Zen meletakkan barang belanjaannya di jok belakang motornya, mengencangkan tali pengikat secara menyilang agar barang aman dan tidak mudah jatuh.
“Beres dah!” Zen tersenyum puas. Ia kemudian mengunci setang motornya, lalu kembali masuk ke dalam toko mendatangi meja kerja Arif. “Mas, titip motor bentar ya. Mau cari makan dulu.”
“Oh ya, silah kan Mas Zen. Sebaiknya motornya dikunci setang, biar lebih aman!”
“Beres, Mas!” Zen mengacungkan ibu jarinya. “Tapi, ngomong-ngomong. Rumah makan dekat-dekat sini di mana ya?”
“Masnya cari rumah makan, ya. Sebentar!” Arif berjalan keluar dari balik meja kerjanya. “Mas Zen nyebrang jalan itu, terus lurus saja. Gak jauh kok, nanti ada pelang nama Rumah Makan Bu Nyoto. Di situ tempatnya. Banyak menu makanan pilihan, masakannya juga enak dan pas di lidah, murah meriah. Kebetulan langganan makan anak-anak toko sini juga,” imbuhnya sambil menunjukkan arah jalan.
“Sekalian promosi nih ceritanya,” celetuk Zen tersenyum menanggapi.
“Yah, bisa dibilang seperti itu.” Arif terkekeh mendengarnya, sikapnya yang ramah pada pelanggan membuat mereka nyaman saat berbincang dengannya.
“Ya sudah, Saya coba ke sana deh. Rumah makan bu Nyoto ya, namanya.” Zen menyebut ulang. “Kalau begitu Saya tinggal dulu, Mas.”
“Monggo Mas Zen,” sahut Arif tersenyum, menatap punggung Zen yang berjalan menjauh. “Cowok tapi suaranya halus kayak perempuan,” gumamnya dalam hati.
Zen berlari kecil menyeberang jalan, berdiri sejenak di pembatas jalan saat kendaraan padat lalu lalang di depannya. Ia melihat bayangan dirinya terpampang jelas pada kaca mobil yang berhenti di depannya.
Baju coverall kedodoran yang bagian kakinya digulung tidak sama tinggi, ditambah dengan topi hitam lusuh yang menutupi rambut pendeknya. Wajah polos tanpa riasan apalagi pemerah bibir, benar-benar jauh dari kesan yang biasa ditunjukkan seorang wanita.
Meski begitu, Zen memiliki bagian tubuh yang menonjol di tempat yang seharusnya menonjol. Tapi semua tak tampak karena pakaian yang dikenakannya, tidak heran kalau Arif mengira dia laki-laki.
“Apa karena tampilan Aku yang seperti ini kali, ya. Jadi orang pada ngira Aku cowok. Ah, bodo amat!” ucapnya tak peduli.
Tiba di seberang jalan, Zen bergegas menuju rumah makan. Hanya butuh waktu lima menit ia sudah sampai di sana. Dilihatnya tempat itu ramai pengunjung. Sebagian makan di tempat dan sebagian lagi dibawa pulang. Rupanya ia datang bertepatan dengan jam istirahat kerja. Setelah memesan makanan, ia pun harus rela menunggu sebelum pesanannya siap dihidangkan.
Zen memilih makan di tempat, duduk di bangku pojok yang terlindung payung kanopi. Matanya memindai sekeliling, lalu pandangannya jatuh pada sepasang anak manusia yang tengah duduk berduaan di dalam mobil.
“Huh! Kayak gak ada tempat lagi aja, siang bolong depan warung pula. Mana kaca mobil dibuka lebar segala, apa sengaja mau pamer kemesraan biar dilihat orang banyak. Gak ada ahklak banget!” rutuk Zen menatap sebal pemandangan di depannya itu dan langsung memalingkan muka.
Namun tak urung ekor matanya melirik laki-laki di dalam mobil itu, yang tengah mengusap mesra rambut kepala wanitanya dan ...
“Astaga! Bener-bener ini orang, gak ada malunya sama sekali.” Zen benar-benar sebal, melihat pasangan di mobil itu yang sepertinya tidak peduli pada orang sekitarnya yang melihat perbuatan mereka.
“Ayam geprek pedas plus es teh manis, selamat menikmati.” Suara pelayan rumah makan mengalihkan perhatian Zen.
“Terima kasih,” jawab Zen dan langsung meneguk minumannya.
Pelayan itu nyengir melihat Zen yang tampak kehausan, lalu melirik pada pasangan di dalam mobil tadi. “Cuekin saja, Mas. Mereka berdua emang suka gitu, pamer! Makin emosi yang lihat mereka malah makin senang,” ucapnya, seolah tahu apa yang sejak tadi dilihat Zen.
“Ho oh, cuekin ajah. Kita kepo dia makin hepi,” balas Zen. Pelayan itu tertawa dan berlalu dari hadapan Zen.
Zen mulai menyantap makanannya, dan benar seperti ucapan Arif padanya kalau masakan bu Nyoto memang enak. Ia sudah tidak peduli lagi pada pasangan di mobil itu, karena saat ini perutnya lebih butuh perhatiannya.
“Alhamdulillah, kenyang.” Zen mengusap perutnya, rehat sejenak menurunkan makanan dalam perutnya.
Setelah dirasa cukup, Zen bergegas membayar makanannya dan berlalu dari sana. Ia berjalan beriringan dengan pelayan rumah makan yang membawa bungkusan di tangannya lalu berhenti di depan mobil tadi. Pelayan itu mengetuk kaca mobil yang kini tertutup, tidak lama kemudian kaca itu terbuka dan wanita di dalam mobil itu membayar pesanannya.
“Kirain numpang parkir doang, ternyata pelanggan juga.” Zen meringis, memilih berjalan menjauh dan bersiap menyeberang jalan.
Bughk!
“Aoww, sakit ogeb!” Zen berteriak kencang, memegangi bahunya yang sakit terbentur keras tubuh seseorang hingga oleng, berputar dan jatuh menimpa tubuh lelaki yang berada di bawahnya sebelum akhirnya terjatuh cukup keras ke jalan.
“Haish! Ngapain Lo di situ, pakai ngadang jalan Gue segala. Buruan minggir!” lelaki itu berusaha bangun dan mendorong bahu Zen.
“Lo yang minggir! Lo yang tiba-tiba nabrak Gue. Makanya jalan itu pakai mata!” balas Zen berang, meraih kerah baju lelaki di dekatnya itu. “Lo pikir badan Gue gak sakit apa!”
“Copet, maling!” terdengar teriakan lantang seseorang yang langsung menyentuh keras gendang telinga Zen. Ia menatap tajam lelaki di hadapannya itu yang menggenggam erat sebuah tas tangan warna merah menyala.
“Aneh, laki-laki bawa-bawa tas tangan segala. Warna merah pula, pasti ini orang gak beres. Jangan-jangan dia yang diteriakin copet barusan,” pikir Zen dalam hati.
“Lepasin, awas Lo ya. Jangan macem-macem sama Gue!” ancam laki-laki itu dan berhasil menepis tangan Zen di lehernya.
Bukan Zen namanya kalau ia mau melepaskan orang yang sudah menyakitinya bebas begitu saja. Lelaki itu sudah membuat tangan dan bokongnya nyeri. Dengan tangan bertumpu pada tanah di bawahnya, kaki kirinya naik dan menendang punggung laki-laki itu.
“Lo yang salah cari lawan. Lo yang jangan macem-macem sama Gue! Lo kan yang barusan diteriakin maling copet tadi, ngaku Lo!” balas Zen sengit.
Laki-laki itu jatuh tersungkur dan tas tangan yang masih berada dalam genggamannya terlepas jatuh ke jalan. Ia berusaha bangkit dan berdiri, namun sebelum hal itu terjadi Zen kembali menghentikan usahanya.
Masih dalam posisi tubuh rebah di tanah, Zen menyapukan kedua kakinya menyilang dan dengan satu gerakan cepat ia menggunting kaki lawan.
Brugh!
“Si alan, Lo!” teriak laki-laki itu kesakitan, karena Zen berhasil membuatnya jatuh tersungkur lagi dan tak mampu berdiri.
“Aargh, Lo yang si alan! Bikin tangan dan bokong Gue sakit. Gimana Gue ngecat rumah kalau begini!” Zen mendengkus kesal, bangun dan berjalan tertatih meraih tas merah di pinggir jalan.
Tidak lama kemudian datang seorang wanita paruh baya dengan penampilan wah, berlari ke arah Zen yang langsung menyerahkan tas merah di tangannya.
“Apa benar tas merah ini milik Ibu?” tanya Zen.
“Iy-ya, ini tas milik Saya. Orang itu yang sudah mengambil paksa dari tangan Saya,” jelasnya. Lalu menatap bingung pada lelaki yang terkapar di pinggir jalan mengaduh kesakitan, kemudian beralih menatap Zen.
“Tenang, Bu. Cedera dikit gapapa, paling juga pijat sama tukang urut bentar juga dia bakal baikan lagi. Itu pun kalau dia gak Ibu laporin ke polisi.”
“Hah! Oh i-ya, terima kasih ya Nak. Untung saja ada Kamu tadi, jadi tas Saya bisa balik lagi.” Wanita itu menatap lama pada Zen, lalu membuka tasnya dan memeriksa isinya. “Ini buat Kamu,” ucapnya, lalu menyelipkan beberapa lembar uang merah di saku baju Zen.
Zen menolak dan berlari kecil menjauh, “Saya gak minta imbalan, Bu. Bisa nolong Ibu saja sudah senang,” ucapnya kemudian seraya melambaikan tangan.
“Ma, Mama gapapa?” suara seseorang yang terengah-engah berlari, membuat wanita itu mengalihkan perhatiannya. Putranya datang dan tampak khawatir melihatnya.
“Mama gapapa, sayang. Serius, Mama baik-baik saja. Ada anak muda tadi yang sudah menolong Mama,” ucapnya lalu menolehkan wajahnya, sayang si anak muda yang dimaksud sudah menghilang dari pandangannya.
“Biar Gaafhi yang antar Mama pulang,” ucap si anak sembari menghela bahu mamanya, berjalan menuju mobilnya yang terparkir di ujung jalan.
Si pencopet sudah diamankan polisi yang kebetulan lewat di sana, atas laporan warga yang melihat aksi Zen ditambah keterangan korban laki-laki itu dibawa ke kantor polisi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sementara Zen sudah melajukan motornya kembali pulang ke rumahnya.
••••••••
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
chaira rara
zen keren bisa ngalahin copet 😙
2023-01-08
2
Shanty
lah itu emaknya pak presdir yg ditolongin zen
2023-01-08
6
Yeni Nuril
wow keren
2023-01-03
4