"*Nama saya Gallen, saya bukan bapak kamu*."
\*\*\*
Pria itu menepuk dahinya dengan cukup keras hingga membuat gadis bernama Zoya itu terperanjat. Bapak, bapak katanya? Apakah dia setua itu hingga gadis di depannya ini terus-menerus memanggil dirinya sebagai bapak?
"Memangnya aku terlihat tua? Matamu benar-benar bermasalah jika kau berpikir demikian." Sungutnya.
Zoya hanya menatap pria di depannya dengan dahi berkerut. Sungguh, tampaknya lugu dan bodoh benar-benar menyatu dengan sempurna pada gadis itu. Ia tak takut pada orang yang terus berbicara dengan setengah memaki padanya ini, juga tak memiliki sedikitpun prasangka buruk padanya hingga bisa dengan polosnya mendekat padahal tempat mereka berada saat ini benar-benar sepi. Pria itu menghela napas, tak ada gunanya juga dirinya kesal seperti tadi.
"Nama saya Gallen, saya bukan bapak kamu." Ujar pria itu kemudian. Zoya menatap Gallen dengan serius, lalu tiba-tiba membuka mulutnya setelah beberapa saat terdiam.
"Tumben bapak bicara sopan sama saya." Katanya. Antara bangga dan juga heran, tapi jelas saja hal itu membuat Gallen semakin tidak percaya bahwa ada makhluk seaneh itu di muka bumi ini.
Bahkan saking tak percayanya, Gallen sampai terdiam dengan mulut yang terbuka.
Dia tuli, ya? Bukankah aku sudah bilang kalau aku bukan bapaknya? Kenapa masih juga memanggilku dengan panggilan macam itu?
Gallen tak tahu harus menjawab bagaimana lagi. Gadis di depannya ini benar-benar membuatnya kesal sendiri. Apa kata-katanya tak cukup jelas untuk dapat gadis itu pahami? Atau justru gadis itu yang terlalu bodoh untuk dapat memahami kata-katanya?
"Terserah!"
Gallen berbalik untuk mengambil dompet dan tas miliknya, kemudian memilih untuk berjalan pergi dari sana. Lebih baik dia mencari tempat bermalam dan meminjam ponsel orang lain untuk dapat menghubungi asistennya daripada terus disana dan mati kesal karena gadis itu.
"Pak! Pak, tunggu!"
Gallen tak ingin berhenti. Dia tahu jika dirinya berhenti maka gadis itu hanya akan membuatnya lebih kesulitan. Bukankah keadaan mulai aneh sejak dia bertemu dengan gadis itu? Maka dengan menghiraukan panggilan tersebut, dia semakin mempercepat langkah kakinya untuk pergi dari sana.
"Pak!"
Sial, ternyata gadis itu cepat juga.
Zoya memegang lengan Gallen cukup kuat. Dengan napas terengah akibat mengejar pria itu yang berlari menghindar saat dirinya panggil, Zoya secara perlahan mengangkat kepalanya dan memelas kembali pada pria itu, "Pak, boleh saya minta tolong lagi?" Pintanya.
Jika diperbolehkan, ingin sekali Gallen menjawab 'tidak' atas pertanyaan itu. Tapi seperti yang terjadi tadi siang, dia yang berwajah sangar namun berhati Hello Kitty ini sama sekali tidak bisa membiarkan orang malang seperti gadis itu begitu saja saat dirinya meminta pertolongan. Tidak tega, begitulah kira-kira. Jadi meskipun Zoya sudah membuatnya kesal dan Gallen pun memandang gadis itu dengan tatapan seolah menyuruhnya pergi, pada akhirnya kata yang terucap dari bibir pria itu adalah kata-kata yang berkebalikan.
"Hah, baiklah. Tapi lepaskan tanganmu dariku!" Ucapnya dengan setengah berteriak.
Zoya terkekeh dengan senang, lalu segera melepas pegangan tangannya pada pria itu, "Hehe, terimakasih, Pak."
Gallen memutar mata. Sungguh, sepertinya dia akan menyesali keputusannya barusan.
***
Gallen membawa gadis itu untuk ikut bersamanya. Meskipun malam sudah larut dan orang yang lewat hampir jarang, pria itu tahu bahwa disekitar sana ada sebuah hotel yang cukup bagus. Memang cukup jauh jika harus berjalan sampai sana, tapi keduanya tidak punya pilihan lain yang lebih baik daripada itu. Gallen berjalan beberapa langkah di depan. Sedang Zoya yang periang dan lugu terus berbicara di belakang seperti seekor burung yang berkicau.
"Pak, umur bapak berapa?" Tanyanya setelah sekian banyak pertanyaan. Gallen memutar mata, menjawab pertanyaan tersebut dengan sangat terpaksa.
"Dua puluh lima tahun." Jawabnya. Seolah tak percaya, gadis itu kembali bertanya dengan suara yang naik beberapa oktaf.
"Dua puluh lima? Berarti cuma beda lima tahun dari saya, dong." Katanya lagi. Gadis itu lalu bergumam kecil, mulai menyadari caranya memanggil pria itu ternyata salah.
"Baru sadar kalau salah?"
"Ya." Ia mengangguk. Jika hanya beda lima tahun, tentu saja tidak cocok dipanggil dengan sebutan bapak, "Saya pikir bapak setidaknya sudah berusia tiga puluh tahun, karena bapak terlihat jauh lebih dewasa dibandingkan saya. Tapi ternyata hanya lima tahun? Wah, sepertinya kemampuan saya menilai orang semakin menurun." Katanya.
Gallen menyipitkan mata. Sepertinya bukan itu yang ingin gadis itu katakan.
Dewasa atau tua? Rasa-rasanya dia menghinaku secara halus.
Gallen hanya bisa bergumam dalam hati.
"Kalau panggilan bapak tidak cocok, harus panggil apa, ya?" Gumamnya yang masih terdengar oleh Gallen. Pria itu lantas menoleh ke belakang sejenak, sebelum akhirnya kembali menatap ke depan.
"Panggil Gallen saja." Katanya. Mungkin dia tidak ingin suasana semakin terasa canggung, namun Zoya langsung menggeleng kuat-kuat mendengar saran dari pria itu.
"Mana mungkin, ba--- ekhem, Anda kan sudah sangat baik dan dermawan pada saya, tidak sopan jika hanya memanggil nama."
Gallen hanya diam sembari memperhatikannya saat mendengar jawaban tersebut. Meski demikian, sepertinya dia mulai mengubah pemikirannya sedikit demi sedikit. Memang benar jika Zoya sangat menyebalkan, namun lama-kelamaan rasanya lucu juga.
Tapi, tetap saja dia menyebalkan. Huh.
"Terserah." Dia tiba-tiba melajukan langkah kakinya. Zoya yang sibuk dengan pemikirannya sendiri langsung terkejut, lalu kemudian sadar bahwa dirinya ternyata ditinggal.
"Pak! Tunggu!"
***
"Wah." mata gadis itu berbinar. Apa benar mereka akan menginap di tempat ini? Di tempat sebesar dan semewah ini?
"Pasti harganya mahal. Saya berhutang berapa banyak lagi kalau begini?" Ekspresi wajahnya berubah. Sepertinya kekagumannya langsung menghilang saat ingat bahwa dirinya harus membayar kembali semua uang yang pria itu keluarkan untuknya.
"Kalau begitu, tidak usah dipikirkan. Begitu saja repot." Katanya yang kemudian mulai melangkah menuju lift. Zoya mengikut di belakang pria itu, lalu masuk bersama dengannya.
"Wuah, seperti di TV!" Kagumnya lagi. Gadis itu menyentuh dinding lift dengan mata yang berbinar, sebelum tiba-tiba teringat kembali dengan hutang yang harus dibayar.
"Aduh, hampir saja lupa." Gumamnya pelan. Kemewahan yang tak pernah ia lihat sebelumnya itu jelas saja membuatnya mudah lupa diri. Zoya menarik tangannya yang semula menyentuh dinding lift, berusaha untuk tenang. Ia tak pernah membayangkan akan bisa melihat tempat seperti ini secara langsung, apalagi sampai menginap seperti ini. Namun, ia harus ingat. Dirinya telah meminjam sejumlah banyak uang dari pria di sampingnya dan ia harus membayarnya.
