"Lebih baik kau kembali saja, tidak perlu membayar hutang atau apalah itu, karena aku tidak perlu!"
\*\*\*
Saat pagi tiba, Gallen yang akhirnya bisa tidur nyenyak terbangun dari tidurnya dengan perasaan yang baik. Pria itu kemudian mandi, menyegarkan diri untuk menyambut pagi harinya yang menyenangkan di akhir pekan. Dia sudah bekerja keras selama satu Minggu penuh, jadi sekarang dia bisa sedikit bersantai tanpa perlu memikirkan pekerjaan.
Setelah semua persiapan selesai, pria itu menatap ke luar jendela selama beberapa saat. Sinar matahari terlihat cukup cerah, bahkan meski pagi baru menunjukkan pukul setengah tujuh.
Gallen menghubungi asistennya semalam. Karena sulit menemukan bengkel di malam hari, Alby -- asistennya itu berjanji akan mencarikannya pagi ini. Dan Gallen tidak perlu khawatir untuk jemputannya nanti. Karena meskipun ini hari libur, Alby yang akan menjemputnya nanti untuk membawanya kembali ke rumah.
Jadi, sekarang Gallen hanya perlu bersantai dan sarapan dengan tenang. Sarapan yang disiapkan oleh hotel terlihat menggoda, cukup untuk mengisi perutnya. Dan karena tidak ada sesiapapun disini yang akan mengganggunya, Gallen pun bisa menikmati makanannya dengan tenang hingga habis.
Setelah selesai sarapan, dia berencana untuk keluar dari kamar dan melihat-lihat sekitar. Gallen telah selesai bersiap-siap dan sekarang dia akan membuka pintu kamarnya untuk keluar.
"Selamat pagi!"
Raut wajah Gallen berubah dalam sekejap. Ah, benar juga. Dia lupa bahwa semalam gadis itu datang bersama dengannya. Apa yang gadis itu lakukan? Menunggunya untuk mengucapkan selamat pagi?
"Bodoh, berapa lama kau menunggu disini?" Meski terdengar kasar, namun Gallen sebenarnya khawatir. Apa gadis itu menunggunya sedari tadi? Itu pasti sangat melelahkan, tapi mengapa gadis bodoh itu mau melakukannya?
Zoya yang tidak pernah mengambil pusing dengan setiap perkataan pria itu hanya tersenyum manis, "Tidak lama, kok. Hanya sekitar satu jam."
Gallen memerhatikan penampilan Zoya dari atas sampai bawah. Gadis itu sudah terlihat rapi. Sepertinya dia telah bersiap pagi-pagi sekali karena ingin menyambut pria di hadapannya itu seperti ini. Gallen hanya menghela napas, lalu menatap gadis itu dengan serius, "Kau seharusnya tidak perlu seperti itu. Kau tidak punya kewajiban untuk melakukannya." Gallen tidak ingin Zoya melakukan tindakan sia-sia. Lagipula mereka akan segera berpisah. Jadi, mereka tidak perlu terlalu dekat, bukan?
"Ah, mengenai ini. Semalam saya sudah berpikir panjang. Saya rasa, saya punya banyak hutang pada Anda." Jelasnya.
Gallen menatapnya dengan waspada. Firasatnya tidak terlalu baik. Apa yang gadis itu inginkan? Gallen tidak memintanya untuk membayar semua hutang-hutang itu!
Lebih baik kau kembali saja, tidak perlu membayar hutang atau apalah itu, karena aku tidak perlu!
"Bagaimana jika saya menjadi ART Anda?" Matanya tampak berharap penuh.
Lagi, Gallen menatapnya dengan tatapan kosong. Kenapa? Kenapa gadis itu berusaha sampai segitunya untuk membayar hutang? Gallen hanya ingin gadis itu segera pergi. Dia tidak perlu semua itu!
"Tidak perlu. Lebih baik kau pergi saja." Gallen merasa putus asa untuk mengusir gadis itu. Selain bodoh dan lugu, ternyata ia juga sangat keras kepala.
"Tapi, utang tetaplah utang. Bapak dan ibu saya bilang hutang haruslah dibayar atau saya tidak akan tenang bahkan ketika saya mati!" Jelasnya dengan bersungguh-sungguh.
Gallen diam, hanya mendengarkan gadis itu berbicara sendirian.
Sekarang dia membawa-bawa kematian?
Zoya tak kelihatan sedang bercanda. Mungkin memang benar bahwa gadis itu memegang prinsip bahwa hutang haruslah dibayar, tapi bukankah Gallen juga sudah bilang bahwa ia tak perlu memikirkan itu? Gallen tak menganggap keberadaan hutang itu, Zoya tak berhutang sedikitpun pada Gallen. Bukankah masalah harusnya selesai? Lalu mengapa gadis itu masih ingin bekerja dengannya?
Aku bahkan tidak mempekerjakan ART secara tetap karena tidak nyaman dengan keberadaan orang lain, tapi dia malah ingin bekerja denganku? Yang benar saja!
"Bodoh. Aku tidak perlu ART, mengapa kau masih ingin bekerja juga? Lebih baik kau mencari pekerjaan lainnya!" Gallen ingin pergi saja darisana. Namun, seperti yang terjadi tadi malam, Zoya langsung menahan salah satu tangan pria itu.
"Apa kau tuli? Jika aku berkata tidak maka artinya tidak! Mengapa kau terus memaksa, hah?!"
Gallen menyingkirkan tangan gadis itu, membuat Zoya sedikit terhuyung ke belakang. Tanpa menoleh lagi, Gallen langsung meninggalkannya begitu saja sendirian.
***
"Bos!" Sosok pria berpenampilan rapi melambai jauh dari jarak beberapa meter. Gallen menoleh, menatap Alby dengan tatapan serius.
"Sepertinya aku menyakiti seseorang." Ujarnya. Gallen telah lama menunggu pria itu tanpa berani beranjak sedikitpun dari tempatnya saat ini. Dia merasa bersalah, namun juga sulit untuk meminta maaf. Satu-satunya harapan yang dirinya punya adalah menunggu Alby datang dan meminta saran padanya.
Alby sedikit terkejut. Dia tahu bahwa bosnya ini memang berwajah sangar, namun tidak pernah sedikitpun dia melihat Gallen melakukan tindak kekerasan pada seseorang. Siapa yang sebenarnya dia sakiti?
"Bos, tenanglah dulu. Kita bisa bicarakan ini secara baik-baik. Siapa yang Anda sakiti? Kita bisa memberikan perawatan juga ganti rugi jika dia menginginkannya." Alby berusaha menenangkan bosnya. Namun diluar dugaan pria itu, Gallen justru menggeleng dan menyahut.
"Bukan, bukan yang seperti itu. Tapi yang lain."
"Yang lain?"
Gallen mulai menceritakan semuanya satu persatu, mulai dari ketika dia bertemu dengan gadis itu, hingga ketika dia menepis kasar tangan Zoya yang memegang lengannya. Alby mendengarkan setiap cerita Gallen tanpa menyela. Meskipun mungkin tindakan gadis itu salah, tapi tindakannya yang kasar pada wanita juga tak bisa dibenarkan!
"Hm," Alby tampak berpikir. Sebenarnya, mereka berdua itu sama. Sama-sama tak berpengalaman dalam hal mengurus wanita dan mengetahui perasaan maupun kemauannya. Namun sebagai asisten Gallen, sudah sewajarnya dia turut membantu pria itu untuk memikirkan pemecahan masalah yang tengah dihadapinya saat ini. Jawaban apa yang seharusnya dia berikan? Jawaban yang bisa menyenangkan gadis itu, namun juga bisa diterima oleh bosnya, "Wanita adalah makhluk yang sulit untuk dimengerti. Mereka cukup emosional, jadi akan sulit untuk mengembalikan kebahagiaan mereka jika kita terlanjur menyakitinya." Ucapan yang semakin membuat Gallen merasa bersalah.
"Sialan, aku juga tahu itu. Makanya aku bertanya padamu!"
Alby tersenyum kecil dan mencoba menenangkan bosnya kembali, "Bos, saya sama sekali tidak tahu bagaimana cara mengatasi wanita. Bagaimana jika bos turuti saja kemauannya? Lagipula dia hanya ingin membayar hutang, kan? Jadi bos hanya perlu mempekerjakannya sampai semua hutangnya lunas. Satu bulan, mungkin? Dengan begitu kalian bisa sama-sama melepaskan diri." Sarannya.
Gallen memikirkan saran itu baik-baik. Sebenarnya dia masih agak sulit untuk menerima orang lain di rumahnya, tapi sepertinya memang tidak ada cara lain yang dapat dirinya lakukan untuk meminta maaf atas kata-kata dan perlakuan kasarnya barusan. Zoya mungkin memang terlihat ceria, namun bagaimana jika keceriaannya hilang karena tindakannya barusan? Gallen tentu harus mengambil tanggung jawab untuk hal itu.
Akhirnya setelah diskusi panjang, Gallen setuju untuk melakukan saran dari asistennya. Ia bersama Alby kemudian segera beranjak menuju lift, menekan tombol tujuan dan naik ke lantai atas.
Hal pertama yang dapat mereka lihat saat pintu lift terbuka adalah keberadaan Zoya yang tengah terduduk di depan pintu kamarnya dengan tubuh yang memeluk diri sendiri. Kasihan, begitulah yang dipikirkan keduanya. Mungkin Zoya terlalu syok atas tindakan Gallen barusan hingga tak lagi bisa beranjak. Alby menepuk ringan pundak bosnya, memberikannya semangat. Keputusan yang tepat untuk mereka memilih kembali ke tempat ini dan meminta maaf. Gallen mengangguk kecil, bersiap untuk pilihan yang telah dia ambil.
"H-Hai." Sapanya dengan kaku. Zoya melihat ke atas, tersenyum lebar saat melihat pria itu kembali.
"Sa --- "
"Aku akan membiarkanmu bekerja denganku!" Lagi-lagi Gallen berbicara dengan setengah berteriak. Zoya awalnya sedikit terkejut. Ia tak menyangka pria di hadapannya ini akan langsung berteriak seperti itu. Cukup menyebalkan, memang. Namun setelah apa yang dikatakan Gallen terproses di kepalanya, ekspresi wajah gadis itu pun langsung berubah menjadi gembira.
"Sungguh? Anda benar-benar menerima saya?" Gallen berdecak mendengar pertanyaan gadis itu. Tentu saja, tak mungkin dia berubah pikiran dan menarik kembali perkataannya. Itu adalah pantangan yang tak mungkin dilakukan oleh pria itu.
"Terimakasih, saya pasti akan bekerja dengan baik!" Zoya benar-benar terlihat bahagia.
Gallen menengok ke belakang, menemukan Alby yang memberikan dua jempolnya pada sang bos. Yah, sudahlah. Memang benar bahwa dia tak suka jika ada orang lain di rumahnya. Namun jika itu dilakukan untuk menyenangkan orang lain, Gallen tidak punya pilihan lain.
"Seharusnya kau tidak perlu sampai putus asa seperti ini hanya karena aku menepis tanganmu. Dasar bodoh." Gallen mengalihkan pandangannya. Entah mengapa rasanya malu sendiri. Bukankah gadis ini sampai melakukan hal itu demi dirinya? Apakah mungkin ...
Dia menyukaiku?
"Hah?"
Gallen menatap wajah bingung Zoya. Apa katanya tadi? Hah? Apa dia terkejut karena Gallen mengetahui keputusasaannya atau jangan-jangan ...
"Saya tidak melakukan itu karena putus asa atas tindakan Anda, kok. Saya lupa bagaimana cara masuk ke kamar, saya juga lupa bagaimana cara masuk ke lift, tapi Anda kan sudah meninggalkan saya dan turun sendirian. Makanya saya diam disini untuk menunggu Anda pulang." Katanya.
Gallen tak menjawab, hanya menatap gadis itu dengan tatapan seolah berkata 'lebih baik kau tidak bicara lagi'.
Kan, benar. Justru aku yang kelihatan terlalu berharap. Dasar bodoh!
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
Amelia Syharlla
🤣🤣🤣🤣🤣🤣❤️❤️❤️❤️🌹🌹🌹🌹
2023-02-23
1