Kegundahan

“Bagaimana dia bisa tahu kehidupanku? Siapa dia sebenarnya?” batin Nayra.

Saat kepergian Arkha, Fatimah pun langsung masuk ke dalam ruangan anaknya. Wanita itu melihat Nayra termenung dengan pandangan kosong.

“Kamu kenapa, Nak? Kenapa melamun? Apa ada sesuatu yang membebani pikiranmu?”

“Enggak kok, Bu. Nayra hanya berpikir bagaimana bisa membantu Ibu jika kaki Nayra aja nggak bisa buat jalan.”

“Nak, jangan khawatir. Rezeki sudah ada yang ngatur, nggak mungkin kelaparan, doakan saja s\mudah-mudahan jahitannya rame.

“Iya, Bu.”

Nayra hanya bisa termenung memikirkan nasibnya sekarang, dia hanya bisa merepotkan sang ibu. Padahal selama ini dia yang selalu berjuang untuk membahagiakan ibunya. Tanpa terasa, gadis itu tiba-tiba saja meneteskan air matanya, tetapi dia dengan cepat mengusap buliran hangat itu sebelum ibunya menyadari kesedihannya.

Tak terasa, gelapnya malam kini berganti dengan sinar fajar, cahayanya membias melalui jendela ruang inap Nayra. Ibunya kini tengah berada di kantin mengisi perutnya.

Sejak semalam, Nayra bahkan sulit untuk memejamkan matanya, meskipun efek obat membuatnya kantuk, Akan tetapi, rasa kantuk itu seolah tak dirasa ketika dia harus menyiapkan jawaban dan mengambil keputusan di hidupnya. Perihal ucapan Arkha yang terus berputar diingatkannya, kebingungan menyelimuti hati dan pikirannya.

Benar saja, orang yang tengah dia pikiran, tiba-tiba saja mengetok pintu, sontak membuatnya terkejut.

“Selamat pagi, Nona Nayra. Apa kabar hari ini?” tanya Arkha seraya memberikan bunga yang begitu sedap dipandang mata. Lelaki itu seolah tak bosan memberikan Nayra bunga setiap paginya karena baginya, bunga adalah sebagai ungkapan istimewa pada seorang wanita.

“Pagi,”  jawab Nayra singkat dan hanya melirik sekilas. Namun, dia menerima bunga tersebut.

“Bagaimana, apakah aku sudah bisa mendengar jawabanmu sekarang?”

Nayra terdiam sesaat, menyusun kalimat yang akan dia ucapkan. Setelah memikirkan beberapa pertimbangan sejak malam tanpa tidur, Nayra akhirnya memutuskan untuk menerima tawaran Arkha.

“Ya, saya bersedia. Tapi, jangan berpikir aku wanita murahan yang hanya mau hartamu. Aku melakukan ini semua demi ibuku.”

“Baiklah, aku sangat senang mendengarnya. Silakan baca dulu surat perjanjiannya, dan silakan tanda tangan di atas materai.” Arkha menyodorkan map berisi satu lembar kertas berisi perjanjian yang sesuai dengan kesepakatan.

Nayra pun membacanya dengan teliti. Tak lupa, dia juga mencerna satu persatu kalimat yang tertulis di sana, memastikan agar tidak ada kecurangan. Setelah dia membaca poin-poinnya, kalimat terakhir membuat Nayra tercengang. Dia membelalakkan matanya dengan sempurna.

“Apa ini maksudnya? ‘pihak kedua harus tinggal di apartemen milik pihak pertama selama masa pemulihan’. Hei, apa ini tidak salah? Buat apa aku tinggal bersamamu? Jangan berpikir  macam-macam, ya!”

“Tenang, aku lelaki baik-baik. Aku tidak akan mungkin berbuat aneh-aneh. Aku hanya ingin kamu dalam pengawasanku. Dan nanti juga ada satu perawat yang akan stand by menjagamu.”

Mendengar penuturannya, Nayra sedikit tenang. Itu artinya dia tidak berduaan dengan lelaki itu di sebuah apartemen.

Jika dipikir dengan akal sehat, penawaran Arkha memanglah sangat menguntungkan bagi Nayra. Namun, wanita itu hanya keberatan saat dia membayangkan pernikahan dengan seorang lelaki asing yang baru ia kenal. Bahkan, untuk perkara cinta, dia tidak pasti tidak akan mudah mencintai lelaki lain di saat hatinya baru saja tersakiti.

Nayra juga sudah memantapkan keputusannya sejak dalam benaknya terbesit nama Zayn. Dia seolah membalArkhan dendam lelaki tersebut—menikah dengan lelaki lain—mungkin akan membuat Zayn juga tersakiti dan melegakan hatinya.

Tangan Nayra menyahut pena yang ada di nakas, tanpa pikir panjang, dia langsung menandatangani surat perjanjian tersebut.

“Berarti, deal tanpa paksaan, ya?” Arkha mengulas senyumannya pada Nayra. Lelaki itu lantas mengulurkan tangannya, mengajak Nayra untuk bersalaman sebagai kesepakatan.

Wanita itu mengangguk dan menjabat tangan Arkha. “Ingat, ini semua aku lakukan demi ibuku. Jangan mengharapkan cinta dariku. Itu tidak akan mungkin.”

Arkha lagi-lagi tersenyum melihat sikap Nayra. “Tentu saja, aku bisa memakluminya.”

Tak lama kemudian, Fatimah datang dan masuk ke kamar Nayra. Mendapati keberadaan Arkha di sana, wanita itu menyapanya dengan ramah.

“Bu, maaf sebelumnya. Barusan kita sudah mengobrol, dan rencananya Nayra akan ikut bersama saya untuk penyembuhan. Apa Ibu mengizinkan?" tanya Arkha sopan.

“Maksudnya gimana, Arkha?”

“’Jadi, Nayra setuju untuk melakukan perawatan dengan dokter spesialis kenalan saya, Bu. Tapi, akan susah jika Nayra berada di kampung, jadi dia harus tinggal di apartemen saya.”

“Apartemen?”

Fatimah tampak terkejut mendengar penuturan Arkha yang akan mengajaknya anaknya tinggal di apartemen, sedangkan mereka tidak ada ikatan apa pun. Rasa khawatir sebagai ibu tentu saja dirasakan oleh Fatimah. Tidak mungkin dia tega melepas anaknya yang sedang sakit dan memasrahkannya kepada orang lain. Meskipun lelaki itu baik tetap saja dia baru mengenalnya, dan belum tahu bagaimana sifat aslinya.

“Bu, Nayra mau cepet sembuh, pengen bantuin Ibu, Nayra juga pengen sukses nantinya.”

“Maaf, Bu. Saya hanya menawarkan bantuan untuk Nayra. Tapi, jika Ibu keberatan, mungkin nanti kita atur lagi jalan keluarnya.” Arkha berusaha menjelArkhan pada Fatimah agar wanita itu mau mempercayainya dan menurut apa yang dikatakan Nayra.

“Baiklah, Ibu tidak akan ikut campur masalah kalian. Apa pun itu, jika Nayra sudah mempunyai keputusan, Ibu akan mendukungnya. Nayra sudah cukup dewasa untuk menentukan hidupnya.”

Wanita itu hanya langsung menyetujui ucapan Nayra, tetapi nanti jika Arkha telah pergi, dia akan meminta penjelasan pada anaknya.

***

Beberapa hari kemudian, Nayra sudah diperbolehkan untuk pulang, dia meminta waktu pada Arkha untuk tinggal di rumahnya bersama sang ibu sebelum dirinya dibawa oleh Arkha ke apartemennya untuk pengobatan lanjutan. Juga untuk memenuhi janji dan kesepakatannya melangsungkan pernikahan setelah sembuh nanti.

Arkha pun menyetujuinya. Lelaki itu memang memperbolehkan Nayra untuk hidup di kampung bersama ibunya, tetapi bukan berarti lelaki itu melepasnya begitu saja, dia tetap dengan pendiriannya untuk terus mengirimkan perawat yang bakal mengurusnya.

Sore hari, di tepi danau. Zayn mengapit sebatang rokok di tangannya dengan asap yang mengepul, menghisapnya dengan kasar sambil menikmati istirahatnya setelah hampir seharian berkutat di restoran pamannya.

Sejak kepergian Nayra dari restoran tersebut, Zayn merasakan kosong yang begitu dalam. Hatinya seperti mati. Kesalahan fatal yang sudah dibuatnya mengakibatkan gadis yang ia cintai, sekarang begitu membencinya. Bahkan, sekali pun dia tidak diizinkan untuk menjenguk Nayra di rumah sakit.

"Aku memang lelaki brengsek! Arghhh ...!" umpat Zayn pada dirinya sendiri.

Zayn melangkahkan kakinya menuju sebuah kursi panjang di tepi danau, ia terus mengingat semua tentang Nayra.

“Ra, bukan maksudku untuk menyakiti dua hati perempuan sekaligus, tapi yakinlah rasa ini bukan aku yang mau. Bahkan jika aku diharuskan untuk memilih, aku tidak akan mungkin tega menyakiti kamu dan dia, dan bukan hanya kamu saja yang sakit Ra, aku juga. Hatiku sangat perih ketika kamu dengan lantang memakiku saat di taman itu, padahal bibirmu tak pernah sekalipun meninggikan suara terhadapku, batin Zayn.

“Apa kamu benar-benar membenciku? Kau tau? Aku juga sangat menderita berpisah denganmu. Tolong, jangan tinggalkan aku, aku masih sangat membutuhkanmu di sampingku.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!