**WARNING⚠️⚠️⚠️
NOVEL INI HANYA BERUPA CERITA FIKSI
DIMANA TERDAPAT BANYAK MENGANDUNG KEKERASAN FISIK
DI HARAPKAN AGAR PARA READERS MEMBACANYA DENGAN BIJAK DAN TIDAK MEMPRAKTIKKAN SEMUA KEKERASAN DI NOVEL INI KE DUNIA NYATA‼️
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ**...
"Tapi—"
"Hari ini akan aku bereskan, Pa. Tenang saja!" potong Zane lebih dulu, sebelum Ezio selesai berbicara.
Tuan Ivon tersenyum mendengar itu. "Bagus. Bereskan dengan baik. Papa tidak ingin mendengar kegagalanmu,"
"Hmmm mama juga mengharapkan hal yang sama. Jangan sampai masalah ini terus berkelanjutan! Ketenangan kita bisa terganggu," timpal nyonya Tasanee halus tapi begitu penuh penenangan.
"Ya, aku mengerti. Papa dan mama tenang saja. Serahkan semuanya padaku!" sahut Zane yang memang sudah mengerti maksud ucapan atau isi pikiran kedua orang tuanya itu.
Bagaimana tidak? Selama ini ia selalu sibuk menyelesaikan masalah yang datang mengganggu ketenangan keluarganya. Entah itu dari masalah internal, maupun eksternal. Alasan itu pula yang membuatnya di didik begitu keras. Zane harus bisa menguasai segala hal agar memudahkan dirinya dalam melakukan tugasnya sebagai pelindung keluarga. Bahkan tanpa di katakan secara langsung pun, Zane bisa mengerti isi pikiran orang tuanya. Sehingga ia tidak memerlukan banyak waktu untuk berbicara dengan mereka. Mungkin dalam sehari hanya terdapat sekitar 5-20 menit, waktu mereka berbicara.
Sejauh ini Zane tidak pernah lebih dari 20 menit berbicara dengan orang tuanya. Yeah. Hal itu karena perlakuan mereka begitu jelas membedakan antara dirinya dan kedua saudaranya. Jika orang tuanya mengajak berbicara, tidak lain adalah untuk menanyakan tugas dan hal-hal yang menyangkut sebuah masalah. Tidak ada pertanyaan lain, selain itu. Berbeda dengan pertanyaan mereka pada Ezio dan Azrail. Dimana pertanyaan mereka sangat mendominasi, tidak sekedar bertanya soal urusan pekerjaan atau pun sekolah. Melainkan menanyakan hal lain yang memakan waktu cukup lama.
Pembicaraan mereka pun tidak lepas dari canda tawa. Layaknya sebuah keluarga yang begitu bahagia menikmati hari. Zane merasa? Kalau benar, memangnya kenapa? Ia juga hanya manusia biasa yang mengharapkan kasih sayang dari orang tuanya. Berharap bisa berkeluh kesah hal sensitif pada mamanya atau melakukan hal seru bersama papanya. Zane mengharapkan semua itu terjadi. Sayang, ia hanya bisa menelan harapan itu dalam diam. Dan—Sampai saat ini ia selalu berdiri dari jauh untuk melihat keakraban kedua orang tuanya bersama kedua saudaranya itu.
"Papa dan mama sudah dengar, kan? Sekarang berhenti bertanya soal itu pada Zane. Kita harus segera sarapan," sela Ezio yang tidak ingin pertanyaan kedua orang tuanya pada Zane berlanjut. Ia sangat bosan, bahkan muak mendengar pertanyaan itu hampir setiap hari.
"Ya baiklah," sahut tuan Ivon singkat.
Ezio menghela nafas lega. Lalu beralih menatap Zane yang kini mulai memakan sarapannya. Laki-laki itu ingin adiknya makan dengan tenang, tanpa di cecar banyak pertanyaan dari tuan Ivon atau nyonya Tasanee. Andai saja mereka bertanya hal lain seperti menanyakan bagaimana kuliah Zane, ia tidak akan mencegahnya. Namun dirinya juga sadar bahwa hal itu mustahil di lakukan oleh kedua orang tuanya yang terlalu keras mendidik Zane tanpa kasih sayang, maupun belas kasihan. Sungguh Ezio tidak mengerti pola pikir kedua orang tuanya terhadap Zane.
"Makan yang banyak, Zane. Jangan sampai kamu sakit!" seru Ezio sembari menambahkan beberapa lauk di piring adiknya itu.
Zane menoleh ke arahnya dan tampak tersenyum tipis. "Terima kasih, kak!"
"Sama-sama,"
Tidak seperti Ezio, Azrail sedari tadi sudah memulai sarapan. Laki-laki muda yang merupakan anak bungsu keluarga Anevay, tidak berniat sama sekali untuk ikut terlibat dalam pembicaraan orang dewasa. Apalagi baik tuan Ivon atau pun nyonya Tasanee selalu tidak membiarkannya membuka suara dalam pembicaraan mereka. Sehingga Azrail hanya bisa diam mendengarkan, meski dirinya merasa kasihan terhadap kakaknya—Zane yang di perlakukan tidak baik oleh orang tuanya.
“Cepat habiskan sarapanmu, Azrail! Bukankah kau harus berangkat sekolah lebih cepat hari ini?" suara nyonya Tasanee membuyarkan tatapan Azrail yang mengarah pada Ezio dan Zane.
"Iya, ma!"
Kemudian suasana di meja makan tiba-tiba menjadi hening. Tak ada pembicaraan lagi, hanya terdengar suara sendok dan garpu yang bersentuhan dengan piring. Suasana itu terus berlangsung sampai waktu sarapan berakhir.
"Pa, Ma, aku berangkat sekolah dulu!" seru Azrail sembari beranjak berdiri usai selesai sarapan.
Tuan Ivon menganggukkan kepala. "Belajar yang rajin. Ingat jangan terlalu banyak bermain!"
"Siap, pa! Aku selalu ingat itu," Azrail mengacungkan jempol.
"Berangkat di antar sopir, kan?" tanya nyonya Tasanee, sontak mendapat gelengan kepala dari anak bungsunya itu.
"Aku di antar kak Zane,"
Azrail tersenyum lebar menatap kakak perempuannya yang masih duduk. Lantas nyonya Tasanee pun langsung menatapnya juga.
"Baiklah. Hati-hati di jalan!"
Nyonya Tasanee tidak ada alasan untuk melarang Azrail di antar Zane. Lagipula perempuan paruh baya itu sangat percaya bahwa Zane bisa di andalkan, termasuk memastikan Azrail sampai ke sekolahan dengan selamat.
"Siap. Ayo berangkat sekarang, kak!" ajak Azrail di sela meletakkan tas sekolah di punggungnya.
"Zane belum selesai sarapan, Azrail. Kamu tidak sedang terlalu terburu-buru, kan?" cetus Ezio menatap tajam sang adik bungsu.
Spontan Azrail terkekeh dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Laki-laki itu begitu bersemangat, sampai tidak sadar kalau Zane belum selesai sarapan.
"Hehe. Maaf, kak!" ungkapnya.
"Aku sudah selesai. Kami berangkat dulu!" timpal Zane mendahului tuan Ivon yang ingin berbicara.
"Zane—Sarapanmu belum habis," Ezio memprotes.
Gadis itu beranjak berdiri dari kursinya. "Aku sudah kenyang, kak. Sampai jumpa nanti!"
Tanpa menunggu balasan dari Ezio, Zane mulai berjalan pergi meninggalkan meja makan. Azrail pun bergegas menyusulnya. Kini di meja makan tinggallah Ezio bersama tuan Ivon dan nyonya Tasanee.
"Aku ingin bertanya sesuatu pada papa dan mama," Ezio kembali bersuara, setelah kepergian Zane dan Azrail.
"Katakan!" seru tuan Ivon di sela menghabiskan sarapan.
"Apa tidak bisa sehari saja kalian bertanya hal lain pada Zane?" tanya Ezio dengan menatap intens kedua orang tuanya.
Pertanyaannya menghentikan gerakan tangan tuan Ivon yang tengah menyendok sarapan. Sedangkan nyonya Tasanee membatalkan niatnya untuk minum.
"Sudah berulang kali kamu mendapatkan jawabannya dari papa dan mama. Kamu lupa?" tanya tuan Ivon balik.
Ezio menggelengkan kepalanya. "Aku tidak lupa,"
"Lalu untuk apa kamu bertanya lagi?" giliran nyonya Tasanee yang bersuara.
"Untuk apa? Tentu saja untuk mendapatkan jawaban berbeda dari papa dan mama," sahut Ezio bernada sangat serius.
Tuan Ivon mendongakkan kepalanya, lalu menatap Ezio dengan datar. "Jawaban papa dan mama akan tetap sama. Berhentilah berharap untuk mendapatkan jawaban lain!"
"Kenapa? Apa selamanya papa dan mama akan terus bersikap seperti ini pada Zane? Sadar, pa, ma! Zane juga anak kalian. Anak kedua dari keluarga Anevay. Bagaimana bisa kalian terus memperlakukannya seburuk ini? Tidak adakah rasa belas kasihan di hati papa dan mama, meskipun hanya sedikit saja? Zane bukan robot. Dia manusia yang juga mempunyai perasaan. Entah sadar atau tidak, kalian sudah sangat menyakitinya," ucap Ezio mengungkapkan hal yang selama ini ingin sekali di ucapkannya.
"Cukup, Ezio! Jangan keterlaluan!" bentak nyonya Tasanee merasa tidak senang. Berbeda dengan tuan Ivon yang diam saja mendengarkan ucapan sang putra.
"Kenapa cukup? Aku berkata yang sebenarnya. Inilah fakta yang harus papa dan mama sadari. Berhenti memperlakukan Zane seperti robot! Dia berhak mendapatkan kebahagiaan di rumah ini dan kasih sayang kalian,"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments