Dua Minggu telah berlalu. Kejadian di hotel malam itu, tak lekang dalam ingatan Kiko.
Pertemuan pertamanya dengan Gavi. Sering kali muncul ketika ia bangun tidur. Seolah otaknya telah disetting sedemikian rupa. Untuk terus mengingat pria berambut hitam.
Hingga akhirnya sore tadi ia memutuskan ke Jakarta. Untuk menemui teman SMA-nya dulu di Pandeglang.
“Masih suka sama Gavi?” Putri yang baru keluar dari pintu kamar bertanya.
Membuat Kiko yang tengah asyik Menonton siaran motor GP. menoleh.
“Eh ...maksudnya?” tanyanya dengan wajah memerah. Bagaimana mungkin Putri tahu tentang Gavi.
Putri mengerutkan keningnya, duduk di samping Kiko, mengingat.
“Loh bukanya dia pemain sepak bola yang lu idolakan? Bahkan lu pernah bilang kalau punya anak mau dikasih nama Pablo Martín Páez Gavira. Astaga sebegitu bucinnya lu dengan pemain liga Barcelona?”
Kiko nyengir, ia mulai menggerutuki kebodohannya. Sudah jelas Gavi yang dimaksud Putri adalah. Pesepakbola yang tak bisa mengikat tali sepatu.
Bukan Gavi, pria yang pernah melakukan geladi kotor dengannya. Untuk membuat anak.
“Sepertinya aku harus ganti wallpaper dan cassing deh,” gumamnya pelan. Sadar jika dari tembok kamar, cassing ponsel, wallpaper terpampang foto Gavira. Mungkin karena koleksinya pula yang menjadi pemicu. Ia teringat kejadian di kamar 105.
“Meskipun membuang foto-fotomu itu sulit By. Tapi aku harus melakukannya. Demi bisa lepas dari bayang-bayang Gavi,” gumamnya melepaskan cassing ponselnya dengan kesal.
Suara dering telepon milik Putri memekakkan telinga. Perempuan itu langsung menyambar ponselnya yang tergeletak di karpet.
“Halo?”
Kiko menoleh menatap Putri sejenak. Tangannya meraih remote mengurangi volume televisi. Supaya Putri bisa lebih jelas. Mendengar suara orang di seberang sana.
“Iya Bu, aku pulang sekarang,” kata Putri.
Kiko memandang wajah temannya yang berbuah.
“Ada apa?” tanyanya ketika Putri mematikan sambungan.
“Anak gua sakit, gua harus ke Banten sekarang,” jawab Putri bangkit dari duduknya.
“Tapi ini sudah malam Put! Tunggulah sampai hari esok.” Kiko ikut bangkit, mengikuti langkah Putri masuk kamar.
“Gua tahu, tapi bagaimanapun seorang ibu. Enggak akan bisa tenang saat anaknya sakit. Apalagi hanya diam menunggu pagi,” ujarnya mengambil switer di gantungan baju.
Kiko terdiam, ia tahu dirinya tak pantas menyuruh Putri tetap tenang. Sebab ia tak pernah merasakan dan berada di titik seperti Putri saat ini. Apalagi menjadi singgel parents.
“Gua temani ya?” tawarnya.
“Jangan, lu kan baru sampai. Gua tahu lu capek. Mending istirahat saja di sini,” saran Putri sembari memakai tas selempang.
Memegang kedua tangan Kiko. Dengan tatapan penuh harap.
“Omong-omong apa gua boleh meminta bantuan dari lu?” tanyanya sungkan.
“Tentu saja,” jawabnya terdengar enteng.
“Tiga hari yang lalu, gua baru menjadi office girl di perusahaan. Untuk diterima jadi OB. Sebulan pertama tidak boleh izin. Sekalipun urgent, jika tidak kita akan dipecat dan diharuskan membayar denda.”
“Lu tahukan, kondisi gua bagaimana? Sangat susah untuk mencari pekerjaan dengan ijazah SMA. Perusahaan yang gua kerjain bayarannya lumayan dibanding yang lain.”
“Iya terus apa yang bisa gua bantu?” Menyilangkan tangannya, bersandar di samping pintu.
Putri terdiam permintaannya kali ini. Bisa dibilang tidak pantas. Namun karena kondisi urgent, ia harus mengutarakan keinginannya.
“Lu mau enggak gantiin gua jadi OB?” tanyanya ragu.
Kiko menghela nafas panjang. Dengan berat hati ia mengangguk pelan.
Percakapan panjang itu diakhiri dengan pelukan.
Waktu berjalan begitu cepat. Hingga tak terasa pagi telah datang. Kiko bangun lebih pagi, agar tidak telat.
Di usianya yang hampir memasuki kepala tiga. Tak pernah terpikirkan olehnya untuk menikah di waktu dekat. Menikmati waktu luang. Tanpa memiliki banyak tanggung jawab. Adalah hal yang menyenangkan. Cukup baginya menjadi seorang putri dan saudara, serta hamba. Ia tak mau membebani pikirannya dengan tanggung jawab sebagai seorang istri dan ibu. Yang ia yakini akan memutar balikkan kehidupannya 180 derajat.
“Watel eshot ...watel eshot (tembakan air ...tembakan air)”
Kiko terkejut ketika ia baru sampai di depan pintu kantor. Tiba-tiba seseorang anak menembaki wajahnya dengan pistol mainan.
“Astaga ini anak siapa?” gumamnya segera menutupi wajahnya dengan lengan. Ketika anak lelaki berumur kurang lebih dua tahun itu. Kembali menembakinya.
Sejurus kemudian beralih menembaki karyawan yang baru datang, membuat sebagian karyawan berlari terbirit-birit. Menghindar.
Anak lelaki itu tertawa, meloncat-loncat kegirangan. Berlari ke tempat resepsionis. Kembali menekan pelatuk pistol mainannya. Yang mengakibatkan air muncrat mengenai pipi resepsionis, yang tengah berbicara lewat telepon genggam.
Masih di gedung yang sama. Dilantai teratas. Sosok pria berjas membuka pintu ruangan pribadinya. Matanya membulat sempurna mendapati semua dokumen kocar-kacir dilantai.
“MEGGIE...” teriaknya keluar ruangan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments