Gavi berjalan cepat menuju ruangan Meggie. Tak perlu meminta persetujuan ia langsung mendorong pintu yang terbuat dari kaca.
“Meggie...”
Perempuan yang sedang fokus pada layar laptop, terperanjat.
Menatap wajah bosnya yang merah padam.
“Ada apa?” tanyanya heran, terakhir kali. Melihat Gavi marah dua Minggu yang lalu. Ketika akun lambe gurah. Memposting video bosnya sedang berlari mengejarnya. Dengan bahasan ‘bercocok tanam'. Hingga menjadi headline berita seminggu terakhir.
“Ada apa, ada apa. Lu gimana sih cari bodyguard enggak ada gunanya. Semua berkas yang ada di meja berantakan. Apa mereka hanya maka gaji buta? Ngurus satu anak saja enggak becus,” maki Gavi kesal.
“Ya ...ya lu jangan gitulah Gav. Tenang ...tenang....”
“Dengerin gua, lu harus sadar satu hal. Bahwa bungsu lu itu. Licin kayak belut, enggak bisa diam. Kalau mereka kerepotan ya wajar. Yang patut disalahkan lu. Waktu itu lu buatnya bagaimana, kenapa tuh anak enggak bisa diam.”
Gavj menatapnya tajam. “Ini bukan saatnya bercanda Megg!”
Gavi segera keluar dari ruangan. Ia menekankan tombol earphone yang ada di telinga untuk menghubungi seseorang.
“Dimana kalian? Dan dimana putraku?” tanyanya masuk ke dalam lift. Sebelum lift tertutup Meggie yang tadi mengikuti dari belakang. Ikut masuk.
“Maaf Pak! Kami telah kehilangan jejaknya.”
“Apa?” pekik Gavi tertahan. “Tidak berguna,” ujarnya mengakhiri sambungan.
“Magg, kita undur meeting mingguan hari ini. Dan ya satu lagi, ruangan gua harus bersih sejam lagi.”
Di lantai dasar, bocah lelaki itu sudah membuang pistolnya. Kini ia tengah asyik menepuk bokong beberapa karyawan. Membuat karyawan menoleh. Mencubit pipinya.
“Appa!” teriaknya berlari dari kejaran karyawan yang ingin mencubit pipinya kembali.
OB yang mendorong trolley berisikan tumpukkan kardus minuman. Tak melihat jika ada bocah kecil berlari ke arahnya.
Melihat hal itu seluruh karyawan menjerit. Apalagi tumpukan paling atas bergerak tak seimbang.
Kiko yang tadi mematung di ambang pintu. Langsung berlari mengangkat tubuh bocah itu. Alas sepatu yang licin, membuat tubuh Kiko yang mendekap tubuh si kecil. Hampir terjatuh ke lantai. Jika seandainya. Sosok pemuda berbadan tegap tak menahan tubuhnya dari belakang.
Semua karyawan bernafas lega. Pemuda penyelamat itu segera melepaskan tangannya yang memegang pundak Kiko.
“Kau baik-baik saja?” tanya pemuda itu.
Kiko mengangguk beralih menatap bocah lelaki yang ada dalam dekapannya. “Kamu baik-baik saja?”
Bocah lelaki itu diam.
“Aku tanya kamu baik-baik saja? Jika iya kamu cukup mengangguk. Dan jika tidak bisa geleng-geleng.”
Bocah lelaki itu mengangguk pelan, bibirnya yang mungil dan pipinya yang gembul. Membuat Kiko gemas, meskipun tadi sempat kesal karena ditembaki dengan air.
Kiko tersenyum menurunkan bocah lelaki itu dari gendongannya.
Bocah lelaki itu langsung membuka tas selempang berbentuk tabung. Memberikan kartu berwarna kuning.
Kiko menerimanya, bertekuk lutut. Membaca tulisan di kartu kuning.
'Thanks you'
“Oh maksudmu, kau ingin mengatakan terima kasih padaku?” tanya Kiko yang mendapat anggukan kembali.
Semu karyawan terdiam melihat interaksi dua orang di depan mereka.
Kembali bocah lelaki itu mengancungkan kartu berwarna hijau.
'Sorry' Dahi Kiko berkerut, mencerna.
“Apa kau menyesali perbuatanmu. Karena ....” Menggantung ucapannya mencari kalimat yang tepat. “Menjaili orang lain?”
Bocah itu mengangguk, memberikan dua kartu lagi.
Kiko tersenyum mengusap rambutnya. Membaca kartu merah.
‘Appa is angry'
“Appa? Apa itu sebutan untuk ayahmu?” tanyanya memastikan.
Bocah lelaki itu mengangguk lagi.
Kiko terdiam, mencoba menafsirkan. Tulisan dikartu merah yang ada gambar kepala singa.
“Apa kau berpikir Appa akan memarahimu? Hanya karena kamu berlarian di lobby dan main pistol air?”
Mengangguk lagi.
Kiko langsung memegang kedua pundak bocah berambut ikal yang menutupi sebagian dahi.
“Aku yakin Appa tidak akan memarahimu. Hanya karena bermain di lobby. Tapi jika Appa marah, beri ini,” usul Kiko mengacungkan kartu hijau. Menyengir, namun bocah di depannya. Bergeming.
Membuat Kiko berpikir, bagaimana cara melipur bocah lucu ini.
“Kalau Appa marah panggil nama Kakak tiga kali. Kiko ... Kiko.”
“Memang kamu titisan dewa? Bisa datang saat orang memanggil namamu tiga kali,” sahut seseorang yang membuat Kiko mendongak.
“Eh ...” Kiko terdiam, ketika pemuda yang menyelamatkannya menatap maniknya.
Bersamaan dengan itu dua orang berjas hitam. Keluar dari lift berlari mendekati kerumunan. Membuat semua karyawan membelah.
“Tuan muda!” ujar salah satu bodyguard mendekati putra bosnya.
Kiko mendongak berdiri dari jongkoknya.
“Kalian siapa?”
“Saya yang bertugas mengawasinya.”
“Benarkah? Kau tahu tidak dia hampir celaka? Saya harap ini yang terakhir kali Anda melakukan kecerobohan. Dan ya katakan pada ayahnya yang terdor itu. Untuk menjaga anaknya, satu lagi. Ingatkan dia untuk tidak memarahi putranya,” cetus Kiko menaikkan tali tas punggungnya yang merosot.
“Anda siapa?” tanya bodyguard itu dengan dahi berkerut.
“Kalian tidak perlu tahu siapa saya,” ujarnya meninggalkan kerumunan namun sebelum itu ia melambaikan tangannya ke arah bocah yang tersenyum padanya.
“Kamu berani banget. Memang kamu tahu siapa ayah anak itu?” tanya pemuda penyelamat mengekorinya.
“Tidak peduli! Eh omong-omong siapa namamu?” tanya Kiko membuka maskernya.
“Brayen!” Mengulurkan tangannya.
Kiko tersenyum menjabat tangan Brayen.
“Senang berkenalan denganmu. Tempat OB dimana?”
“OB? Benarkah cewek secantik kamu mau jadi OB?”
Kiko tertawa, tak menimpali.
Disisi lain Gavi baru keluar dari lift. Berlari ke arah putranya. Semuanya karyawan telah bubar.
“Kamu dari mana saja? Kenapa bikin Appa khawatir?” Merapikan rambut putranya yang menutupi mata.
Putranya langsung mengancungkan kartu berwarna hijau.
“Permintaan maaf akan di terima. Jika Vino, tidak ngilang-ngilang lagi.”
Vino mengangguk memeluk leher Appa. Membuat Appa mencium pipinya, dan mengangkat tubuhnya memasuki lift.
Setelah berganti baju, seragam OB. Kiko keluar bersamaan dengan itu, seorang perempuan yang memakai jas dan rok span. Mendekat ke arahnya.
“Kamu tolong bersihkan ruang direktur utama.”
Kiko mengangguk pelan, namun sebelum ia bertanya dimana ruangan direktur utama. Perempuan berambut panjang berjalan meninggalkannya.
“Ah bodoh banget, kenapa main he’em aja,” ujarnya menepuk jidatnya. Cepat ia berjalan ke pantry . Siapa tahu seseorang yang bisa memberikan informasi.
Tok! Terlebih dahulu ia mengetuk pintu yang terbuka lebar. Membuat penghuni pantry menoleh.
“Permisi, maaf saya mau tanya. Dimana ruangan direktur utama?”
Tiga office girl saling pandang.
“Kamu anak baru ya?”
Kiko mengangguk pelan.
“Em ada di lantai teratas, saran gua lu harus hati-hati jangan sampai figura berwarna putih yang terletak di atas meja kerja, lecet apalagi pecah. Bisa-bisa Bos besar marah....”
“Loh memang kenapa? Bukannya kita bisa menggantinya lagi ya?” Kiko heran, mengapa ada manusia yang seperti itu. Marah karena barangnya rusak. Padahal ada dua cara untuk memulihkan kembali. Perbaiki atau beli yang baru.
“Bos tidak melihat barangnya. Melainkan ada kenangan yang tidak bisa dikembalikan jika, pigura itu sampai pecah.”
“Itu adalah pigura yang dibeli langsung oleh almarhumah istrinya, ketika hamil anak pertama.”
“Oh pantas, berati bos kita singgel parents? Berapa umur anaknya?”
Salah satu dari office girl menyahut, “Mungkin dua tahunan lah, sebenarnya almarhumah Bu Sabrina bukan istri pertamanya—”
“Heh maksudnya, Bos punya dua istri gitu?” potong Kiko terkesiap.
“Heh ngawur ... enggak begono. Menikah dengan Bu Sabrina, statusnya sudah duda bertahun-tahun. Istri pertamanya menggugat cerai, 7 tahun pasca menikah. Hak asuh anak mereka jatuh pada Pak Gavi....”
Mendengar nama Gavi disebut. Kiko menelan ludahnya kasar.
'Tidak ini hanya kebetulan. Nama Gavi bukan hanya dua orang di dunia ini. Tidak, ini tidak benar' batin Kiko menyangkal. Mimik wajahnya berubah pucat. Membuat OB bernama Diah khawatir.
“Kamu sakit?” Diah berjalan mendekati Kiko, memegang dahi Kiko.
“Tidak kok, biasa wajah gua memang bisa berubah kayak bunglon. Jadi sun santai ... terus anak bos yang pertama sekarang umur berapa?” tanyanya kembali memastikan bahwa Gavi pemilik perusahaan yang ia kerjai sekarang. Berbeda dengan Gavi yang ia temui Minggu lalu.
“Berapa sih Ta? SMA enggak sih?” tanya Diah menoleh kearah Tata dan Anna.
“Iya kelas X....”
Kiko menghela nafas lega.
'Benarkan enggak mungkin Gavi itu, tidak mungkin pula anaknya sebesar itu. Jadi aman, aku tidak perlu cemas. Karena ceritaku dan dia cukup sampai di hotel' batinnya tersenyum tipis.
Membuat teman seprofesi dengannya. Memandangnya aneh.
“Kenapa senyam-senyum. Jangan-jangan lu naksir sama bos ya?” ujar Diah menyenggol bahu Kiko.
“Eh ...ya enggaklah. Masa iya sama Om-om. Enggak selera, dahlah gua cabut dulu mau bersihin ruangan bos,” pamitnya berlari keluar pantry.
Membuat semua temannya menggeleng dengan keanehan Kiko.
“Eh...” Kiko kembali menyembulkan kepalanya. “Gua justru mau gebet anaknya kalau cowok. Biar jadi berondong gua haha.”
“Nah kalau anaknya setengah jadi, lu mau apa?” seloroh Tata.
“Eh maksudnya?” Kiko tercekat.
“Ya kayak Mimi peri, Mak Betti hingga Lucita Luna.”
Kiko ternganga, menggeleng meninggalkan temanya yang menertawakannya.
Sumber inspirasi aksi penyelamatan Vino (Unforgettable Love episode 1)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments
Widya Sari Widya Widya
lanjut lagi
2022-12-29
1