Sesampainya di sekolahan, Sean hendak turun membukakan pintu untuk Chen. Namun Chen menolaknya. "Kakak, apa perlu aku yang membukakan pintu untukmu?" tanya Xia, menawarkan diri.
"Apa dimata kalian aku ini adalah orang yang cacat?" dengus Chen.
Xia dan Sean menggelengkan kepala bersamaan.
"Aku masih memiliki tangan dan kaki lengkap. Untuk apa aku memerlukan tangan kalian membuka pintu mobil," Chen bergeming, sambil membuka pintu mobilnya.
Semua orang tahu siapa Chen ini. Bukan hanya dikalangan orang dewasa saja, bahkan remaja pun mengerti siapa Chen ini. Pengusaha muda berbakat yang masih berusia 27 tahun. Itu semua juga karena dirinya yang sejak kecil sudah terlatih dalam masalah bisnis.
"Apa itu Tuan Chen? Ternyata jika dari dekat, terlihat tampan sekali. Wajahnya yang seperti orang barat dengan perbatuan rambut hitam lebat membuatnya terlihat menawan," celetuk salah satu siswi murid SMP itu.
"Ternyata memang benar. Xia adalah adiknya Tuan Chen dan Tuan Sean, dua bersaudara pembisnis yang hebat,"
"Kupikir dia hanya mengada-ada saja. Siapa yang bisa percaya jika marganya saja tidak sama,"
"Benar, dia Muan, tapi kedua kakaknya Wang. Siapa yang percaya,"
Dari ucapan para remaja itu, membuat Xia murung. Dan memang dihormati karena besar di keluarga Wang. Namun, nama belakangnya yang berbeda dengan Chen, selalu saja orang meremehkannya. Tidak jarang jika Xia juga sering mengalami pembullyan meski itu hanya dalam ucapan saja.
Xia menunduk, dia merasa tidak sepadan berdiri di sisi kedua kakaknya. Apalagi sampai membuat semua orang membicarakan kakaknya, Xia tidak menyukai hal itu.
"Kak ..."
"Hm, alangkah lebih baik jika kakak tidak perlu mengantarku sampai ke ruang guru untuk izin. Katakan saja apa alasan kakak memintaku izin, nanti aku akan katakan itu kepada wali kelasku," kata Xia lirih.
Namun, Chen tidak memperhatikan apa yang dikatakan oleh Xia dan terus berjalan masuk ke ruang guru. Meski keduanya tidak memiliki hubungan darah, tetap saja ada kemiripan di antara mereka karena tinggal dan di asuh oleh orang tua yang sama.
Langkah kaki Chen terhenti di depan ruang guru. Melihat ada plakat 'ruang guru' di sana, dia masuk dengan menggandeng tangan Xia. Genggaman tangan Chen membuat remaja itu terkejut, itu kali pertama kakaknya mau menggandeng dirinya.
"Dimana dan siapa nama wali kelasku?" bisik Chen.
"Kak, tapi—"
"... Kita sebaiknya menunggu saja di sini. Aku akan mencari Guru Zhang dulu," gugup, Xia mengatakan itu sambil melepaskan genggaman tangan kakaknya.
Kakak Xia ini orang yang tidak sabaran jika sudah bicara masalah Xia. Antara memang peduli atau tidak, tapi Chen selalu memperhatikan Xia, meski remaja ini tidak tahu.
"Xia, kenapa kamu kemari?" sebelum di cari, Guru Zhang malah sudah datang menyapa Xia lebih dulu.
"Guru Zhang, kakakku datang kemari, dia ingin bertemu dengan anda," jawab Xia.
Guru Zhang yang selalu menjadi tempat cerita Xia ikut terkejut dengan kehadiran Chen. Selama Xia sekolah di asrama sekolah itu, Chen belum pernah datang sama sekali meski Xia sudah kembali lagi ke sekolah tersebut dari Amerika.
"Oh, Tuan muda Wang. Silakan, silakan duduk di sana," Guru Zhang mempersilahkan Chen dengan rasa hormat tinggi.
Semua guru di sana juga menyambut kedatangan Chen, padahal sebelumnya mereka diam saja ketika Xia dan kakaknya datang. Mereka hanya belum paham saja dengan Chen karena memang pria ini tidak pernah datang ke sekolah.
Guru Zhang bicara kepada Chen dengan keringat yang mengucur dari pori-porinya. Tidak rahasia lagi tentang latar belakang keluarga Xia yang menjadi golongan hitam, mafia dan juga pebisnis hebat sejak zaman leluhur dulu.
"Tidak perlu basa-basi lagi. Saya ingin meminta izin untuk Xia selama dua minggu kedepan. Dia akan saya bawa ke luar negeri karena acara keluarga yang sangat penting," kata Chen dengan aura pembunuh.
Guru Zhang menatap Xia.
"Kenapa anda malah melihat Xia? Saya yang bicara di sini, apa anda tidak mendengar saya?" suara tegas Chen membuat guru Zhang gugup.
Suara guru Zhang terbata-bata ketika menjawab pertanyaan dari Chen. Padahal pria berusia 27 tahun itu hanya bertanya saja mengapa dirinya menatap adiknya.
"Tapi, Xia baru masuk kembali setelah dia pindah dari Amerika. Apakah tidak sayang selama 2 tahun itu dia harus ketinggalan pelajaran lagi?" guru Zhang, mengontrol emosi kegugupannya.
Tatapan tajam Chen membuat guru Zhang semakin menciut. Tanpa Chen berkata apapun lagi, guru Zhang mengizinkan Xia libur selama dua minggu kedepannya.
"Baiklah, surat izin juga sudah keluar saya harus pamit. Xia, kamu sekolah dulu, aku akan pergi ke suatu tempat," ucap Chen.
"Baik, kak."
Xia diantar kakaknya sampai ke depan pintu kelasnya. Sehingga membuat remaja ini menjadi pusat perhatian dan juga menjadi pembicaraan hangat di sekolah.
"Pulang nanti aku akan menjemputmu lagi. Jangan sampai membuatku menunggu, ketika keluar, langsung menemuiku di parkiran," titah Chen.
"Iya, kak," jawab Xia.
"Apa-apaan ini? Sepertinya hubungan persaudaraan mereka tidak sedekat itu," celetuk salah satu siswi di sana.
"Benar. Jika mereka ini adalah persaudaraan, tidak mungkin bahasa yang mereka gunakan sekaku itu. Lalu terlihat begitu formal ketika mereka bicara,"
Xia merasa panik ketika semua temannya membicarakan hubungannya dengan kakaknya. Ia sangat takut kakaknya akan berbuat nekat kepada teman-teman kelasnya.
"Kak, karena ini sudah mau jam pelajaran, sebaiknya Kakak pulang saja dulu. Nanti kembali lagi sekitar jam tiga sore, aku keluar di jam itu," pinta Xia dengan lembut.
Tidak ingin terlihat begitu jauh persaudaraan mereka, Chen menurunkan egonya dengan mengusap kepala Xia. "Baiklah, aku akan pergi dulu. Semangat belajarnya." ucapnya dengan senyum tipis yang belum pernah dia lihat selama hidupnya.
"Iya!" seru Xia gembira. Bahkan dia menunjukkan betapa bahagianya di depan kakaknya.
Perlakuan Chen kepada Xia menepis semua celaan orang kepada mereka. Di sisi lain, mungkin memang Chen sangat menyayangi Xia, hanya saja gengsi membuat kasih sayang itu tidak terlihat.
Setelah Chen pergi, Xia berjalan ke tempat duduknya dengan wajah sumringahnya. Datanglah Wei Mian, sahabat Xia sejak kecil.
"Wah, pemandangan apa ini, Xia? Kau memang hebat sekali!" seru Wei Mian.
"Sudah kukatakan, aku ini memang adik dari Chen Yuan Wang. Kalian saja yang tidak pernah percaya kepadaku," dengan bangga, Xia mengakui sang kakak.
"Tapi, Xia. Aku tidak percaya jika kau adalah adik kandungnya. Bukankah keluarga Wang itu sangat suka sekali mengadopsi anak? Bagaimana jika kau adalah anak adopsi?" salah satu teman sekolah Xia yang tidak menyukai Xia, sedang menjadi kompor.
BRUAK!
Xia kesal dengan tuduhan Ai Lie, nama dari teman kelas Xia yang tidak menyukai dirinya. Tatapan tajam Xia, sama sekali tidak membuat Ai Li takut. Kedudukan keluarga mereka memang sepadan. Jadi, Ai Li merasa jika Xia bukanlah tandingan bahunya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments