Raya berdiri di teras depan rumah Angkasa, dan membalikan badannya melihat kearah luar halaman depan rumah Angkasa yang begitu luasnya. Orang-orang kalau bertamu ke rumah Angkasa pasti betah, tapi tidak untuk Raya, Raya malahan ingin cepat-cepat keluar dari rumah itu, takutnya tiba-tiba Dwi datang dan salah faham terhadap Raya dan Angkasa.
Tak lama Angkasa datang dengan perasaan senangnya, dia pikir Raya kesana untuk menerima permohonan maafnya dan memberi kesempatan sekali lagi untuk memperbaiki hubungannya. Malah Angkasa berharap mereka bisa jadian.
"Raya, benarkah ini dirimu?" Angkasa tersenyum lebar dan berdiri persis dibelakang Raya dengan jarak hanya satu jengkal. Ingin rasanya Angkasa memeluk erat Raya dari belakang, dan membisikan Aku sayang kamu, Raya. Tapi itu tidak mungkin dia lakukan karena dia tahu Raya pasti marah dan tak ingin bertemu lagi dengan dia.
Raya membalikan badannya, dan tak sengaja rambutnya menyentuh hidung dan seluruh wajah Angkasa, diciumnya rambut Raya, wanginya menggoda hati dan pikiran Angkasa. Inilah godaan terbesarnya, wanita yang dia cintai berada pas dihadapannya dengan aroma wangi farfum dan rambut juga tubuhnya. Jantung Angkasa berdetak kencang, sekencang drummer memukul dram nya.
Raya sedikit kaget, tak mengira kalau Angkasa sedekat itu. Raya melihat bibir, hidung dan mata Angkasa bak pangeran impiannya. Indah rasanya bisa-bisa Raya jatuh dipelukan Angkasa. Dilihatnya Angkasa tersenyum manis. Dan bibirnya yang menggoda membuat Raya menelan air ludahnya. Ini benar-benar ujian untuknya. Tidak, aku tidak boleh tergoda. Dia pacar sahabatku. Aku memang menyukainya, aku mencintainya, dan aku menyayanginya. Tapi itu dulu, sebelum aku kecewa kepadanya dan membencinya akan sikapnya yang dia lakukan tadi malam terhadapku. Dan aku datang kesini untuk menyelesaikan masalahku dengannya bukan untuk bercumbu dengannya. Batin Raya mengingatkannya.
"Aku datang kesini mau menyelesaikan masalahku denganmu." Raya sedikit menjauh dari Angkasa, dan dia berjalan mendekati kursi kecil di dekat jendela. Raya langsung duduk.
"Maaf, aku duduk ya?" Raya sedikit menyadarkan lamunan Angkasa yang masih berdiri di posisinya tadi.
"Iya, Silahkan." Angkasa langsung menghampiri Raya dan duduk di kursi kecil yang ada di sebelah meja samping Raya.
Ditatapnya Raya mata Angkasa tak berkedip sedetikpun.
"Langsung saja. Kamu kemarin datang ke rumahku? Dan apakah kamu masuk ke kamarku? Apa yang kamu temukan disana? Dan apa pula yang kamu ketahui?" pertanyaan bertubi-tubi keluar dari mulut Raya dan menyadarkan lamunan Angkasa. Entah apa yang sekarang berada difikiran Angkasa, mungkin membayangkan kecantikan Raya yang tak pernah berubah, malah semakin hari buatnya Raya semakin cantik.
"Maaf, aku memang ke rumah mu. Tapi buat apa aku ke kamarmu kalau kamu ternyata tidak ada. Dan aku sama sekali tidak membaca diary mu." Ungkap Angkasa dan keceplosan mengatakan tidak membaca diary. Memangnya Raya menanyakan itu. Itu berarti Angkasa memang kekamar Raya dan membaca diary Raya.
"Sudah aku duga. Kamu mau berbohong dan beralasan apa lagi Angkasa! Aku sama sekali tidak menanyakan diary ku. Yang aku tanyakan, apakah kamu ke kamarku, apa yang kamu temukan di sana dan apa pula yang kamu ketahui disana!? Ternyata kamu benar-benar keterlaluan. Kamu membaca diary ku. Itu privasi Angkasa! Tak seharusnya dan tak sepantasnya kamu melakukan itu! Buat apa kamu membaca diary ku. Buat apa Angkasa?" Raya benar-benar marah, darahnya memuncak seakan-akan kepalanya serasa mau pecah.
Wajah Angkasa memucat dan tak tahu harus bagaimana, tapi Angkasa sebagai lelaki harus bertanggung jawab dan jujur apa yang telah dia lakukan tadi malam.
"Maaf Raya. Aku waktu itu mencarimu, aku lupa akan menemuimu di resto. aku malah ke rumahmu. Dan saat itu aku melihat pintu kamarmu terbuka, dan aku tidak sengaja melihat diary mu terjatuh di dekat pintu. Aku mengambil diary itu, bermaksud menyimpannya kembali diatas meja. tapi saat aku mengambilnya, lembarannya terbuka, pas disitu tertulis namaku. Dan aku penasaran, aku pun membaca diary mu. Dan aku benar-benar tidak mempercayai semuanya kalau perasaan mu sama seperti yang aku rasakan. Saat itu aku benar-benar bahagia Raya, ternyata cintaku terbalas dan aku tidak bertepuk sebelah tangan. Setelah membacanya, aku langsung menyimpannya kembali. Dan aku pun bergegas pergi ke resto. Sebelum itu Mama mu melihatnya, dan kupikir beliau tidak curiga terhadapku. Maaf Raya, aku lancang dan aku tidak akan mengulanginya lagi. Tapi asal kamu tahu Raya, perasaanku sama kamu masih sama seperti dulu dan malah semakin besar. Aku janji Raya aku akan mencintaimu, menyayangimu dan menjagamu sepenuh hatiku tanpa ada wanita lain dihatiku. Dan untuk Dwi itu akan kupikirkan Raya. Yang penting saat ini kamu menerima cintaku Raya." Jelas Angkasa, sambil menghampiri Raya dan duduk dilantai di bawah kaki Raya, kedua tangannya menggenggam kedua tangan Raya. Tak ingin ia melepaskannya.
"Cukup Angkasa, cukup. Jujur Aku dulu merasakan itu. Tapi setelah kejadian tadi malam, perasaan itu hilang dan tak mungkin kembali. Lebih baik kamu lupakan aku, dan begitu pun denganku. Cukup sampai disini. Dan untuk Dwi, jangan pernah kamu melepaskan dia, karena dia wanita yang sangat tulus mencintaimu dan dia wanita terbaik yang singgah di hatimu." Raya melepaskan genggaman Angkasa, dan dia langsung berdiri. Saat berdiri Raya hampir terjatuh, dan Angkasa langsung sigap menolongnya.
Angkasa berdiri, dan berada dekat didepan Raya. Tak ingin dia lepaskan wanita yang benar-benar selama ini ia cintai.
"Tidak Raya, aku tidak ingin seperti itu. Tolong Raya, beri aku kesempatan sekali ini saja. Maafkan atas sikapku tadi malam, aku khilaf Raya aku bodoh, aku semudah itu menyimpulkannya. Aku kira kamu akan membalas tindakanku dengan penuh cinta, tapi aku salah Raya. Maaf Raya, maaf...." Angkasa memohon lagi, tangannya memegang kedua bahu Raya. Raya melepaskan kembali tangan Angkasa yang berada di bahunya. Raya menjauh dari Angkasa, tak ingin dia didekati oleh Angkasa.
"Sudahlah Angkasa, aku tidak ingin mendengarkan kata maaf lagi, bagaimana pun kejadian semalam tak akan pernah lupa diingatanku. Dan cukup sudah akhiri kedekatan kita sebagai sahabat, aku sudah tidak ingin kita dekat lagi." Perkataan perpisahan itu membuat hati Raya sakit begitu juga hati Angkasa. Inilah akhir dari kisah mereka. Tapi Angkasa ingin terus mencoba meluluhkan hati Raya.
"Tidak semudah itu Raya, kau wanita pertama yang ada di hatiku. Kau wanita terindah yang ada di hidupku. Tak ingin lagi aku melukaimu, cukup satu kali saja Raya. Dan janjiku Raya, aku akan selalu mencintaimu dan menunggumu." Ungkapan Angkasa benar-benar membuat Raya tak mempercayai semuanya, kata-katanya membuat hati Raya merasa bahagia. Tapi itu tidak mungkin dia balas dengan hal yang sama. Tak ingin dia melukai hati sahabatnya.
"Cukup Angkasa. Jangan pernah kau ulang lagi kata-kata itu. Aku ini wanita dan aku tidak ingin melukai hati sahabatku." Raya membalikan badannya, dan tak ingin dia melihat wajah Angkasa lagi.
"Raya, Dwi yang tidak begitu mengerti tentang perasaan kita. Seharusnya dari awal dia melihat perhatianku sama kamu dan begitu pula sebaliknya. Harusnya dia faham dan peka, kalau kita saling mencintai. Dan aku pun salah, saat itu aku keseringan jalan bareng sama Dwi, soalnya setiap aku ajak kamu jalan, malah Dwi yang selalu siap menemaniku. Saat itu kamu sibuk dengan pekerjaanmu dan ditambah lagi acara sukarelawan. Sedangkan Dwi selalu meluangkan waktunya untukku, dia juga baik hati dan ramah juga perhatian terhadapku, makanya aku jadi kagum kepadanya. Jujur waktu itu yang nembak duluan Dwi, dan karena aku kagum sama dia, ya aku terima cinta dia. Siapa tahu dengan hubungan pacaran yang kami jalani, aku bisa melupakanmu dihatiku, tapi rasanya itu tidak bisa, malahan perasaan itu semakin kuat." Jelas Angkasa panjang lebar. Raya hanya bisa menghela nafasnya. Memang benar waktu itu dia sibuk, malahan sampai tidak ada waktu untuk jalan berdua dengan Angkasa, selebihnya Angkasa selalu jalan berdua dengan Dwi. Itu juga salah Raya sendiri, kenapa dia melepaskan Angkasa untuk Dwi. Tapi Raya terlanjur dengan keputusan untuk mempertahankan persahabatannya dulu. Dan Raya juga tahu kalau Dwi menyukai Angkasa. Dari situ juga Raya mengalah.
"Lucunya lagi, aku sering memanggil Dwi dengan sebutan namamu. Awalnya Dwi kaget dan tidak menerimanya, dia sampai marah tapi aku jelaskan sama dia kalau itu mungkin karena kita bersahabat jadi aku sering lupa manggil nama, maklum lah seorang ibu juga sering salah manggil nama anak-anaknya. Akhirnya Dwi bisa menerimanya dan dia sudah terbiasa kalau aku sering salah memanggilnya." Timpal Angkasa dan berjalan mendekati Raya yang masih membelakangi Angkasa.
Raya menggelengkan kepalanya, entah apa yang harus dia lakukan sekarang. Seketika itu Angkasa mau memeluk Raya dari belakang, tiba-tiba nada dering handphone Raya berdering, dan Angkasa menghentikan tindakannya itu. Raya pun langsung mengangkat telponnya.
"Iya Ma, ada apa?" Raya berjalan sedikit menjauh dari Angkasa. Tak ingin Angkasa mendengar percakapannya.
Tidak sayang, Mama cuma mau mengingatkan saja, jangan terlalu lama disana, tadi Mama lihat dan dengar dia mau kesana. Sebaiknya kamu segera pulang nak, tidak baik nanti Dwi tahu dan kalian jadi bermasalah. Jelas Mama diseberang sana.
"Iya baik Ma, terimakasih." Raya langsung mengakhiri teleponnya, dan menghampiri Angkasa.
"Angkasa, aku pamit dulu. Dan masalah ini sudahi saja sampai disini. Aku dan kamu sebatas teman saja, tidak lebih dari itu. Dan aku mohon sama kamu jangan akhiri hubungan kalian karena aku." Raya pun berlalu pergi menuju motornya. Angkasa hanya bisa melihatnya dan bergumam dalam hatinya.
Aku kan selalu mencintaimu Raya, meskipun kau menjauh dariku. Aku disini akan menunggumu.
Setelah Raya pergi dari sana, 15 menit kemudian Dwi datang dengan senyum manis dipipinya. Dan Angkasa masih berdiri di tempat itu, matanya masih tertuju ke arah dimana Raya berlalu menjauh darinya. Dwi datang, Angkasa sama sekali tak melihatnya karena pikirannya masih berada untuk Raya.
"Sayang, kamu sedang apa? ko melamun gitu..." Dwi memeluk Angkasa, Angkasa pun tersadar dan dia mulai salah menyebut nama lagi.
"Maaf Raya, aku..." Angkasa pun langsung terdiam, seingat dia tadi Raya yang didepan matanya, sekarang malah jadi Dwi. Dia tersadar karena wangi aroma tubuh mereka berdua jelas berbeda.
"Memang apa yang kau lakukan pada Raya?" Dwi melepaskan pelukannya, dan matanya melotot, bibirnya cemberut. Angkasa bingung untuk menjelaskannya apakah harus jujur atau berbohong lagi.
"Tidak sayang, aku..." Angkasa memikirkan jawabannya tadi, dia ingat Raya kalau hubungan mereka berakhir jangan karena Raya. Angkasa pun berbohong lagi lagi dan lagi.
"Aku apa?" Dwi semakin marah.
"Aku tidak melakukan apa-apa terhadap Raya, biasa sayang lagi kangen sama Raya, aku kangen masa-masa kecil dulu saat kami bersama. Aku tadi memikirkan itu, makanya tadi aku menyebut namamu, Raya lagi. Maaf ya sayang." Angkasa langsung memeluk Dwi, dan bergumam, Maaf Dwi.
"Untuk kali ini aku jadi curiga jangan-jangan kamu menaruh hati sama Raya. Sudahlah tidak usah bohong lagi. Kamu sayang kan sama dia? jujur saja Angkasa!" Dwi melepaskan pelukan Angkasa, dan dia memaksa Angkasa untuk jujur. Angkasa terdiam, enggan rasanya untuk jujur dan mengiyakan jawaban Dwi. Dia takut Dwi membenci Raya dan persahabatan mereka hancur gara-gara lelaki seperti dirinya.
"Kenapa kamu diam? Kamu takut? Sebenarnya aku sudah lama tahu kalau kamu mencintai Raya, tapi aku pura-pura bodoh, karena aku tidak ingin melepaskan kamu begitu saja. Karena kamu lelaki baik hati dan sempurna bagiku. Dan aku sangat mencintaimu. Aku tidak ingin wanita manapun merasakan kasih sayangmu, termasuk Raya sekalipun." Jelas Dwi, sebelum Angkasa mengiyakan pertanyaan Dwi, dia terlebih dahulu menjelaskannya. Ternyata Dwi telah mengetahui nya lebih dulu. Mungkin karena perhatian Angkasa terhadap Raya yang berlebihan. Dan karena Angkasa sering sekali memangil Dwi dengan sebutan nama Raya. Angkasa terkejut kalau Dwi ternyata sudah mencurigainya dan mengetahuinya sejak dulu. Kenapa dia tidak bisa memahaminya.
Dwi memeluk erat Angkasa, tak ingin dilepaskannya pelukan hangatnya itu. Karena pelukan itu membuat Dwi terasa damai dan hangat. Kemudian pelukan itu pun dilepaskan oleh Angkasa, digenggamnya kedua bahu Dwi.
"Maksud kamu apa? Kenapa kamu melakukan itu kalau memang benar kamu tahu, kenapa kamu membiarkan aku menerima cintamu dan membiarkan aku memendam perasaanku sama Raya. Disini aku merasa dibodohi dan aku memang bodoh Dwi, bodoh kenapa aku menerima cintamu." Hati Angkasa merasa hancur dan merasa dipermainkan oleh Dwi. Setega itukah Dwi, membiarkan Angkasa berkorban perasaan hanya untuk mengindahkan hati dan perasaan Dwi.
"Aku tidak bermaksud apa-apa, tapi aku melakukannya karena aku cinta kamu Angkasa. Hanya karena itu. Dan satu hal lagi, aku tidak akan membiarkan kamu jauh dariku, aku tidak akan mengakhiri hubungan kita. Apapun yang terjadi. Kamu hanya milikku." Dwi begitu egois, tak disangka itu membuat Angkasa lupa akan kekagumannya. Hatinya yang baik kini sirna karena Angkasa sendiri sudah mematahkan hatinya dengan setiap kali memanggil namanya selalu Raya dan Raya.
"Tak sepantasnya kamu menahanku, karena kita belum terikat. Aku bebas memilih wanita mana yang layak dihatiku. Seandainya aku tahu kalau kamu sepicik itu, mungkin aku tidak akan menerima cintamu dulu." Angkasa menghela nafasnya, dan berlalu meninggalkan Dwi diluar. Angkasa langsung menutup pintu rumahnya. Rasanya malas untuk berbicara lagi dengan Dwi. Dia merasakan ada petir menyambarnya dua kali, pertama sama Raya dan kedua sama Dwi.
Kenapa harus seperti ini Tuhan... Batin Angkasa sambil meneteskan air matanya.
"Angkasa... buka... buka sayang... maafkan aku. Aku tadi emosi, aku khilaf." Dwi menggedor-gedor pintu rumah Angkasa, dia takut Angkasa memutuskan hubungan dengannya.
"Pergilah Dwi, aku ingin sendiri." Angkasa masih menangis tak hentinya air mata berjatuhan ke pipinya. Hatinya kini hancur, wanita yang selama ini dia kagumi dan enggan untuk memutuskannya kini menyakiti hatinya, dengan perkataannya. Sungguh diluar dugaannya. Dikira Dwi tulus mencintainya. ternyata hanya keegoan yang ada di hati Dwi.
Beralih ke Raya, sekarang dia sudah berada di rumahnya. Raya memakan masakan kesukaannya, dengan lahap Raya memakannya tanpa harus memikirkan Angkasa lagi. Raya harus melanjutkan kisah hidupnya dengan ceria. Jangan sampai patah hatinya membuat hidupnya redup begitu saja.
Setelah selesai makan, Raya langsung membereskan meja makan dan mencuci piring juga gelas kotornya. Kemudian dia berlalu ke kamarnya dan mengganti bajunya dengan kaos oblong berukuran besar dan celana hot pan nya. Dilihatnya kamarnya sudah tertata rapi, Mama memang nomor satu untuknya. Dan dilihatnya buku diary nya di atas meja panjang di kamarnya. Gara-gara buku diary ini timbul permasalahan besar, kalau seandainya aku tidak sembarangan menaruhnya, mungkin Angkasa tak akan pernah tahu perasaanku. Sebaiknya aku simpan baik-baik buku ini. Aku takut Dwi membacanya. Gumam Raya, dan dia langsung menyimpan buku diary nya ke brangkas kecil miliknya, dan brangkasnya pun diberi kode kunci, sehingga siapapun tidak bisa membuka dan membacanya.
Suara ketukan pintu lembut pun berbunyi dan pintu langsung dibuka, Raya menoleh, dilihatnya Mama nya, dan langsung duduk di sofa Raya. Sepertinya Mama mau membicarakan hal yang penting. Raya pun menghampirinya dan duduk disampingnya.
"Ada apa Ma?" Tanya Raya penasaran
"Tidak sayang, Mama hanya ingin memastikan masalahmu dengan Angkasa sudah selesai dan beres, tidak ada yang menggantung kan?" Tanya Mama sambil memegang paha Raya dan melihat bola mata Raya, Mama takut Raya berbohong, jadi Beliau menatap kedua bola mata dengan tajam tanpa mengedipkan matanya.
"Sudah Ma. Mama tenang saja. Dan aku pastikan Angkasa tidak akan macam-macam lagi. Dan begitu pun aku tidak akan memikirkannya lagi." Jelas Raya menenangkan Mama nya. Mama pun menghela nafasnya dengan tenang tanpa ada keraguan sedikit pun.
"Syukurlah, Mama senang. Baiklah kalau semuanya sudah selesai, Mama mau pergi keluar dulu ada acara arisan sama ibu-ibu tetangga." Mama pun langsung berlalu pergi dan menutup pintu kamar Raya.
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments