Zen melihat dari seberang jalan, ramai orang berkumpul di depan rumah makan bu Nyoto. Setelah melihat pencopet yang terkapar itu sudah ditangani polisi yang kebetulan melintas di sana, Zen pun bergegas pergi meninggalkan tempat itu.
Sepanjang jalan menuju toko tempat motornya berada, tak henti-hentinya Zen merutuk dalam hati mengingat peristiwa yang baru saja dialaminya itu. Meski hanya mengalami luka kecil di bagian telapak tangan karena tergores batu kerikil dan nyeri di bagian bahu juga pinggulnya, tak urung membuat Zen meringis menahan sakit.
Tiba di depan toko, Zen bergegas memeriksa motor juga barang belanjaannya. Aman, Zen tersenyum lega.
“Mas Arif!” seru Zen memanggil Arif, seraya mengacungkan kunci motornya. “Pamit dulu, Mas. Terima kasih ya sudah jagain motor Saya.”
“Oh, iya Mas Zen. Sama-sama,” sahut Arif berjalan keluar mendatangi Zen. “Kalau ada barang yang dibutuhkan lagi, silah kan hubungi kami di sini. Bisa melalui telepon ke nomor WA toko atau langsung japri Saya, kami siap mengantar sampai tujuan.”
“Siap, Mas! Kalau ada yang kurang, Saya pasti akan langsung menghubungi Mas di sini.” Zen tersenyum, lalu berubah menjadi seringai kesakitan saat ia hendak naik ke atas motornya.
“Loh, loh Mas Zen. Tangannya kenapa, apa tadi waktu makan kecokot atau gimana sampai luka seperti itu?” tanya Arif setengah bercanda. “Lah, pinggangnya juga kenapa itu? Tadi pamit makan baik-baik saja, lah kok wayahe muleh malih loro koyok ngene Mas. Opo yo mau nang dalan sampeyan jempalitan, rak mlaku sing tenanan.” (waktunya pulang kok malah sakit seperti ini. Apa tadi di jalan masnya jumpalitan, gak jalan yang benar)
Zen bengong, ia bingung Arif bicara apa. “Maaf, Mas barusan bicara apa? Suer, Saya gak ngerti.”
Arif meringis sembari menggaruk tengkuknya, “Gini loh Mas Zen, kenapa dari tadi Saya perhatikan kok kayak orang kesakitan gitu jalannya. Ada apa? Itu tangannya biar diobati dulu, Saya ambilkan betadin ya.”
“Oh, ini.” Zen memperlihatkan telapak tangannya, “Jatuh tadi di depan warung bu Nyoto. Luka kecil doang, gapapa. Nanti biar Saya obati sendiri di rumah. Pengaruh lapar kali, jadi jalannya gak konsen.” Zen tertawa kecil.
“Oh, begitu.” Arif membulatkan bibirnya, manggut-manggut mengerti.
“Ya sudah, Saya pamit ya Mas.”
“Oh, monggo. Silah kan, Mas Zen.” Arif melangkah mundur, menjauh ketika Zen memutar kunci motornya dan berlalu meninggalkan Arif yang masih terus mengawasi kepergiannya.
“Heii, siang-siang malah bengong!” suara cempreng seseorang di belakangnya mengejutkan Arif.
“Ish, Kamu ini Put. Kebiasaan bikin kaget orang saja!” ucap Arif, menoleh pada Putri yang sedang menurunkan kotak makanan dari motornya.
“Liatin apa sih, sampai bengong kayak gitu?”
“Kepoo! Rahasia dong.”
“Hillih! Koyok opo wae rahasia-rahasiaan segala.” Putri mencebikkan bibirnya, dan Arif tertawa melihatnya.
“Ojo ngambek koyok ngono to Put, mengko ilang ayune.” Arif menjawil dagu Putri. ( jangan ngambek seperti itu Put, nanti hilang ayunya)
Putri meringis, “Pasti Mas Arif liatin cowok yang barusan pergi tadi kan?”
Arif hanya mengangguk, “Iya, dia belanja banyak tadi di toko. Lumayan uang cash, bisa buat bayar gaji anak buah.”
“Mas tahu gak, itu cowok asli keren banget.” Putri mengacungkan jempolnya di depan wajah Arif.
“Maksudmu, si Zen?” Arif menepis tangan Putri. “Sok tahu Kamu, Put.”
“Oh, namanya Zen. Barusan tuh ya, si Zen itu berhasil mengalahkan pencopet yang bawa kabur tas ibu-ibu. Dan dia tadi bikin keok itu copet sampai gak bisa bangun lagi,” tutur Putri.
“Serius Kamu, Put. Zen bikin keok copet sampai klenger gak bisa bangun lagi?” Arif mengulang ucapan Putri, sembari menerima bungkusan kotak makanan dari tangannya.
“Serius, Mas. Putri lihat sendiri, kok. Kejadiannya kan persis di depan warung emak,” jelas Putri.
“Gak nyangka, ya. Padahal cilik ae wonge,” sahut Arif. (Kecil aja orangnya)
“Kecil-kecil cabe rawit, Mas. Padahal kalau itu cowok bisa kerja bareng kita di kantor, seru kali ya. Jadi berasa aman,” gumam Putri sambil terkikik geli.
“Giliran Kamu sekarang yang bengong, pakai ketawa-ketawa segala. Sudah balik sana, Aku mau makan dulu.”
‘Sebentar to Mas, sudah gak ada tugas lagi juga.”
“Lah, memang Kamu gak kerja?” tanya Arif heran.
“Off, Mas. H1,” sahut Putri enteng.
“H1 apaan, Put?”
“Ish, begitu saja gak tau. H1 itu cuti haid, Mas.”
“Etdah, kirain apaan.” Arif menggaruk rambut kepalanya.
“Makanya buruan nikah, Mas. Biar tau H1.”
“Memang ada hubungannya, Put. H1 sama Aku nikah?”
“Ya ada lah, Mas pikir aja sendiri. Kalau lagi dapet H1 kan gak bisa di apa-apain,” sahut Putri seraya menahan senyum.
“Puyeng ah, sudah sana Aku mau makan dulu, Put. Kalau Kamu gak pergi-pergi, Aku juga gak makan-makan dari tadi.”
Putri tertawa mendengarnya, “Ya sudah, Aku balik dulu. Tapi nanti kalau mas Zen balik ke sini lagi, Mas Arif kabari Aku ya. Siapa tahu dia mau kerja di tempat bos. Kebetulan perusahaan lagi cari tenaga keamanan.”
“Sekuriti maksudmu?”
“Bukan, Mas. Pengawal alias bodyguard pak bos!”
“Memangnya pengawal yang ada sekarang masih kurang, pakai buka lowongan lagi?”
“Regenerasi, Mas. Sudah pada tua, perusahaan butuh tenaga yang lebih muda dan strong kayak mas Zen tadi.”
“Bisa aja, Kamu Put. Ya sudah, nanti Aku bilang ke Zen. Kali aja dia minat.”
“Oke, Mas. Makasih ya, Aku balik dulu,” pamit Putri.
“Monggo Jeng Putri,” sahut Arif yang dibalas senyum lebar oleh Putri.
•••••
Perusahaan Benzami Petra Corp.
Gaatfhan Shauki Benzami, atau yang biasa dipanggil Gaafhi. Presdir perusahaan Benzami Petra Corp, sedang duduk di kursi kebesarannya sambil terus memeriksa dengan teliti berkas data pelamar yang menumpuk di atas meja kerjanya.
“Kim, apa Kamu yakin dengan orang-orang ini?” tanyanya sembari mengangkat salah satu berkas di tangannya pada Hakim asisten pribadinya yang sedari tadi berdiri menunggu perintah di sampingnya.
“Masih ada waktu tiga hari lagi sebelum seleksi pemilihan calon pengawal Presdir ditutup,” jawab Hakim hati-hati. Ia sudah bisa menebak kalau berkas data pelamar yang ada di atas meja kerja bosnya itu tidak ada yang cocok dan sesuai dengan keinginan Gaafhi.
“Ini bahkan sudah masuk hari ke empat,” ucap Gaafhi gusar. “Mereka lebih cocok jadi model iklan ketimbang pengawal.”
“Ada sebagian pelamar yang berbadan besar dan terlihat tangguh,” ucap Hakim lagi. “Mungkin salah satu dari mereka ada yang sesuai dengan kriteria Tuan.”
“Ck, apa Kau tidak melihatnya.” Gaafhi menunjukkan foto pelamar yang otot bisepnya menonjol dan besar. “Mereka lebih cocok jadi atlet binaraga ketimbang jadi bodyguard.”
“Oh Tuhan.” Hakim memijit keningnya, dari ratusan pelamar satu pun tidak ada yang pas di mata bosnya itu.
Tok tok!
“Masuk!”
Gaafhi mengangkat wajahnya, menatap Sean yang berjalan ke arahnya.
“Aku mau menunjukkan sesuatu sama Kamu, Gaaf.” Ucap Sean, lalu meletakkan ponselnya di hadapan Gaafhi.
Gaafhi menautkan alisnya, meraih ponsel di depannya itu. Matanya tak berkedip menatap rekaman video di dalam ponsel milik Sean itu.
“Siapa dia, Sean?”
••••••••
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
anita
yg pas itu cwek boss..pas untuk sgalanya,masak,beranak,jd pngawal jg lain2
2024-04-12
0
chaira rara
semua harus pas sama seleranya si bos
2023-01-08
1
Shanty
si bos banyak maunya, semua gak ada yg pas 🤣🤣🤣
2023-01-08
3