Bab 3

"Ini tentang orangtua kandungmu"

Gerald diam terpaku. Dia tidak bisa melanjutkan tulisannya saking terkejutnya. Apakah dia peduli? Tentu saja tidak. Dia tidak pernah berniat untuk mencari orangtua kandungnya. Lalu, kenapa dia diam terpaku? Karena dia baru sadar kalau dia menulis dengan pulpen merah.

"No!!!! Aku menulis namaku dengan tinta merah!!" erang Gerald.

Katarine berusaha menahan amarahnya dengan menutup mata. Bukan sekali dua kali Gerald bertingkah seperti ini, namun setiap kali dia melakukannya membuat Katarine kesal dan tak dapat menahan amarah.

"Dengar Gerald, ini sangat lah penting..."

"Yah, tidak sepenting aku akan menjadi gelandangan setelah dibuang oleh keluargaku," potong Gerald acuh tak acuh. Pemuda itu masih sibuk menghapus tulisannya yang bertinta merah.

Katarine menghela nafasnya panjang. Dia begitu berusaha untuk tetap tenang dan tidak berteriak. Dia mengalihkan pikirannya dengan memikirkan sebentar lagi pemuda dihadapannya akan pergi.

"Aku tidak bisa bilang langsung siapa orangtuamu, tapi mereka menitipkan ini"

Katarine memberikan sebuah kalung unik yang berliontinkan ukiran matahari yang terbelah.

"Liontinnya unik, tapi aku tidak peduli"

Gerald kembali fokus pada formulir pendaftarannya. Yup, pemuda itu sungguh tidak peduli. Dia hanya memikirkan dirinya sendiri. Jangan dicontoh ya~

"Bawa kalung ini, simpan baik-baik. Jangan sampai hilang, dicuri atau apa pun itu," ucap Katarine.

"Jangan juga dijual."

Gerald menutup mulutnya kembali setelah Katarine melanjutkan ucapannya.

"Memangnya buat apa kalung ini? Aku tidak mau kalau tidak berguna bagiku," ucap Gerald sembari memasukkan formulir yang sudah selesai dia isi ke dalam amplop coklat lagi.

"Hmmm~ini berguna untukmu. Dia bisa melindungimu dari bahaya."

Tanpa basa-basi, Gerald langsung mengambil kalung itu dan memakainya sebagai gelang. Katarine yang melihat itu berdecak kesal dan menatap tajam pemuda berambut coklat itu.

"Jangan sampai orang melihat liontin itu," ucap Katarine agak sedikit kesal.

"Memangnya kenapa? Liontin ini terbuat dari emas?" tanya Gerald sedikit tertawa.

Namun, dengan santainya Katarine menjawab, "Ya, kalung itu mengandung emas 27 karat."

Gerald terdiam. Dia menatap ibunya dalam-dalam. Mencoba memastikan perkataan ibunya. Katarine terlihat sedang tidak bercanda. Dia begitu percaya diri.

Gerald berbalik dalam diam dan mencoba pergi dari ruangan itu. Bisa kalian tebak dia berpikiran apa? Ya, dia mau menjual kalung itu.

Tentu saja, Katarine sudah hapal dengan tingkah anaknya. Wanita itu langsung mengunci pintu menggunakan sihirnya yang berbentuk kawat besi dengan cara membuatnya seperti kurungan.

"Ehem~aku sudah bilang jangan dijual, anakku sayang"

Gerald mengalihkan pandangannya. Dia berusaha untuk tidak bertatapan dengan ibunya yang sedang marah.

Kali ini amarah Katarine benar-benar memuncak. Dia mencengkram pundak anaknya dengan sangat keras dan.....

Adegan selanjutnya berbentuk kekerasan kepada anak dan tidak pantas untuk dijabarkan. Pilihan bijak👍🏻

...****************...

Dalam dunia sihir, sangat lumrah bagi orangtua untuk memasukkan anaknya ke sekolah sihir. Selain membantu mereka memahami kekuatan mereka, sekolah sihir juga membantu mereka mengasah kekuatannya masing-masing.

Di Mantauna sendiri, disetiap bagian dari negri setidaknya memiliki 3 atau 5 sekolah sihir.

Salah satunya adalah Alphrolone. Bertempat di kota Selene, East Mantauna. Sekolah sihir terbaik yang masuk peringkat kedua se-Mantauna.

Tentu saja semua orang akan sangat bangga jika bisa bersekolah disana. Apalagi rumornya mengatakan kalau ujian masuknya sangatlah sulit.

Setiap tahunnya ada sekitar 2.000 orang yang mendaftar disana, namun yang diterima hanyalah sepertiganya. Bersyukurlah orang-orang yang bisa masuk kesana walaupun hampir tersingkir.

Gerald melangkahkan kakinya tak tahu arah. Dengan menggendong tas yang berwarna sama dengan rambutnya, pemuda itu berkeliling di sekolah Alphrolone untuk mencari tempat pendaftaran.

Sudah sekitar 30 menitan dia berkeliling di tempat yang sama. Apakah kebetulan? Jelas bukan, Gerald saja yang buta arah. Asal kalian tahu saja, tempat pendaftaran tepat berada didepannya sekarang. Bahkan senior yang menjaga pos pendaftaran pun menjadi bingung melihatnya.

"Anu, apa kau mau mendaftar?" tanya senior itu. Tampaknya dia sudah jengah melihat Gerald yang berjalan mondar-mandir didepannya.

"Ah, apakah disini tempatnya? Maaf, sepertinya aku tersesat"

Tidak Gerald, kau hanya mondar mandir disana.

Senior itu pun hanya bisa tertawa canggung, tidak tahu harus membalas apa.

"Silahkan taruh berkasnya disini. Apakah kau butuh tempat tinggal selama ujian masuk? Kami menyediakan fasilitas hostel untuk para pendaftar yang rumahnya jauh selama ujian berlangsung."

"Hmm~ maaf, tapi aku tidak punya uang," ucap Gerald diselingi tawa canggung.

Sebelum datang, sebenarnya Gerald diberi uang sangu oleh ibunya. Namun itu hanyalah cukup untuk kehidupan sehari-harinya. Dia terlalu pelit untuk mengeluarkan uang itu untuk tempat menginap.

"Oh, tidak apa. Sekolah yang menanggung semuanya. Fasilitas hostel semua gratis. Kamu hanya perlu membeli makanan dan keperluan lainnya. Kalau uangmu tidak cukup juga, kami menawarkan pekerjaan ringan di dalam sekolah, seperti membantu senior dan guru di sekolah sihir Alphrolone," jelas senior itu dengan nada yang sangat ramah di telinga Gerald.

Mendengar itu, mata Gerald langsung berbinar-binar. Dia berpikir kalau sekolah ini benar-benar baik pada calon muridnya.

"Kalau aku diterima disini apa aku juga mendapat pelayanan seperti ini?" gumam Gerald.

"Aku akan mengambil fasilitas hostelnya," kata pemuda itu dengan senang hati.

"Baik, silahkan ikuti kakak itu dan taruhlah barang-barangmu di kamar. Setelah itu silahkan pergi ke aula sekolah."

Gerald melangkahkan kakinya mengikuti seorang senior laki-laki berambut hitam. Senior itu cukup kecil dibandingkan Gerald, namun dia memiliki karisma yang membuat pemuda itu berdecak kagum.

Tapi tunggu dulu, situasi ini terlihat familiar. Dimana Gerald pernah melihatnya ya?

"Ah!!" pekiknya.

"Kenapa? Apa ada sesuatu?"

Gerald menggelengkan kepalanya menjawab pertanyaan senior itu. Tidak mungkin kan dia mengadu pada senior itu kalau alasannya berteriak adalah karena teringat drama konyol yang dia tonton. Tapi mau bagaimana lagi? Situasinya betul-betul mirip dengan di drama.

"Apa nanti disana juga ada dokter yang menungguku?"

Gerald mulai bertingkah aneh. Sepanjang jalan dia merasa ketakutan. Bahkan seluruh tubuhnya bergetar hebat. Dia takut dia akan dijadikan 'wadah' seperti yang ada di drama, walaupun dia tak tahu apa artinya.

"Ini adalah kamarmu. Sepertinya sudah ada 3 orang lain yang menempati kamar ini," ucap senior menunjukkan kamar Gerald.

Gerald terdiam di tempat. Matanya menyipit. Dahinya bercucuran keringat dingin. Tangannya bergetar hebat dan ragu untuk membuka pintu itu.

"Apa kau baik-baik saja? Biar aku saja yang buka."

"JANGAN!!" Teriak Gerald sembari menutup matanya ketakutan.

Pintu terbuka dan memperlihatkan tiga orang pemuda yang tampan tengah menatap heran Gerald. Begitu juga dengan sang senior. Dia menatap aneh kearah Gerald. Bisa dibilang dia khawatir sekaligus merasa kasihan. Dia berpikir apakah Gerald mempunyai penyakit mental sehingga berteriak seperti itu.

Gerald mengintip dibalik jari jemarinya. Pemuda itu hanya bisa melayangkan senyum canggung ketika mengerti situasinya. Dia benar-benar malu sekarang. Kenapa juga dia menonton drama konyol itu dan mempermalukan diri sendiri.

"Baiklah, kalau tidak ada masalah lain, kau bisa masuk dan mengenal teman-temanmu. Setelah itu tolong pergi ke aula sekolah. Kepala sekolah akan menjelaskan tata cara ujian masuknya."

Senior itu pergi meninggalkan Gerald yang tampak canggung sendiri.

"Hai, senang bertemu denganmu. Namaku adalah Emil Breau, panggil saja Emil."

Salah seorang dari tiga pemuda itu mengulurkan tangannya. Gerald menyambut uluran tangan itu, namun pandangannya terpaku pada warna rambut Emil yang sangat tidak biasa.

"Ah, warna rambutku memang sedikit nyentrik, tapi tidak perlu takut kalah populer dariku. Kau hanya perlu terlahir kembali untuk menjadi sepertiku."

"Ha?"

Gerald cukup kaget dengan kepercayaan diri Emil yang begitu tinggi. Ternyata selain dirinya, ada orang yang lebih aneh. Namun dia tidak masalah dengan itu. Dia tidak akan dicap aneh kalau bersama Emil. Kenapa? Karena mereka berdua sama-sama aneh.

"Yang memakai kacamata itu namanya Mage, dan yang berwajah seram itu namanya Ladon," ucap Emil mengenalkan dua pemuda lainnya.

Seorang pemuda mungil berambut hitam berkacamata, serta pemuda bertubuh besar dengan wajah sangarnya menundukkan kepalanya menyapa Gerald.

Sebenarnya Gerald cukup takut menatap pemuda yang bernama Ladon itu. Perawakannya tampak tak ramah dan tak bersahabat. Dia seperti ingin menghajar habis-habisan orang yang ditatapnya.

'Apa cuma aku?' pikir Gerald.

Ya, itu cuma pikiran Gerald saja. Nyatanya, Ladon sangatlah ramah. Lihat saja, dia berbicara dengan santainya dengan Mage. Kau hanya terlalu overthinking.

"Ah, kita lanjutkan ceritanya di jalan saja. Sekarang kita harus ke aula sekolah," ajak Emil.

Mereka berempat melangkahkan kaki mereka keluar kamar dan pergi menuju aula sekolah. Sebenarnya mereka sama-sama tidak mengenal betul sekolah itu. Untung saja ada tanda panah sihir yang menuntun para pendaftar dari hostel menuju aula.

Syukurlah, Gerald tidak akan tersesat lagi.

Saat hampir sampai ke aula sekolah, Gerald melihat sesosok yang tampak familiar baginya. Seorang pria dewasa dengan penutup mata di mata kanannya.

Awalnya Gerald mengira itu hanyalah orang yang mirip saja. Namun, semakin dekat pria itu, semakin jelas wajahnya.

Gerald terpaku di tempat sembari membuka mulutnya lebar saking kagetnya.

"Paman?"

Terpopuler

Comments

new_nyun

new_nyun

author yang baik 🤣🤣🤣🤣

2023-04-02

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!