The Sandwich Generation

The Sandwich Generation

Uang sekolah

Waktu sudah menunjukan pukul 6.45 tapi Alin adiku nomor 1 belum juga beranjak dari meja makan mukanya tampak kusut dan seperti ogah ogahan untuk berangkat kesekolah.

" Kak sudah ada belum uang untuk membayar spp ku, aku malu " mendengar hal itu aku menjadi berang Alin seolah tidak mau tahu kondisi kakaknya yang hanya spg di sebuah pusat perbelanjaan tentunya harus menunggu hingga tanggal gajian tiba.

" Kamu ini ngerti keadaan kakak sedikit kamu Kira kakak punya percetakaan uang?!."

" Tapi aku malu kak sudah 3 bulan menunggak."

Aku terdiam sesaat mendengar ucapan Alin baru saja aku pernah di posisi Alin , harus memasang muka tebal karena oom belum bisa membayar uang spp kala itu.

Ayah yang hanya berprofesi sebagai tukang jahit memang tampak kualahan membiayai sekolah ke 3 adik ku dan sebagai satu satunya anak yang sudah bekerja dan belum menikah harus rela menjadi tulang punggung keluarga ku .

Dua abang dan satu kakak perempuan ku tidak ada andil nya sama sekali di keluarga ini jangan kan ikut membantu menopang perekonomian keluarga mereka sendiri sudah kembang kempis.

Dua abang dan satu kakak perempuan ku sudah menikah itu sebabnya mereka tidak bisa membantu meringan kan beban ayah .

Aku melirik pada cincin yang melingkar di Jari tengahku aku berencana untuk menjual cincin ini sebelum aku berangkat kerja nanti kebetulan hari ini aku shift siang, jadi ada waktu untuk mampir ke toko mas tempat membeli cincin ini 3 bulan yang lalu.

Sejujurnya berat bagi ku untuk menjual kembali cincin ini, tapi mendengar adik ku terus di tanya guru kapan akan membayar uang spp nya jadi tidak tega.

" Sa mesin ayah harus di perbaiki kalau tidak bagaimana ayah bisa mengerjakan borongan jas yang ayah ambil."

Rasanya ingin menangis ,tadi pagi Alin yang mengeluh tentang uang spp sekarang ayah mengatakan bahwa mesin jahitnya rusak.

Untuk membayar uang spp alin saja aku harus rela melepas cincin yang sedia nya aku jadikan tabungan ,uang penjualan cincin itu tidak seberapa setelah di pangkas untuk membayar spp alin mungkin hanya akan tersisa sekitar 1 jutaan kurang lebih.

Dan kini baru memasuki pertengahan bulan sampai tanggal gajian ku tiba masih ada 11 hari lagi uang sisa penjualan itu rencananya aku jadikan cadangan sampai aku menerima gaji.

Tiga tahun bekerja aku sama sekali tidak punya tabungan di rekening ku, uang gajian hanya numpang lewat.

Untung saja mas Jaka sangat pengertian mungkin karena sama sama dari latar belakang keluarga yang pas pasan, mas Jaka bisa mengerti keadaan ku , tidak jarang mas jaka memberi kan bantuan pada meski gajinya pun sama dengan ku sesuai UMR.

Mas Jaka satu pekerjaan dengan abang nomor dua ku Johan, sama sama sebagai karyawan pusat perbelanjaan ,sama halnya dengan aku hanya beda perusahaan tempat kami bekerja.

" Sabar dek insha allah jika kamu ikhlas membantu orang tu rezeki mu akan lancar." ujar mas Jaka mengibur ku. Saat aku mengeluh tentang keadaan ku.

Keesokan harinya aku memberikan uang hasil penjualan cincin ku pada Alin.

" Nich bayar spp mu, sekolah yang bener hargai perngorbanan kakak mu!."

" Iya kak kelak akan aku ganti semua pengorbanan kakak."

Aku mengahampiri ayah yang termenung di depan kios memandangi mesin jahitnya yang rusak ada rona kesedihan terlihat di wajahnya.

" Yah ini uang untuk perbaiki mesin ayah."

Lelaki tua yang aku panggil ayah itu tampak tengah termenung sambil menghisap rokok kretek kepulan asap keluar dari mulut dan hidung nya pandangannya tampak menerawang jauh.

Aku tahu mngkin ayah tengah merenungi nasibnya diusia nya yang menjelang senja ayah masih harus banting tulang demi asap dapur terus mengepul.

Tubuhnya terlihat ringkih dimakan usia , ayah sepertinya tidak mendengar perkataan ku karena dia masih asik dengan rokoknya.

Aku menghampiri dan duduk di bangku tepat di hadapannya di lapak menjahit nya yang ayah bangun di halaman samping rumah kontrakan kami .

" Yah." panggil ku sekali lagi.

Ayah tampak sedikit terkejut melihat ku yang sudah duduk di hadapannya kemudian mematikan rokok yang nyaris tinggal gabusnya itu.

" Sudah ada uang nya sa?."

Aku langsung menyodorkan 3 lembar pecahan seratus ribuan ketangannya ayah tampak lega karena bisa segera memperbaiki mesin jahitnya.

"Kamu sudah gajian?." Tanya ayah seolah ingin tahu dari mana uang itu berasal.

" Belum yah aku menjual cincin kemarin sekalian untuk membayar spp alin." sahut ku.

Ayah menghela nafas panjang wajahnya tampak menjadi murung begitu mendengar dari mana asal uang yang ku berikan padanya.

"Nanti kalau ayah sudah dapat upahnya ayah ganti."

"Tidak usah di fikirkan yah, yang penting mesin ayah bisa di perbaiki."

Kadang aku merasa hidup ini tidak adil pada keluarga ku sejak muda hingga kini me jelang senja ayah ku belum pernah merasakan rasanya hidup sejahtera.

Ayah bukan lah seorang pemalas meski dengan keahlian yang pas pasan ayah berusaha merubah nasib keluarga tapi takdir tidak berpihak padanya.

Hingga mempunyai 7 anak nasib ayah tidak berubah tetap menjadi penjahit, sedangkan mamak membantu ayah dengan menitipkan peyek yang di kemas dengan harga 5 ribuan yang ia titipkan pada warung dan hasil penjualannya tidak bisa diambil tiap hari kadang 1 minggu baru bisa di ambil.

Dari 30 bungkus yang ia titipkan pada masing masing warung yang ia titipi belum tentu habis terjual.

Peyek yang tidak habis terjual itu kami jadikan sebagai lauk ,kadang juga mamak menerima orderan membuat kue semprong saat lebaran keahlian itu dia dapatkan dari almarhum nenek.

Yuni kakak perempuan ku pernikahannya dalam masalah , suaminya tidak bertanggung jawab meski sudah di karunia dua orang anak , kerjanya malas malasan dan sering mabuk minuman keras.

Seringkali kak Yuni membawa ke dua anak nya kerumah ayah agar mereka bisa makan kenyang dan anaknya bisa dapat uang jajan dari ayah atau pun aku.

Keadaan kak Yuni dan bang Nasrul abang tertua ku membuat beban fikiran ayah dan mamak kian bertambah berat.

Sedangkan bang Johan kehidupannya meski lebih baik dari kak Yuni dan bang Nasrul tapi belum bisa membantu karena masih pas pasan.

Di bawah Alin masih ada Dita dan Arif yang masih duduk di bangku sekolah dasar, karena mereka sekolah di sekolah negeri jadi aku tidak begitu terbebani dengan biaya sekolah.

Tapi tetap saja aku lah yang harus memikirkan kebutuhan mereka terutama saat menjelang hari raya tiba.

Uang gaji dan THR habis aku bagi bagi untuk mereka aku jarang memikirkan diri sendiri, bagi ku melihat keluarga ku bahagia saja sudah menjadi suatu kebanggaan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!