Segera setelah dirinya tersadar, Zoya langsung menatap pria berkulit eksotis di sampingnya tersebut dengan tatapan serius, "Saya pasti akan membayar kembali semua uang yang Anda keluarkan untuk saya." Katanya. Dari sorot matanya, terlihat bahwa gadis itu telah yakin dengan keputusannya. Tidak ada sedikitpun keraguan yang terpancar dari wajah serius yang tengah menatapnya tersebut.
Gallen hanya menatapnya sejenak, lalu kembali memandang lurus ke arah pintu lift. Dia jadi berpikir. Sebenarnya apa mau gadis itu? Toh Zoya pun tak punya uang, lalu mengapa gadis itu justru sibuk ingin membayar hutang?
Aku tidak mengeluarkan uang terlalu banyak untuknya. Bukankah dia miskin? Kenapa dia harus memaksa untuk membayar padahal aku sudah bilang untuk melupakannya saja?
Matanya mencuri-curi pandang pada gadis itu. Setelah berbicara dengan penuh percaya diri, kini Zoya justru sibuk menundukkan kepala sambil menatap ke ujung sepatunya sendiri. Dahi Gallen mengkerut melihat pemandangan di sampingnya tersebut. Apakah gadis itu mulai menyesali kata-katanya sendiri? Jika iya, Gallen pun tidak akan mempermasalahkan hal tersebut dan akan dengan senang hati membiarkannya pergi pada keesokan hari.
Pintu lift terbuka. Keduanya sama-sama melangkah menuju kamar masing-masing. Gallen mengerti bahwa gadis itu pasti tak tahu bagaimana cara kerja hotel. Dia kemudian menjelaskan secara singkat, padat, dan jelas mengenai hal-hal tersebut, beserta aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar olehnya.
"Jangan mengetuk pintu kamar Anda?" Tanyanya dengan bingung.
"Ya! Pastikan kau tidak akan pernah mengetuk pintu kamarku mau apapun yang terjadi." Ekspresi wajahnya yang serius, cukup untuk membuat orang-orang merasa takut. Gallen rasa dirinya sudah cukup sabar menanggapi semua pertanyaan yang diajukan oleh Zoya sedari tadi. Sekarang, dia ingin menikmati waktunya sendiri tanpa harus mendengar suara gadis itu lagi. Lalu, apa yang diharapkan oleh gadis itu? Mengganggunya di malam hari? Haha, jangan harap itu bisa terjadi!
"Baiklah. Saya tidak akan mengetuk pintu kamar Anda." Jawaban tegas yang cukup membuat Gallen merasa lega. Akhirnya, dia bisa beristirahat dengan tenang tanpa takut merasa terganggu karena gadis itu!
"Sekarang masuklah. Aku juga akan kembali ke kamarku."
Zoya mengangguk. Segera setelah diperintahkan, gadis itu langsung masuk ke dalam kamar. Ia tak ingin membuat Gallen merasa kesal dan menyesal karena telah membawanya. Tampaknya, kini ia tahu bagaimana caranya agar ia dapat membayar semua hutang-hutangnya pada pria itu.
Gallen baru meninggalkan tempat itu begitu yakin bahwa Zoya telah masuk. Gadis itu tidak terlalu pintar. Ia bisa saja lupa bagaimana cara untuk masuk ke dalam kamar meski Gallen telah menjelaskan. Dan untuk mengantisipasi tiba-tiba dirinya dipanggil, Gallen lebih memilih untuk memastikan gadis itu masuk lebih dulu sebelum meninggalkannya.
Dan disinilah Gallen sekarang. Memandang langit-langit kamar hotelnya dengan tubuh terbaring di atas kasur. lelah, dia ingin beristirahat.
Akhirnya aku sendiri. Tidak ada gadis cerewet yang terus bertanya, apalagi para tetua yang terus marah-marah. Akhirnya, sekarang aku bisa tidur dengan nyenyak.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
mampir kak.
lanjutkan
2023-01-25
0