"Paman??!!"
Gerald sangat terkejut. Dia tidak pernah diberitahu oleh orangtuanya kalau pamannya ada di sekolah ini.
Pamannya Gerald menatap pemuda itu dengan tatapan jengah. Dia merasa dirinya sedang tidak beruntung dengan teramat sangat. Bertemu dengan keluarga di tempat kerja, sungguh sangat menyebalkan.
"Hei bocah, kenapa kau ada disini? Bukankah kau sekolah di rumah?"
Pamannya Gerald menunjuknya sembari memasang wajah kesal.
"Ini bukan mauku aku dikirim ayah kesini," jawab Gerald dengan tangan disilangkannya didepan dada.
Pamannya Gerald mengerutkan keningnya. Berusaha mencerna perkataan keponakannya itu. Senyuman langsung terlukis di wajahnya begitu dia mengerti maksud perkataan Gerald.
"Ah~kau diusir dari rumah ya? Hahahaha~ aku tahu itu bakal terjadi padamu"
Gerald mengepalkan tangannya kesal mendengar tawa bahagia pamannya itu. Dia memang selalu saja bertengkar dengan pamannya yang satu ini. Tidak pernah akur.
"Sudahlah, nanti saja bicaranya, walau aku tidak mau lagi bicara denganmu. Sekarang masuk sana ke aula. Ku doakan kau tereleminasi di ujian nanti. Supaya jadi gelandangan selamanya. Hahahaha~"
Tawa dari pamannya Gerald bergema dan begitu keras sehingga membuat siswa yang berlalu-lalang tersentak kaget mendengarnya.
Sebenarnya Gerald cukup kesal melihat itu, namun dia tidak bisa membiarkan doa pamannya menjadi kenyataan. Dia akan membuktikan pada pria tua itu kalau dia tidak akan menjadi gelandangan dan diterima di Alphrolone.
Saat dia berbalik, Gerald melihat ketiga teman sekamarnya itu menatapnya dengan tatapan terkejut.
"Pamanmu adalah Arnold Fruinder?" tanya Emil.
Gerald menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal dan mengangguk kesal. Dalam hati, dia memaki pamannya itu karena terkenal di kalangan anak muda dengan title 'Pria tampan penyelamat kota'.
Dulu, Arnold Fruinder pernah menolong satu kota dari serangan seekor Beast yang mengamuk dengan menggunakan pedang kayu.
Awalnya, Arnold hanya berjalan di sekitar kota itu. Namun, tiba-tiba seekor Beast muncul di tempat anak-anak yang sedang berlatih ilmu pedang. Bahkan, dia bisa mengalahkan seekor Beast yang tingginya 5 kali lebih besar darinya dengan sekali tebasan tanpa menggunakan sihir.
"Dia menyebalkan," gumam Gerald.
Pemuda itu segera mengajak teman-temannya masuk ke aula dan menghiraukan pujian mereka pada pamannya.
Suasana di aula sangatlah berisik. Ribuan calon siswa sibuk bersosialisasi dengan yang lain. Adapun yang hanya berdiam diri sembari memperhatikan sekitar, seakan berhati-hati pada pesaing yang lain.
"Mereka cukup menyeramkan. Apa mereka benar-benar seumuran kita?" ucap Gerald setelah melihat beberapa calon siswa yang berwajah seram dan penuh otot.
"Beberapa dari mereka ada yang mengandalkan kekuatan fisik untuk mendaftar," jelas Mage.
Gerald mengernyit bingung. Dia tidak mengerti.
"Biasanya, sekolah membolehkan empat sampai enam orang yang memiliki kekuatan fisik untuk masuk dan belajar disini. Tentu saja dalam kategori senjata."
Gerald makin bingung dengan penjelasan Mage. Walaupun begitu, mereka tidak memiliki sihir. Apa masih bisa belajar dengan penyihir yang lain? Yang mungkin lebih hebat dari mereka?
"Tentu saja, keberadaan mereka disini cukup terbelakang. Tidak sedikit yang menyerah karena diskriminasi disini. Kau tahu, anak muda cukup mengerikan jika menemukan seseorang yang lebih lemah dari mereka," lanjut Mage.
Oh~sekarang Gerald mengerti. Sekolah terkesan mencoba menghargai usaha para siswanya tanpa diskriminasi, tapi malah menjadi tantangan bagi orang yang tidak memiliki sihir. Sungguh menyebalkan.
Dari dulu Gerald tidak pernah suka hal yang seperti ini. Walaupun dia cukup egois dan tidak pedulian, jika menyangkut hal seperti ini dia akan maju paling depan untuk membela.
Pemuda itu yakin kalau tidak ada orang yang lemah. Adanya hanyalah orang yang mudah menyerah dan tak mau berusaha.
"Para calon siswa silahkan berkumpul, kepala sekolah akan segera tiba."
Seorang senior dengan rambut hitam panjangnya yang diikat berdiri di tengah panggung aula. Semua calon murid terdiam dan berhambur mendekati panggung itu.
Tak lama, seorang pria tampan dengan otot yang memenuhi badannya berjalan menaiki panggung. Perawakannya cukup menyeramkan, namun penuh karisma.
"Selamat pagi anak-anak. Selamat datang di sekolah Alphrolone. Saya, Eden Bricht, selaku kepala sekolah akan memberitahukan tata cara ujian yang diadakan besok."
Semua orang yang berada di aula mulai bergumuruh.
"Harap tenang," ucap salah satu senior.
Suasana di aula kembali tenang. Gerald melihat ke sekeliling. Pemuda itu memperhatikan semua calon siswa yang tampak kuat. Namun, pandangannya terhenti begitu melihat sesuatu yang sangat unik.
"Baiklah. Seperti yang kalian tahu, setiap tahunnya Alphrolone mengadakan 2 ujian di hari yang sama. Ujian untuk murid yang memiliki sihir dan murid yang tidak memiliki sihir dibedakan tempatnya. Namun, kali ini akan berbeda"
Suasana kembali bergemuruh. Beberapa orang diantara mereka mulai cemas karena dapat menerka maksud dari kepala sekolah.
"Tahun ini, dengan maksud menguji kemampuan calon murid sekolah sihir Alphrolone, ujian masuk yang diadakan hanya ada satu. Artinya, murid yang tidak memiliki sihir akan melawan murid yang memiliki sihir dalam pertarungan satu lawan satu."
Para calon murid mulai ribut. Bagi mereka yang tidak memiliki sihir, ini bukanlah hal yang menguntungkan bagi mereka. Mereka bisa saja kalah telak, atau lebih parahnya cedera. Tentu saja mereka tidak akan mau mengambil resiko yang berat bagi hidupnya.
"Mohon tenang. Satu lagi, penilaian yang dilakukan bukan berdasarkan menang dan kalah. Tapi berdasarkan kemampuan kalian dalam bertarung. Jangan khawatir, jika kalian terluka ada banyak pengguna sihir Healer disini. Dijamin kalian akan aman," lanjut Eden.
Gerald terdiam. Matanya masih tertuju pada 'sesuatu' yang unik itu. Tanpa sadar, dirinya menatap 'sesuatu' itu tanpa berkedip sama sekali. Hingga 'sesuatu' itu membalas tatapannya.
Pemuda itu terkejut dan mulai salah tingkah. Dirinya tidak mau dicap orang aneh oleh 'sesuatu' itu. Gerald mulai mengalihkan pandangannya kembali ke depan dan mencoba mendengarkan intruksi Eden selanjutnya.
Sedangkan, 'sesuatu' yang ditatap oleh Gerald mengernyitkan dahinya bingung. 'Sesuatu' itu adalah seorang gadis. Gadis yang memang sangat cantik, tapi bukan itu yang membuat Gerald tertarik. Rambut panjang nan halus miliknya yang berwarna putih lah yang berhasil mengambil perhatian pemuda itu.
Tak disangka, Gerald yang tidak peduli akan dunia sekitar dan egois itu bisa tertarik pada seorang gadis. Sungguh berita yang sangat mengejutkan. Jika nyonya Katarine tahu, pasti dia akan menangis bahagia.
Tak berselang lama, arahan tentang ujian besok pun telah selesai. Semua murid mulai kembali ke kamar masing-masing. Begitu juga dengan Gerald dan kawan-kawannya.
Saat berjalan santai menuju kamarnya, Gerald dikejutkan dengan fakta bahwa gadis yang dia perhatikan sedari tadi di aula berada tepat di depannya. Gadis itu juga sedang berjalan menuju kamar bersama temannya.
Gerald terpaku ditempat. Entah mengapa dia harus menjaga jarak agar tidak ketahuan. Jelas, hal ini membuat teman-temannya merasa aneh dengan tingkah pemuda itu.
"Kau kenapa? Seperti habis melihat hantu saja," canda Emil.
Gerald tidak menanggapinya. Matanya hanya terpaku pada gadis itu. Alhasil, Emil, Mage, dan Ladon mengikuti arah pandangan Gerald. Mereka dapat melihat dengan jelas seorang gadis berambut putih sedang berjalan dengan temannya.
"Oh~" dengus kawan-kawannya.
"Kau suka sama Lacy ya?" ucap Emil menggoda Gerald.
Gerald terlihat sangat frustasi dan menjadi salah tingkah. Tapi begitu mendengar nama gadis itu, dia menjadi penasaran. Teman-temannya tampak sangat mengenal gadis itu.
"Lacy? Apa dia terkenal?" tanya Gerald. Sontak, teman-temannya langsung menganggukkan kepala.
"Kau tidak tahu rumornya? Kabarnya ada seorang gadis dari pinggir kota Ponta yang memiliki kekuatan fisik melebihi orang lain. Bahkan katanya dia dapat mengalahkan 7 orang dewasa hanya dengan setangkai ranting."
Gerald mengangguk-anggukan kepala mendengar penjelasan Emil.
"Kudengar juga dia tidak memiliki sihir," ucap Ladon.
Gerald cukup terkejut mendengar suara Ladon untuk pertama kalinya. Suara pria itu sangat halus. Berbeda dengan perawakannya yang kasar.
"Dia digadang-gadangkan akan menjadi peserta terbaik diantara orang tanpa sihir," jelas Mage.
Gerald menjadi makin penasaran dengan gadis itu. Bukan hanya karena wajahnya yang cantik, tapi dia juga dikabarkan kuat. Pemuda itu hanya berharap dia bisa melihat langsung kekuatan gadis itu. Dia tidak sabar menunggu hari esok.
Hari pun berganti. Gerald hanya bisa berdiri mematung di ujung arena ujian. Dirinya begitu terkejut mengetahui bahwa lawannya adalah....
.
.
.
Lacy
"Oh, ayolah. Aku memang ingin melihat secara langsung kekuatannya, tapi tidak dengan jarak sedekat ini!!!" teriaknya frustasi dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments