnya tersebut. Ingin rasanya berteriak lalu memaki seseorang yang kini tengah berjuang di atas ranjang.
"Arsen brengsek! Gue nggak akan nerima cinta lo, kalo lo mati sekarang!" gumaman yang terus ia panjatkan. Alih-alih doanya untuk seseorang yang sedari tadi ia pandang dengan nanar lagi kesal.
"Dokter, bukankah pasien memerlukan operasi, jika tidak--"
"Dia akan mengalami serangan jantung dan operasi akan jadi terlambat. Iya aku tahu, tapi kondisinya saat ini juga tidak memungkinkan."
Saat ini, Arsena Cloude. Ya, anak sulung dari salah satu keluarga ternama tengah sekarat. Beberapa menit lalu, dia mengalami kecelakaan mobil, sampai membuatnya dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan.
Tit ... Tit ... Tit ....
Tubuh Arsen mengejang saat suara monitor semakin cepat, membuat semua orang yang mengelilinginya semakin sibuk, tak terkecuali Chery yang kini menghentikan tangisnya, dan memberanikan diri untuk maju selangkah.
Dilihatnya Arsen yang sudah tak karuan rupanya. Lagi-lagi darah terus mengalir dari kepalanya yang semenjak tadi sudah diseka oleh perawat, tubuhnya banjir akan darah, bajunya sobek sana-sini. Benar-benar minus dari dirinya yang dulu. Seorang CEO muda yang tampan dan rapih.
Arsen begitu kesulitan bernapas, padahal hidung dan mulutnya sudah dipasangi oksigen untuknya bernapas, matanya berkedap-kedip, air matanya mengalir. Seperti ia sedang mencari seseorang untuk dikatakan sesuatu.
Saat kedua kalinya jantung Arsen dipacu oleh alat kedokteran, monitor yang berada di samping Arsen kembali berbunyi seperti semula. Tidak terlalu cepat seperti tadi, namun napas Arsen masih memburu. Disaat salah satu perawat hendak kembali memasangkan alat bantu pernapasan Arsen yang terlepas saat jantungnya dipacu tadi. Saat itu juga Arsen mencengkeram erat tangan perawat tersebut.
Mata Arsen tak luput dari air matanya yang telah memerah bercampur darah, membuat perawat tersebut kebingungan takut, lalu menatap dokter meminta penjelasan.
Sang Dokter hanya menganggukan kepalanya kecil, lalu perawat tersebut memilih untuk menarik tangannya, lantas perawat tersebut memandang Chery yang masih menangis sesenggukan di belakang sana. "Nona kemarilah ...."
Chery mulai mendekat dengan langkahnya yang ragu. Sungguh tangisannya belum mereda sama sekali, "Arsen ...," panggilnya saat dirinya tepat berada di titik temu netranya dengan Arsen.
Pernapasan Arsen mulai normal saat tangannya yang dirasakan sudah mati rasa disentuh oleh Chery, namun saat itu juga pernapasan Arsen semakin melemah, bahkan monitor di samping ranjangnya kembali berirama cepat. Kedua mata Arsen hampir padam. Arsen juga merasakan kalau tubuhnya mulai mendingin. Kedua tangannya tanpa permisi menarik tangan Chery, menubruki tubuhnya yang penuh darah, lalu membisikan sesuatu, membuat kedua Chery membelalak kaget setelah mendengarnya.
Tittt ....
Kedua mata Arsen benar-benar telah rapat, napasnya juga terhenti, dan dingin tubuh Arsen ikut memenuhi suhu tubuh Chery yang berada di atasnya.
Chery bangkit dari posisinya, dia mengusap kedua matanya lalu tersenyum paksa sambil mengangguk-anggukan kepalanya pasti. Dia pun berjalan mundur, membiarkan Dokter dan perawat kembali memperjuangkan nyawa Arsen yang kesekian kalinya.
Jantung Arsen kembali dipacu, bahkan setelah yang ketiganya, Dokter melakukan CPR, bergantian pula dengan perawat. Chery kembali menangis, ketika mengingat perkataan Arsen sebelum lelaki itu menutup rapat matanya.
Berbeda dengan Chery, seorang lelaki yang berada di balik pintu justru tersenyum bahagia melihat kepergian Arsen. Lelaki itu berbalik, lalu menggiring langkahnya untuk meninggalkan bangunan serba putih tersebut.
"Lagian lo nyebelin sih, Sen. Mati, kan, lo!"
Lelaki itu pun berlalu setelah merasa puas melihat kepergian sepupunya tersebut.
Arsen telah pergi.
Chery masih membisu di depan sosok yang amat mirip dengan Arsen-nya.
Sosok yang kini terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit.
Ya, bisa dibilang, dia salah satu korban kecelakaan mobil yang menimpa Arsen hari ini.
Chery masih ingat betul bagaimana kejadian tersebut. Beruntungnya, sosok yang amat mirip dengan Arsen-nya ini mendapati luka cukup parah, namun tidak membahayakan. Berbeda dengan Arsen-nya yang mengalami luka hampir sekujur tubuh. Bahkan Arsen baru saja dinyatakan meninggal. Namun dengan nama lain, bukan dengan nama Arsena Cloude, melainkan nama yang masih asing di telinga Chery.
Saat itu, seorang anak lari di tengah jalanan untuk mengambil bolanya yang terlempar. Arsen hampir saja menabrak anak itu, kalau saja Sandi--orang yang mirip dengan Arsen--ini tidak cepat mengangkat anak tersebut dan memeluknya erat. Setelah menabrak, sebuah mobil truk tiba-tiba saja berada di lintas depan mobil Arsen, tentu saja Arsen langsung banting stir dan mengerem. Namun, remnya tiba-tiba menjadi blong, dan mobilnya ditabrak dari dua arah. Sisi kanan dan kirinya, karena kecelakaan itu terjadi di perempatan jalan yang cukup sepi.
Tak ada korban jiwa selain Arsen. Beruntung anak kecil tersebut hanya mengalami luka ringan, dan keluarganya pun sudah dapat kompensasi dari Chery dan kakaknya yang mengurusi kecelakaan hari ini.
Perlahan namun pasti, lelaki bernama Sandi itu mulai membukakan kedua matanya.
Kepalanya terasa masih sangat pusing, ditambah lagi aroma nyentrik dari obat-obatan cukup membuatnya terasa mual, dan hal pertama yang ia lihat adalah wanita cantik yang menatapnya sendu.
Sandi pikir, dia sudah berada di surga saat ini.
Namun ia lihat, kalau tangannya tertancap jarum infus, dan meraba hidungnya yang dililiti oksigen.
Ah, ternyata dia masih hidup.
"Nama lo hari ini Arsena Cloude. Buang nama asli, lo!" cetus Chery yang masa bodoh membuat Sandi makin pening.
Lelaki ini bahkan belum menyiapkan mental untuk sekedar bertanya. Siapa wanita yang ada di hapdannya ini? Tetapi langsung dihujani kalimat yang menurutnya sangat ambigu itu.
Sandi ingin bersuara, namun rasanya tenggorokannya juga terasa perih. Mungkin efek obat atau karena dia cukup haus saat ini.
Sandi terbatuk sebentar, lalu meremat kepalanya yang terbalut perban perlahan. "Maaf, saya kurang paham apa maksud dari perkataan Mbanya ini,"
"Utang-utang lo yang ada di kampung halaman lo udah gue lunasin. Adek lo juga udah gue cariin pendonor, dan udah mulai ikutin prosedur pencakokan mata," Chery mulai bangkit, masih menatap Sandi yang makin dibuat pusing.
Tahu dari mana kalau Sandi punya banyak hutang di kampung halamannya?
Tahu dari mana kalau adiknya membutuhkan operasi mata?
Iya. Benar. Sandi merantau ke Kota agar bisa mendapatkan hasil yang lebih besar daripada pekerjaannya yang ada di desanya.
"Dan inget, lo juga salah satu orang yang buat Arsen mati. Jadi, lo juga harus tanggung jawab." Final Chery lalu pergi meninggalkan ruangan berbau obat tersebut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments