Kini tersisa Alana dan Ananta di ruang UKS.
Alana memberikan obat untuk diminum oleh Ananta. Dada Ananta masih sedikit sesak, karena terlalu banyak bergerak.
Berkelahi cukup berbahaya untuk jantungnya.
"Kamu ini anak kecil atau apa? Kenapa berkelahi seperti itu." Ucap Alana kesal.
Ananta masih meremat kaus yang di pakainya karena sakit dadanya belum pulih semuanya.
"Habisnya, mereka ganggu kamu." Jawabnya. Ananta bangun dari tidurnya untuk duduk di atas kasur UKS.
"Mereka itu cuma bercanda. Kamu yang marahnya berlebihan." Marah Alana.
"Aku cuma mau menjaga orang yang aku suka, itu juga tidak boleh??" Ucap Ananta dengan nada tinggi. Namun emosi yang tiba-tiba itu membuat dadanya terasa lebih sesak.
Ananta kembali diam dan merintih kesakitan. Alana segera mengusap punggung Ananta untuk membuatnya sedikit lebih tenang.
"Maaf... Aku membuatmu mengkhawatirkan ku." Ucap Alana menyesal sudah memarahi Ananta yang terlihat kesakitan. Ananta menghadap ke arah Alana. Alana menyandarkan kepalanya di bahu ananta, membuatnya basah karena pada akhirnya Alana menangis lagi.
Ah, Alana selalu menangis karenanya. Sesak di dada ananta sedikit kambuh lagi karena perasaan menyesalnya.
Terakhir kali ia melihat Alana menangis adalah saat Alana menungguinya menjalani perawatan 7 hari di rumah sakit. Tangisan Alana tidak berhenti setiap kali melihat Ananta merintih kesakitan.
Gara-gara itu, Ananta tidak mau ditemani lagi jika harus dirawat intensif di rumah sakit.
"Jangan menangis. Kamu jelek kalau sedang menangis." Ucap Ananta masih bisa mengejek Alana di sela rasa sakitnya.
"Jantung kamu... Berdetak terlalu kencang." Ucap Alana setelah berusaha keras menenangkan dirinya.
"Lain kali jangan memarahi mereka gara-gara aku" Lanjut Alana setelah mengusap air matanya yang tersisa sedikit karena sebagian tumpah di bahu Ananta.
"Iya... Aku ikut apa kata Alana deh. Jangan nangis." Ucap Ananta lagi. Sakit di dadanya sudah sedikit berkurang. Walau masih sedikit terasa.
"Udah, tidur lagi. Kamu harus istirahat." Ucap Alana dengan tegas. Namun Ananta masih terduduk dengan kaku.
"Sakitnya sudah berkurang kok. Ayo kembali ke kelas." Ajak Ananta, niatnya dia mau berbohong untuk membuat Alana tidak khawatir, nyatanya tubuhnya masih belum bisa dipakai berjalan sekarang.
"Tiduran atau aku bawa kamu ketemu ayah." Ucap Alana lagi kini disertai dengan tatapan tajam.
Kalau sudah di ancam seperti itu Ananta tidak punya pilihan selain menurutinya. Lagipula tubuhnya memang masih terasa sakit.
"Alana..." Panggil Ananta lagi. Dia tidak bisa menahan untuk tidak mengatakannya.
"Lain kali pakai kaus dobel saat olahraga" Lanjut Ananta dijawab Alana dengan tatapan bertanya-tanya. dahinya berkerut dengan lucu.
"Aku tidak mau mereka melihat benda pink itu lagi" Ucap Ananta lagi melirik kaus olahraga Alana yang tidak tertutup kemeja.
Alana yang menyadari apa yang sedang dilihat Ananta menatap panik. Dia melihat kebawah dan menemukan baju olahraganya terlihat menerawang.
"Ananta! Kenapa baru bilang sekarang" Ucap Alana dengan nada marah, dia buru-buru mengancing kemeja Ananta yang tadinya hanya tersampir di bahu.
"Tidak apa-apa, hanya aku yang sempat melihatnya lagi." Ananta masih berani melanjutkan kalimatnya tanpa tahu Alana sudah bersiap untuk mengutuknya sedari tadi.
"Alana... Jangan di marahi pasiennya" Ucap dokter Tia yang tidak tahan untuk tidak bersuara setelah mendengar percakapan keduanya dengan gemas. Ruang UKS hanya di dekat dengan tirai kain tapi mereka bersikap seolah tidak ada yang mengawasi, bahaya sekali.
Alana langsung berbalik dan menyembunyikan wajahnya ke tirai yang berada di dekatnya. Sedangkan Ananta hanya tersenyum melihat Alana bertingkah lucu.
.........
Alana menunggui Ananta di UKS selama satu jam pelajaran penuh. Dia tidak merasa perlu meminta izin kepada guru karena teman-teman yang tadi mendengarnya bicara tentang penyakit Ananta pasti sudah menyebarkannya ke seluruh penjuru kelas dan memberitahu guru alasan dirinya tidak hadir.
Sekalipun mereka tidak melakukannya, Alana tidak peduli. Karena fokusnya masih tertuju pada kondisi Ananta sekarang.
Dokter Tia memberinya dua buah roti dan susu karena Alana baru saja melewatkan jam istirahat setelah jam olahraga dan tidak pergi ke kantin sama sekali.
Yang Alana lakukan hanya mengamati Ananta yang tertidur tanpa bersuara sedikitpun.
Matanya sedikit melotot memperhatikan mata Ananta yang terpejam, lalu beralih pada dada Ananta yang naik turun. Dia melakukannya berulang-ulang tanpa sedikitpun merasa bosan.
Rasa khawatir terus membuncah di dadanya.
Meski tahu Ananta selalu dalam kondisi sakit, tapi dia tidak pernah terbiasa melihat Ananta yang tertidur. Perasaan tidak bisa tenang sebelum mata itu terbuka kembali.
"Alana... Makan dulu. Jangan sampai kamu sakit juga" Ucap dokter Tia menegur Alana yang sama sekali tidak menyentuh roti yang diberinya beberapa saat lalu.
"Iya dokter terimakasih." Ucap Alana singkat. Tanpa mengalihkan pandangan sedikitpun.
"Kamu sudah lama kenal Ananta?" Ucap dokter Tia memulai pembicaraan. Dengan adanya dua siswa di UKS seharusnya dia memiliki teman bicara, bukannya terdiam seperti tadi.
"Iya, sejak umur 7 tahun." Jawab Alana kini mulai menoleh pada dokter Tia.
"Wah sudah lama sekali. Dengar-dengar penyakit seperti punya Ananta ini diderita sejak kecil ya?"
"Iya." Jawab Alana singkat. Dia merasa sedikit canggung untuk membicarakan hal-hal seperti ini selain pada keluarganya.
"Jadi Ananta sudah sakit sejak awal kamu bertemu dia?" Dokter Tia melontarkan pertanyaan lagi, dia mencoba membuat Alana membuka diri. Atau lebih tepatnya berusaha mencari teman bicara saja sih. Berdiam di ruang UKS kadang tidak nyaman juga.
"Iya. Kami bertemu di rumah sakit." Jawab Alana. Dokter Tia menjawab dengan mengerutkan dahinya. Entah itu ekspresi prihatin atau gemas. Yang Alana tahu, itu terlihat menyebalkan sekarang, meski Alana tidak bisa mengatakannya.
"Kamu pasti anak yang kuat, bisa bertahan dengan Ananta sampai sekarang. Kamu pasti banyak menangis." Ucap dokter Tia mencoba menerawang apa yang sudah di lalui gadis itu hingga sekarang.
Dia tahu tidak mudah bergaul dengan orang yang sakit, apalagi sakit yang diderita untuk waktu yang lama. Dan orang yang mampu melakukannya pasti orang yang tangguh atau tidak punya hati. Dan menurutnya Alana termasuk dalam kategori orang yang tangguh.
"Tapi aku juga banyak tertawa karena dia." Ucap Alana lagi.
Dokter Tia memandang dengan sorot kagum pada anak didepannya yang kini terlihat jauh lebih dewasa dari beberapa saat sebelumnya. Yah, Kata-kata singkat yang dia lontarkan merubah kesannya secara total.
Rasa takut kehilangan, banyak orang yang menanggungnya, tapi kebanyakan tidak setegar Alana. Dia menerima semua perasaan yang dia dapat dari mengenal Ananta.
"Jaga dia baik-baik Ananta. Dia ini spesial" Ucap dokter Tia lagi saat menyadari mata Ananta yang tertutup bergerak-gerak karena berpura-pura tidur.
Alana yang mendengarnya menoleh pada Ananta yang terlihat masih memejamkan mata. Tidak mungkin kan dokter Tia bicara dengan orang yang masih tidur.
"Kamu udah bangun?" Ucap Alana dengan sedikit marah. Dia mengamati mata Ananta dan melihatnya bergerak-gerak.
Ananta membuka matanya pelan-pelan dan mendapati wajah Alana berubah dari kesal menjadi lega.
"Masih sakit?" Tanya Alana lagi tanpa menunggu jawaban yang sudah dilihatnya dengan jelas.
"Masih lapar..." Jawab Ananta dengan suara yang masih lemah khas orang yang bangun tidur. Alana menodongkan roti dan susu yang tadi di berikan oleh dokter Tia dengan sedikit kesal.
Melihat Ananta meminta makanan Alana menyimpulkan sendiri kalau Ananta baik baik saja.
Mereka kembali ke kelas setelah satu jam pelajaran lagi usai. Disambut oleh raut khawatir teman kelasnya yang terlihat tulus.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments