"Sepertinya, tidak terlalu buruk juga membawa gadis bodoh itu kemari."
\\*
Gallen tercengang mendengar pertanyaan gadis di depannya. Tak seperti biasa, wajahnya tiba-tiba memerah hanya karena dua kata barusan.
Anda cemburu?
"Si bodoh ini, siapa yang cemburu padamu?!" Dia menjauhkan wajahnya dari Zoya. Seenaknya saja! Bagaimana bisa gadis itu mengira bahwa Gallen cemburu melihat kedekatannya dengan asistennya sendiri? Memangnya dia pikir dia siapa?!
Tidak, aku tidak mungkin cemburu. Memangnya siapa gadis bodoh itu? Tidak ada sedikitpun dari gadis itu yang bisa membuatku merasa tertarik!
Gallen melihat Zoya yang masih menatapnya. Wajahnya memberengut dengan kesal. Dia masih merasa tak terima dengan tuduhan gadis itu yang tiba-tiba. Seharusnya ia berkaca dengan benar agar bisa melihat siapa dirinya dengan baik. Zoya mungkin memang lumayan cantik, kulitnya putih, dan tubuhnya juga terlihat bagus, tapi ...
Plak!
Gallen tiba-tiba menepuk pipinya sendiri dengan keras. Bahkan Zoya yang menatapnya sedari tadi pun dibuat terkejut dengan kelakuan bosnya yang aneh tersebut.
Sialan, kenapa aku jadi memuji si bodoh itu?!
Zoya diam menatap bosnya hingga tak berkedip. Ingin sekali bertanya, tapi ia takut jika bosnya akan marah. Lagipula Zoya hanyalah pekerja baru, tak seharusnya ia bertingkah sok dekat dengan bosnya itu. Tapi, bagaimanapun rasanya penasaran juga. Sebenarnya apa yang dia lakukan? Apa Gallen benar-benar telah menjadi gila?
"Bos, Anda baik-baik saja?" Tanya Zoya akhirnya untuk memastikan. Ia khawatir bosnya yang memang aneh itu akan menjadi semakin aneh. Itu akan berbahaya bagi pria itu, juga dirinya yang saat ini tengah bekerja disana. Zoya memang tidak takut jika pria itu hanya sekedar galak, tapi bagaimana jika ternyata Gallen memiliki indikasi lain?
Gallen menatap Zoya dengan mata yang menyipit. Setelah dipikir-pikir, sejak kapan gadis itu memanggilnya dengan panggilan 'bos'? Bukankah panggilan itu terdengar sama seperti saat Alby memanggil dirinya?
"Hei, kau. Kenapa kau memanggilku seperti itu?" Gallen tak bisa menahan rasa kesalnya saat mendengar panggilan itu. Dia merasa ada urutan yang salah dalam proses ini. Ya, tentu saja. Bukankah dia yang membawa masuk gadis itu? Jadi sebelum Alby, Gallen haruslah yang lebih dekat dengan gadis itu, kan?
Gallen menatap serius gadis di hadapannya. Aneh, memang. Mengapa dia harus mempermasalahkan hal tidak penting semacam itu? Memangnya apa yang salah dengan panggilan 'bos'? Bukankah itu hal yang sangat wajar bagi seorang bawahan untuk memanggil atasannya dengan sebutan bos?
Lagipula, kenapa dia setidak rela itu jika Zoya lebih dekat dengan Alby ketimbang dirinya?
Gallen mengalihkan pandangan matanya. Mungkin tindakannya akan disalah pahami, tapi percayalah dia tak bermaksud untuk bertindak aneh-aneh. Dia mempekerjakan Zoya semata-mata untuk membantu gadis itu yang membutuhkan bantuan, bukan karena tujuan lainnya. Dan meskipun seperti yang dirinya katakan, Zoya memang memiliki kulit putih, wajah yang cantik, dan ....
Sepertinya aku memang benar-benar gila, ya.
Gallen tak tahu harus berbicara apalagi. Benar, sepertinya dia sudah gila.
"Anu, bos, saya tidak tahu harus menjawab apa atas pertanyaan Anda tadi ... " Mata Zoya terlihat benar-benar polos. Ia sepertinya benar-benar tidak tahu dengan apa yang tengah bosnya hadapi saat ini, "Tapi, Anda tidak perlu cemburu." Katanya lagi.
Gallen menghela napas, "Tentu saja, aku ---"
"Bos!" Suara Zoya langsung memotong kata-kata Gallen.
Pria itu menoleh padanya, menemukan Zoya yang tersenyum sangat ramah. Senyumannya terlihat sangat polos dan murni, bukan senyuman bisnis yang seringkali dirinya lihat saat rapat dengan para tetua sialan yang membuatnya seperti hampir kehabisan napas. Dan tentu saja, itu membuat Gallen langsung terdiam dalam kehangatan yang tersalurkan lewat senyuman gadis itu.
Sepertinya, tidak terlalu buruk juga membawa gadis bodoh itu kemari.
Gallen menundukkan kepalanya, berpura-pura tak ingin melihat gadis itu. Padahal jika Zoya cukup teliti, telinganya yang merah sudah cukup bagi gadis itu untuk memahami jika Gallen sedang malu sendiri.
"Bos, saya ... tidak akan merebut Kak Alby dari Anda. Jadi, Anda tidak perlu khawatir." Lanjutnya kemudian.
Gallen yang semula sudah siap mendengar kata-kata rayuan dari gadis itu langsung terdiam. Senyum malu-malu yang sebelumnya mengembang di wajahnya pun seketika luntur. Tak butuh waktu lama, Gallen langsung mengangkat kepalanya yang semula hanya menatap lantai. Zoya, gadis yang tanpa merasa berdosa itu masih tersenyum manis setelah mengacaukan imajinasi Gallen yang berlebihan!
"Kau benar-benar bodoh, ya?" Ujar Gallen kemudian yang membuat Zoya langsung cengo.
Gallen yang kesal dengan kepolosan dan kebodohan Zoya langsung pergi dari sana, tak ingin melihat Zoya lebih lama lagi. Dan Zoya yang ditinggalkan pun menjadi semakin kebingungan. Memangnya kata-katanya tadi salah?
***
Bruk
Gallen menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Cukup lama dia memandang langit-langit kamarnya yang putih, hanyut dalam pikirannya sendiri. Dia kemudian meletakkan sebelah lengannya menutupi mata, mulai memikirkan banyak hal yang telah terjadi akhir-akhir ini. Rasanya dia sangat lelah hingga berpikir untuk tidur. Gallen menutup matanya selama beberapa detik, hingga tiba-tiba dia terduduk kembali di atas kasurnya yang besar dengan wajah yang terlihat kesal.
"Si bodoh itu ... bagaimana bisa aku memungut manusia menyebalkan seperti dia?" Kesalnya. Tiba-tiba saja bayangan gadis itu muncul di dalam pikirannya. Gallen melihat ke arah pintu, dimana tentu saja tidak ada Zoya disana.
Dia menghela napas panjang. Memang benar ada banyak masalah akhir-akhir ini. Urusan kantor, keluarga, dan sekarang gadis pembawa masalah itu juga muncul. Padahal Gallen tak pernah mengizinkan siapapun untuk datang ke tempat tinggalnya saat ini, tapi sekarang dia malah membawa seorang gadis dari antah berantah masuk ke rumahnya sebagai asisten rumah tangga.
Gallen kembali merebahkan tubuh di atas kasurnya yang empuk. Sebenarnya meski dia terus mengeluh, keberadaan Zoya tak benar-benar membuatnya merasa terganggu. Memang benar bahwa gadis itu terus saja membuatnya kesal. Namun entah mengapa, Gallen seolah tak merasa berat untuk meladeni setiap pertanyaan maupun tingkah aneh yang dilakukan gadis itu. Ini memang hal yang aneh, mengingat bahwa dirinya adalah tipe menyeramkan yang membuat para gadis merasa enggan untuk duduk berlama-lama dengannya. Tapi, Zoya berbeda.
Meski alasannya juga tak cukup menyenangkan untuk Gallen dengar, tetap saja keberadaan gadis itu sedikit membuatnya tertarik. Perasaan seolah, 'Ah, ternyata masih ada wanita yang mau berbicara denganku' membuat Gallen merasa sedikit terhibur. Zoya, gadis itu lah yang membuatnya merasa demikian. Zoya tidak takut padanya sejak pertama kali mereka bertemu. Gadis itu berani menanggapi setiap perkataannya, bahkan ia juga mengomentari gaya bicaranya yang kasar. Jika orang lain, tidak mungkin ada yang berani mengomentarinya seperti itu. Hanya Zoya satu-satunya yang berani bertindak demikian. Jadi meski awalnya Gallen merasa tak yakin, tiba-tiba saja sekarang dia berpikir untuk berubah pikiran.
"Bagaimana jika aku mempertahankannya?"
Gallen terdiam, merenungkan kembali apa yang baru saja dirinya katakan. Mempertahankan gadis itu? Sungguh? Apa dirinya tak salah berbicara?
Bahkan jika Tante Pamela yang selama ini terus menasihati Gallen untuk lebih bersosialisasi mendengar kata-katanya, dia pasti akan sangat terkejut saat mengetahui bahwa satu-satunya orang yang mampu membuat Gallen nyaman nyatanya adalah seorang gadis tak jelas yang bahkan tak diketahui asal-usulnya.
Yah, tidak apa-apa. Lagipula aku memang sering melanggar aturan.
Gallen merasa yakin dengan pilihannya. Lagipula dia bukan orang yang suka menepati aturan, jadi tidak ada masalah bagi dirinya untuk berteman dengan siapapun juga. Terlebih bagi orang yang anti sosial seperti dirinya, menemukan sosok yang cocok untuk diajak bicara itu tak ada bedanya seperti mencari jarum ditengah tumpukan jerami. Sulit! Karenanya jika akhirnya Gallen yang seperti itu menemukan teman, siapa yang akan melarang?
Tepat setelah dia memutuskan, tiba-tiba saja suara ketukan terdengar dari luar. Gallen beranjak, mendekat ke arah pintu dan membukanya tanpa perlu berpikir panjang. Di depan, Zoya yang baru saja mengetuk pintu tampak terlihat kikuk saat melihat Gallen. Tampaknya ia juga terkejut karena tak menyangka bahwa pria itu akan membuka pintu dengan secepat itu. Namun meskipun demikian, Zoya tetap mencoba berbicara tanpa membuang waktu berharga milik bosnya, "Bos, bisakah Anda memaafkan saya?" Katanya.
Gallen terdiam, berpura-pura bersikap dingin dengan wajahnya yang terlihat garang. Zoya terus melihat ke arahnya, membuat ekspresi memelas agar Gallen dapat segera memaafkannya. Kendati demikian, Gallen justru merasa bahwa Zoya terlihat menggemaskan.
Gadis ini memang lucu.
Gallen membiarkan gadis itu memohon selama beberapa saat, baru kemudian dia menerima permintaan maaf tersebut dengan bersikap seolah masih sedikit kesal.
"Yah, asal kau tidak mengulanginya saja." Ujar Gallen.
Kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Gallen terdengar seperti oasis ditengah gurun kekhawatiran Zoya. Gadis itu langsung terlihat sumringah, lalu tersenyum dengan begitu indah.
"Eum, saya janji tidak akan mengulanginya lagi!"
Gallen memerhatikan ekspresi bahagia di wajah Zoya. Gadis itu memang tidak pernah menyembunyikan perasaannya. Apapun yang dirasakan oleh Zoya, akan terlihat dengan jelas di wajahnya. Contohnya, seperti saat ini.
Itu sangat bagus, karena tidak semua orang boleh menunjukkan perasaan mereka seperti itu.
Dan Gallen, adalah salah satunya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
Joey Joey
🤣 🤣 🤣 🤣 Sudah terjebak
2023-01-21
1