"Raya...Raya..." Teriak Dwi mengagetkan Raya yang sedang rebahan dikasurnya. Raya pun terbangun dan melihat Dwi yang sudah membuka pintu kamarnya. Dwi menghampiri Raya yang masih berada diatas kasurnya, Dwi sepertinya lupa kalau Raya sahabat yang baik hati dan yang merelakan Angkasa untuknya.
"Kamu pengkhianat Raya. Aku benci kamu!!" kedua mata Dwi melotot melihat Raya yang masih merasa kaget dan heran melihat tingkah dan perkataan Dwi.
"Aku pengkhianat?" Raya tidak bisa menerimanya, dia pun turun dari tempat tidurnya, didekatinya Dwi yang mengepalkan kedua tangannya, sepertinya dia ingin memukul/menampar wajah Raya.
"Iya kamu pengkhianat, teganya kamu merebut Angkasa dariku. Pantas saja setiap kali ada lelaki yang menyukaimu dan mendekatimu, kamu selalu menolak mereka, bahkan kamu menjauhi mereka. Ternyata selama ini kamu diam-diam mau merebut Angkasa dariku, dan sekarang sudah jelas dan terbukti, bahkan kamu berpura-pura baik kepadaku. Sahabat macam apa kamu ini?" Dwi menunjuk-nunjuk Raya dengan telunjuknya. Prasangka buruk keluar dari mulut Dwi, tak terkecuali Raya bahkan sudah tak diindahkan lagi.
"Kamu salah faham Dwi, aku sama sekali tidak ada niat untuk merebut Angkasa darimu." Jelas Raya.
Dwi tersenyum sinis, kedua tangannya bersedekap, dan wajahnya sedikit berpaling.
"Heh... Dasar pelakor, gak tahu diri. Sudah bagus aku masih diam selama ini, tapi kali ini aku tidak akan tinggal diam. Sebaiknya kamu pergi jauh dari kehidupan kami. Jangan pernah kamu hadir diantara kami. Ini terakhir kalinya aku menemuimu, ingat, kamu bukan lagi sahabatku, nona Raya." Jelas Dwi dan perkataannya benar-benar berlebihan. Tak sepantasnya dia berkata seperti itu, padahal disini Raya bukanlah pelakor, dia tak pernah menggoda Angkasa ataupun berusaha merebut Angkasa. Hanya saja ini dimulai dari diary nya yang tidak sengaja dibaca Angkasa. Jadi akhirnya seperti ini.
"Aku tidak seperti yang kamu pikirkan Dwi. Aku tidak pernah melakukan hal bodoh itu, aku bukan pelakor. Aku selama ini selalu mengindahkan kamu terlebih aku relakan Angkasa untukmu. Tapi ini balasanmu padaku." Raya membela dirinya, tak ingin dia berdiam diri dan menerima semua perkataan Dwi. Meskipun Dwi sahabatnya, tapi tak ingin dia merasa dirinya kotor. Tapi itu benar, Raya wanita baik-baik, jauh lebih baik dari Dwi.
"Sudah salah masih saja berkilah. Dimana rasa malumu. Apa sudah hilang dengan tingkah liar mu itu." Timpal Dwi, semakin menghina Raya. Hinaannya kali ini menusuk kehati Raya, sakit rasanya seakan dicakar kuku harimau.
"Aku bukan wanita seperti itu. Kamu salah menilai ku Dwi." Raya semakin tidak menerima hinaan Dwi.
Karena Dwi kesal, Dwi langsung mendorong Raya dengan sekuat tenaganya, Raya pun terjatuh, dan kepalanya terbentur ke lantai dengan keras, Raya seketika tidak sadarkan diri, dan keluarlah darah dari kepalanya, mungkin begitu kencang benturannya.
Dwi terkejut dan dia membangunkan Raya sambil menangis. Dwi merasa bersalah, padahal dia tahu disini Raya tidak salah, dia hanya ingin menggertak Raya supaya Raya menjauh dari Angkasa. Tapi dia sudah keterlaluan.
"Raya bangun... Raya...." Teriak Dwi sambil mengangkat kepala Raya yang penuh dengan darah, tangan dan celana Dwi pun dipenuhi darah Raya.
Mama Raya yang baru pulang arisan, kaget melihatnya.
"Raya anakku..." Mama Raya menangis, dan menelpon ambulans juga menelpon Hari dan suaminya.
"Maaf Tante, ini salahku." Lirih Dwi yang melihat Mama Raya begitu panik. Mama Raya tak menghiraukan ucapan Dwi. Dia hanya ingin anaknya cepat ditangani. Tidak lama kemudian ambulans datang, dan Raya pun langsung dibawa ke rumah sakit. Mama Raya langsung naik ambulans, sedangkan Dwi diam didepan rumah Raya. Dia menyalahkan dirinya dan menyesali perbuatannya.
Kenapa jadi seperti ini kenapa...Aku jahat benar-benar jahat, tak seharusnya aku mendorongnya begitu kencang. Aku menyesal sungguh menyesal... Ya Tuhan, aku harus bagaimana? Aku takut Angkasa semakin membenciku. Lirih dalam batinnya , Dwi pun langsung berlari menuju rumahnya, dia bergegas mencuci darah ditangannya. Dan dia langsung pergi ke rumah sakit tanpa memikirkan celananya yang masih berlumuran darah, yang dia pikirkan saat ini adalah keselamatan Raya.
Beralih ke Raya, Raya langsung di masukan ke UGD , Mama Raya tiada henti menangisi anaknya, Hari dan Papa Raya pun datang dengan wajah mereka yang panik. Hari langsung memeluk Mamanya, begitu dengan Papanya, dia ikut memeluk Hari dan Mama Raya.
"Pa... Hari... Raya..." Isak tangis Mama membuat lemas tubuhnya, dan Mama pun langsung pingsan.
"Mama..." Hari dan Papa kaget, dan Papa langsung memanggil lperawat, Mama pun dimasukan ke ruang UGD. Hari dan Papa jadi tambah panik dengan keadaan Raya ditambah lagi Mama harus masuk UGD karena kelelahan memikirkan keadaan Raya.
Tidak lama kemudian, Dwi datang dengan perasaan bersalahnya. Dia takut Kak Hari berkoar koar memarahinya. Dwi perlahan mendekati kak Hari, dan menanyakan keadaan Raya.
"Maaf Kak, bagaimana keadaan Raya?" Tanya Dwi pelan sambil memegang kedua lengannya sendiri, menutup rasa gugupnya karena merasa bersalah
"Tidak tahu Dwi, Kakak juga sedang menunggu. Semoga Raya baik-baik saja." Jelas Kak Hari sambil melangkah dan melihat ke kaca pintu UGD. Berharap luka Raya tidak serius.
Dokter pun keluar dari pintu UGD dan memanggil keluarga Raya. Hari dan Papa Raya langsung menghampirinya, begitu pun dengan Dwi berdiri dibelakang Hari, ingin mendengarkan penjelasan dokter.
"Pasien Raya membutuhkan tarnsfusi darah, karena begitu banyak darah yang keluar. Sebaiknya keluarga diperiksa dulu ke ruang Lab. Dan Raya sekarang kritis, kami akan memindahkannya." Jelas dokter mengagetkan Hari, Papa dan Dwi. Seketika Dwi menangis dan semakin menyesali perbuatannya.
"Apa dok? Raya kritis?" Hari dan Papa kompak bertanya.
"Iya, maaf pak, kami akan menindak lanjuti keadaan pasien, dan sebaiknya segera keluarga keruang Lab." Jelas dokter dan langsung masuk kembali ke ruang UGD. Beberapa perawat langsung memindahkan Raya ke ruang ICU. Sedangkan Hari dan Papa langsung memeriksakan diri mereka, berharap darah mereka cocok. Dwi pun mengikuti para perawat yang membawa Raya, dan dia menunggu didepan pintu ICU. Dwi semakin merasa bersalah dan menyesali perbuatannya.
Aku benar-benar bodoh, dan aku egois, cinta membutakan mataku dan hatiku. Raya yang begitu baik, harus terluka karena aku, aku sahabat yang jahat, aku tidak tahu terimakasih, aku bodoh, aku bodoh.... Batin Dwi dan menangisi penyesalannya.
Darah Papa pun cocok dengan Raya, namun Raya masih kritis, dan dokter masih membutuhkan transfusi lagi, karena satu labu masih kurang. Dwi mencoba memeriksakan dirinya, namun tidak sama. Akhirnya Dwi menelpon Angkasa, dan memberitahu keadaan Raya. Karena dia merasa Angkasa perlu tahu dengan keadaan Raya sekarang. Dan siapa tahu Angkasa memiliki golongan darah yang sama dengan Raya.
Apa? Raya kritis? dan perlu transfusi darah? Baik aku segera kesana. Suara Angkasa disebrang sana .
Tidak lama Mama tersadar dari pingsannya, tetapi masih terbaring karena pusing. Dan Papa pun menemani Mama, tetapi Papa tidak berani menceritakan keadaan Raya yang sebenarnya, Papa takut Mama pingsan lagi.
"Pa, bagaimana keadaan Raya sekarang?" Tanya Mama yang masih terbaring lemas.
"Masih ditangani dokter Ma." Singkat Papa Raya. Mama Raya langsung bangun, dan mau pergi melihat Raya, dia merasa tidak yakin dengan jawaban suaminya.
"Mama mau kemana? sebaiknya Mama istirahat dulu. Raya kan sedang ditangani dokter terbaik disini, jadi Mama tidak usah khawatir." Jelas Papa sambil menahan Mama.
"Tapi Pa, Mama merasa Raya sekarang butuh Mama, barusan didalam mimpi, Raya memanggil Mama dan tersenyum manis, setelah itu kabut menghalangi Raya, dan Mama langsung terbangun. Mama takut Raya..." Perasaan Mama benar-benar mewakili apa yang terjadi dengan Raya. Papa sontak merasa tak bisa membohongi Mama dengan apa yang terjadi dengan Raya sekarang, Raya memang sedang kritis, apakah dia akan selamat atau malah kebalikannya.
Beralih ke Angkasa, dia sudah sampai di rumah sakit dan langsung mengecek darahnya, ternyata golongan darahnya tidak sama dengan Raya. Kemudian Angkasa menghampiri Dwi dan juga kak Hari dengan kepanikannya, karena golongan darahnya berbeda dengan Raya, Angkasa takut Raya terlambat mendapatkan transfusi darah.
"Bagaimana Raya sekarang? Apa sudah ada bantuan transfusi darah untuknya?" Angkasa menatap Dwi dan kak Hari.
"Masih kritis. Kami belum mendapatkan lagi transfusi darah, pihak rumah sakit juga sedang mencari, mudah-mudahan kami segera mendapatkannya." Jelas Kak Hari.
"Barusan juga aku memeriksakan diri, namun sayang berbeda." Angkasa terdiam sejenak dan berpikir, dia pun teringat kalau kawan tim relawannya memiliki golongan darah yang sama dengan Raya.
Bram memiliki golongan darah yang sama dengan Raya. Angkasa pun langsung menghubungi Bram. Dia berharap Bram mau membantunya.
Bram kaget mendengar keadaan Raya sekarang, tanpa pikir panjang dia bersedia membantunya. Dia langsung bergegas pergi ke rumah sakit, padahal sekarang dia sedang bersama wanita pengagumnya. Lebih baik dia menemui wanita yang selama ini dia sukai, meski wanita itu sama sekali tidak pernah peduli dengan keadaannya. Hati Bram berkecamuk, ada rasa yang tak biasa dari sebelumnya, dia takut kehilangan wanita pujaannya, apapun akan dia lakukan dan berikan untuk wanita yang satu ini. Puluhan wanita yang pernah ia singgahi tak pernah dia merasa semenggebu perasaannya terhadap Raya.
Sesampainya di rumah sakit, Bram langsung ke ruang Lab dan dicek apakah cocok atau tidak. Bram menunggu dulu hasil cek Lab nya, sambil menunggu, Bram memberitahu Angkasa lewat pesan WhatsApp, kalau dirinya sudah berada di ruang Lab dan sedang menunggu hasil cek Lab nya. Angkasa pun bergegas menghampiri Bram, karena dia ingin tahu juga hasilnya secara langsung, semoga aja benar cocok.
Waktu berselang 15 menit, akhirnya hasilnya cocok dengan darah Raya. Angkasa begitu bahagia dan merasa lega, begitu pun dengan Bram, dia merasa inilah kesempatan dia untuk mendapatkan hati keluarga Raya. Dengan ini mereka pasti berbalas Budi.
Bram memang seperti itu, apa-apa dijadikan kesempatan, tak terkecuali, yang penting tujuan dia tercapai, ingin mendapatkan simpati keluarga Raya dan juga tentunya mendapatkan hati Raya. Entah apa yang ada di hatinya, apakah tulus atau hanya sekedar cari muka.
Didonorkannya darah Bram untuk wanita pujaannya. Bila perlu sampai 2 labu, supaya bila kurang masih ada stok darahnya. Semoga saja darahnya bisa membuat Raya membaik dan Raya bisa melalui masa kritisnya.
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments