"Bukan kamu yang menentukan apapun keputusan di rumah ini. Termasuk bagaimana papa dan mama memperlakukan Zane," ucap tuan Ivon begitu tenang tapi terdapat penegasan di dalamnya.
"Ya, aku tahu itu. Aku memang bukan yang menentukan apapun keputusan di rumah ini," timpal Ezio tidak menyangkal sama sekali.
"Lalu untuk apa kamu bertanya lagi soal masalah ini? Sudah berulang kali mama dan papa menegaskan. Apa kamu tidak mengerti!?" nyonya Tasanee berucap dengan nada lebih rendah dari sebelumnya.
Ezio terkekeh pelan mendengar itu. "Bukan aku yang tidak mengerti tapi papa dan mama!"
"Cukup. Jangan membuat papa marah padamu, Ezio!" tegur tuan Ivon pada sang putra. Tatapannya tampak tajam. Sayangnya, Ezio tidak takut akan tatapan dari laki-laki yang merupakan papanya itu.
"Kenapa? Papa ingin marah padaku? Silahkan saja, pa! Setidaknya aku bisa mengatakan semua yang ingin ku katakan,"
“Ezio!!!" seru tuan Ivon beranjak dari duduknya. Rahang laki-laki paruh baya itu mengeras, bersamaan dengan raut wajahnya memerah.
"Sekali lagi aku katakan pada papa dan mama. Berhenti memperlakukan Zane seperti robot! Jika tidak—Aku pasti akan membawanya pergi keluar dari rumah ini," ucap Ezio datar tanpa keraguan sembari beranjak berdiri dan kemudian berjalan pergi.
Seperti hari-hari biasanya, suasana hati Ezio menjadi buruk. Berbicara dengan orang tuanya selalu berakhir tidak baik. Laki-laki itu berusaha membuat orang tuanya sadar dan mengerti, tetapi hasilnya justru sebaliknya. Entah bagaimana sebenarnya pola pikir orang tuanya itu, ia sendiri tidak mengerti. Namun bila terus di biarkan seperti ini—Zane pasti akan semakin terluka. Ezio tidak ingin melihat adiknya itu semakin terluka dan sulit untuk keluar dari kegelapan yang telah memenuhi kehidupannya.
"Kamu berani melakukannya!?" tanya tuan Ivon menantang di tengah emosi yang mulai membuncah.
Spontan langkah Ezio terhenti. Lalu ia berbalik badan dan tersenyum sinis. "Yeah—Kenapa tidak? Seorang kakak tidak akan membiarkan adiknya di sakiti. Meskipun orang yang menyakitinya adalah papa dan mama,"
"Ezio!! Siapa yang mengajariku bersikap kurang ajar seperti ini pada orang tua?" bentak nyonya Tasanee kembali meninggikan nada bicaranya.
"Aku hanya bersikap sesuai dengan keadaan. Papa dan mama bisa bersikap buruk pada Zane, lalu kenapa aku tidak bisa? Bukankah ini sudah adil?" Ezio bertanya balik.
Sebelum ia melanjutkan langkah kakinya yang sempat terhenti. Laki-laki itu tidak menghiraukan nyonya Tasanee yang tengah berteriak padanya dan memilih pergi ke perusahaan.
“Ezio sangat keras kepala. Bahkan sudah berani bersikap kurang ajar pada kita," keluh nyonya Tasanee seraya berusaha meredam emosi, sama seperti yang sedang tuan Ivon lakukan.
"Hmmm," tuan Ivon hanya berdeham pelan.
Nyonya Tasanee mengernyitkan dahi. Bingung akan reaksi yang sang suami perlihatkan. "Apa papa tidak berpikir untuk membuatnya mengerti?"
"Sama seperti kata mama tadi—Dia keras kepala. Sekali bertekad, maka sulit untuk membuatnya menyerah. Papa akan memikirkan cara agar dia mengerti bahwa keputusan kita benar,"
"Memang harus seperti itu," sahut nyonya Tasanee menimpali.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di dalam mobil Zane cukup tenang. Sesekali terdengar nyanyian dari mulut Azrail. Anak bungsu dari keluarga Anevay itu memang tidak suka keheningan tapi juga harus berpikir dua kali untuk membuat keributan. Meskipun ia terkenal akan sifat nan humoris, tetap saja terkadang merasa takut pada Zane. Ia sangat mengenal bagaimana sosok kakak keduanya itu. Mungkin selama ini sang kakak tidak pernah marah padanya. Namun ia beberapa kali melihat kemarahan Zane dan itu begitu mengerikan. Sungguh hal itu sangat di hindarinya!
"Bagaimana sekolahmu?" tiba-tiba Zane membuka suara di sela mengemudikan mobilnya menuju sekolah Azrail.
Adiknya itu spontan menatap ke arahnya. Seolah memastikan bahwa memang Zane yang bertanya.
"Sekolahku?"
"Hmmm," Zane berdeham, berarti itu benar. Azrail sangat mengerti semua hal tentang Zane, termasuk arti dari jawaban singkatnya seperti ini.
"Baik. Aku bertekad untuk mendapatkan peringkat 1 terbaik tahun ini," jawab Azrail begitu antusias dan bersemangat.
"Itu bagus!" seru Zane ikut senang akan tekad sang adik. Meski perasaannya itu tidak sepenuhnya di perlihatkan lewat raut wajah tapi jelas sekali terpancar dari sorot matanya.
"Hanya itu? Apa kakak tidak berniat memberi hadiah untukku nanti?" celetuk Azrail sedikit memprotes.
Zane menoleh sekilas ke arahnya, lalu tersenyum tipis. "Katakan saja hadiah apa yang kamu inginkan! Nanti kakak berikan padamu,"
"Serius?" tanya memastikan.
"Iya," jawab Zane singkat.
Azrail tersenyum lebar usai mendengar jawaban Zane. "Wah—Kakak memang yang terbaik! Aku sangat menyayangimu, kak! Terima kasih,"
"Heum. Jadi kamu ingin hadiah apa?" sekali lagi Zane bertanya.
"Bagaimana dengan sebuah motor sport hitam keluaran terbaru? Aku sudah begitu lama menginginkanya. Tetapi, papa dan mama tidak memberikan ijin. Mereka bilang aku masih terlalu kecil untuk mempunyai motor sendiri. Padahal nyatanya aku sudah besar. Kakak bisa lihat sendiri, kan? Jadi, apa kakak bersedia memenuhi keinginanku ini?" Azrail memberikan tatapan memelas pada Zane yang sedang mengemudi.
Keinginan Azrail ini tentu membuat Zane terdiam beberapa saat. Selama ini apapun ucapan tuan Ivon dan nyonya Tasanee harus selalu di turuti. Termasuk bagaimana mereka mengatur kehidupannya. Tetapi, ia juga tidak bisa mengabaikan keinginan sang adik. Bagaimana pun dirinya sangat menyayangi Azrail dan berusaha memberikan yang terbaik dalam segala hal.
"Kenapa tidak mobil saja? Bukankah itu jauh lebih bagus?"
"Yah memang mobil jauh lebih bagus. Aku setuju tapi motor sport tampak keren. Zaman sekarang banyak anak muda sepertiku memakai motor. Mereka tampak sangat keren. Aku juga ingin seperti mereka. Kakak mau, kan mewujudkan keinginanku ini!?" pinta Azrail semakin memelas.
"Ku mohon, kak! Pleaseee!" sambungnya.
Zane menghela nafas panjang. "Baiklah. Kakak akan memberikan sebuah motor sport hitam keluaran terbaru. Syaratnya kamu harus berhasil mendapatkan peringkat 1 terbaik. Jika gagal—Kakak tidak jadi memberikannya,"
"Siap, kak. Aku tahu kakak adalah yang paling terbaik. Terima kasih. Aku benar-benar sangat menyayangimu, kak!" Azrail berseru sembari tersenyum lebar.
"Hmmm ya,"
Baru saja Zane berdeham pelan, rupanya ada sebuah mobil yang terpantau seperti sedang mengikuti mereka. Mobil itu tampak begitu mencurigakan.
"Azrail—Kencangkan seatbeltmu!" titah Zane tanpa menatap ke arah sang adik. Matanya tengah fokus pada jalanan sambil mengamati mobil tadi yang kini melaju di dekat mobilnya.
"Memangnya ada apa, kak?" Azrail bertanya sebab merasa bingung.
"Lakukan saja, Azrail. Cepat!"
Tanpa bertanya lagi, Azrail langsung melakukan perintah Zane. Seatbeltnya kini cukup kencang.
"Sudah,"
"Ayo bermain!" seru Zane yang semakin tidak di mengerti oleh Azrail.
Belum sempat sang adik bertanya, Zane sudah menambah kecepatan mobilnya. Kini kecepatan mobilnya di atas rata-rata. Azrail cukup sering mengalami kejadian serupa. Dimana sang kakak akan menunjukkan jiwa pembalapnya di beberapa waktu tertentu. Awalnya terkejut tapi lama-kelamaan ia mulai terbiasa. Sehingga sekarang Azrail tidak begitu takut, justru amat menikmatinya. Jarang sekali sang kakak menunjukkan kegilaan di jalanan seperti itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments