Kekesalan Xia

Suasana menjadi hening. Kemurungan Xia membuat Tama bingung. "Perubahan moodnya sangat cepat sekali. Tadi terlihat ceria, kenapa sekarang dia murung ya?" batinnya.

"Are you okay?" tanya Tama.

Xia tidak langsung tanggap. Dia masih sedih mengingat tentang kakak kesayangannya memiliki dua adik perempuan.

"Xia, kenapa kamu jadi diam? Kak Tama bertanya padamu itu. Apa kamu sungguh sakit karena bajumu basah?" timpal Sean, juga ingin tahu keadaan Xia.

Xia menggelengkan kepala. Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Xia, Sean pun juga tidak mau mendesaknya menjawab. Tapi Sean tahu apa yang terjadi dengan Xia saat itu.

"Sean, apa kita masih jauh dari tempat tinggalnya Chen? Sepertinya jauh lebih baik jika aku menginap di hotel saja," tanya Tama, kepada Sean menggunakan bahasa Indonesia.

"Tenang saja. Kami akan menyambutmu dengan baik di sana. Tuan pasti akan sedih jika kamu menolak niat baiknya ini," jawab Sean.

Tama mengangguk patuh. Pria ini masih asing di tanah Tiongkok karena memang dirinya belum pernah menginjak negara tersebut. Sering kali Tama malah pergi ke Korea karena adik dari Chen juga ada yang tinggal di sana.

Antara Sean dan Chen memang sudah bisa menguasai bahasa Indonesia dengan baik. Setelah mereka tahu siapa orang tua kandung dari Chen, ketuanya belajar bahasa Indonesia secara kilat dengan guru yang memang sudah profesional.

Sekitar 7 menit mereka sampai ke kediaman keluarga Wang. Tanpa mengatakan sepatah katapun, Xia turun dari mobil dan berlari masuk dan langsung ke kamarnya.

"Ada apa dengan gadis itu?" tanya Tama kepada Sean.

"Dia memang seperti itu. Pasti dia merasa cemburu karena Tuan lebih memilih untuk menjemput kedua adiknya di Bandara dibandingkan menjemputnya di sekolah," jelas Sean.

Tama menatap bayangan Xia yang sudah berlalu. Dia tidak tahu bagaimana rasanya cemburu dengan saudara karena dirinya tidak memiliki saudara kandung. Kecemburuan Tama juga tidak terlalu besar terhadap para sepupunya yang memiliki saudara karena kedua orang tuanya sukses mendidiknya dengan akhlak yang baik.

"Kamarmu ada di sebelah kamarnya, Xia. Di sana, oke? Aku akan merapikan tempat tidur yang lain supaya bisa ditempati oleh kedua adik dari Tuan Chen ketika sudah sampai," ucap Sean, menunjukkan kamar Tama menginap.

"Baiklah, terima kasih sebelumnya ..." sahut Tama.

Perjalanan jauh memang sangat melelahkan. Tanya segera naik ke atas supaya bisa istirahat lebih awal karena dia masih harus bekerja meski secara virtual. Ketika pria ini melewati kamarnya Xia, dia tidak sengaja melihat Xia yang sedang mengayunkan belati di tangannya.

Xia berdiri menghadap ke dinding sambil mengayunkan belatinya dengan pelan. Tama penasaran, dia menunggu apa yang hendak Xia lakukan setelah mengayunkan belatinya. Rupanya, tidak lama setelah itu, Xia melempar belati itu tepat mengenai sasaran. Di buah apel yang ia letakkan di atas rak buku.

"Wah," Tama tertegun. .

Tama melihat ada banyak goresan di rak buku tersebut, dan berjumlah banyak sekali sampai membuat rak buku tersebut menjadi buruk, mengira jika Xia tidak melakukan hal ini sekali saja.

"Kayu itu semakin lama akan banyak goresan dari belatimu. Kemudian, akan rapuh dan rusak, sama halnya dengan perasaan yang selalu saja terluka," ucap Tama, masih berdiri di depan pintu kamar Xia.

Suara Tama mengejutkan Xia. Remaja 15 tahun ini menoleh ke arah pintu dan terkejut Tama sudah ada di sana. "Kenapa kamu ..." pertanyaan Xia terhenti karena dia lupa jika Tama tidak bisa berbahasa Mandarin.

"Untuk apa kamu datang kemari? Bukankah hal yang tidak sopan jika seorang pria dengan lancang melihat kondisi kamar wanita seperti ini?" tutur kata Xia memang kurang bisa dimengerti oleh Tama, tapi Tama tetap tahu apa tujuannya.

"Pintunya terbuka, saya melewati kamar kamu dan tidak sengaja melihatmu sedang mengayunkan belati. Saya pikir kamu mencoba untuk melukai diri sendiri, tapi ternyata ...." ucapan Tama terpotong karena senyum licik Xia.

"Aku pikir kamu pria yang berbeda. Tapi sama saja dengan yang lain. Sok mengatur!" Xia yang tiba-tiba emosi mengambil belatinya kembali dan melemparkan ke arah Tama.

Beruntung saja Tama berhasil menghindar, atau dirinya bisa saja terluka akibat belati itu. Di waktu yang sama, Chen melihat semua itu dan memarahi Xia.

"Xia!" teriak Chen.

Bentakan dari Chen membuat Tama dan Xia menatapnya. Xia menjadi gugup, dia lepas kendali karena sebelumnya dia baru saja kesal karena kakaknya tidak jadi menjemputnya.

"Kak Chen, aku ..."

"Cukup, Xia. Anak kurang ajar! Usiamu ini sudah tidak lagi anak-anak, kenapa tingkah lakumu masih saja seperti anak kecil!" tegas Chen. "Katakan, dimana kurangku dalam mendidik dirimu!"

Mendengar kata-kata yang keluar dari mulut kakaknya, membuat Xia marah. Xia merasa jika selama ini kakaknya telah memandang rendah dirinya sebagai gadis yang urakan dan tidak tahu aturan.

"Iya, kakak memang kurang dalam mendidikku. Aku bukan seperti adik-adik kakak yang patuh dan baik hati. Aku adalah gadis yang urakan, tidak tahu aturan, manja dan suka membuat onar. Aku memang buruk, aku ... Xia Muan, aku memang orang yang buruk!"

BLAM!

Xia membanting pintu kamarnya dan Chen juga baru pertama kali itu mendengar Xia menyebut nama belakang ayah kandungnya dengan lantang. Ketika Chen hendak membuka pintu kamar Xia, Tama malah menahannya.

"Biarkan dia menyendiri dulu. Dia masih perlu waktu untuk melampiaskan semua amarahnya. Lagipula kamu tidak perlu semarah ini, aku yang salah karena tadi menegurnya tanpa permisi dulu padanya," ucap Tama dengan lembut.

"Atas nama Xia, Aku mau minta maaf kepadamu. Sejak kecil memang dia tidak tahu aturan karena memang tidak dia mendidiknya. Jadi kamu jangan terkejut dengan sikapnya seperti itu, Tama," jelas Chen, menyentuh pundak sepupunya itu.

Tama tersenyum. "Chen, aku rasa salahnya ada di dirimu juga," katanya.

"Aku? Kenapa aku?" tanya Chen bingung.

"Sudahlah, kita bahas lain kali saja. Aku sangat lelah hari ini, jadi aku ini istirahat saja. Sampaikan permintaan maafku kepada mereka berdua (kedua adik Chen), karena aku tidak bisa menemani mereka saat ini," pinta Tama.

Chen mengangguk, kemudian membiarkan sepupunya itu masuk ke kamarnya supaya bisa istirahat. Sementara Xia, masih meringkuk kesal di sudut ranjangnya. Tangannya mengepal, keningnya juga mengkerut karena saking marahnya.

"Kak Chen benar-benar tidak menyayangiku. Dia lebih sayang dengan kedua adik kandungnya daripada aku!" dengusnya.

"Jika memang mereka adik kandung, oke, mereka pantas mendapatkan kasih sayang dari kakak. Lalu, aku juga harusnya dapat kasih sayangnya juga karena aku lah yang bersama kakak selama ini,"

Amarah Xia ini selalu bersifat sementara jika mengenai kakaknya. Hanya saja, dia selalu lepas kendali. Terkadang sampai melukai dirinya sendiri, terkadang juga ah marahnya akan melampiaskan ke benda-benda tertentu.

Terpopuler

Comments

Leli Noer Octavia

Leli Noer Octavia

yah gimana soalnya perjalanannya hidup keluarga ini, terlalu rumit

2023-07-03

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!