Alana's POV
Setelah hari itu, segalanya tetap berjalan seperti biasanya.
Sejak SD hingga SMP kami berada di kelas yang sama, bangku yang sama. Bahkan sistem acak kelas pun tidak bisa memisahkan kami berdua.
Hmm, sudah pernah kubilang kan... aku dan Ananta adalah takdir, tapi Ananta sering meledek ku dan menganggapku lebay.
"Hai" Sapaku, merangkul Ananta dari belakang. Kami kelas 3 SMP sekarang, waktu berlalu dengan cepat saat kami baik-baik saja. Meski saat semua hal buruk terjadi mereka justru berjalan kelewat lambat.
"Kamu berangkat kepagian!" Aku menggerutu karena harus bangun lebih pagi demi dia.
Karena kami selalu berangkat bersama, jadi aku bersusah payah mengikuti jadwal pagi Ananta. Setelah bersusah payah seperti itu, aku masih ditinggal berangkat lebih dulu hari ini.
"Maaf, aku disuruh ke ruang guru dulu pagi ini." Jawabnya mengusap pucuk kepalaku dengan lembut.
"Kamu enggak usah ikut berangkat pagi aja kalau masih ngantuk." Ucapnya masih mengelus rambutku. Mataku masih setengah terbuka, nyawaku pun belum terkumpul semua. ah, aku benci bangun pagi.
Akhirnya aku menguap menahan kantuk.
"Dimana ada Ananta, disitu harus ada alana." Ucapku dengan tangan mengepal.
Kami saling memandang sebentar, lalu tertawa bersama.
"Wajahmu berantakan." ucap Ananta mengejekku.
"Itu semua gara-gara kamu" Balasku. Selama SMP rasanya seperti aku yang lebih berjuang untuk bisa bersama Ananta setiap waktu. Walau kadang-kadang Ananta juga melakukan hal yang sama.
Jika Ananta ikut kelas khusus, aku menunggunya untuk pulang bersama. Jika aku yang ada ekskul, Ananta yang menungguku. Tapi kelas khusus Ananta itu selalu jauh lebih sering. Apalagi akhir-akhir ini, entah buat apa mereka belajar sekeras itu, menyebalkan sekali. Bahkan setelah semua jadwal itu, pagi-pagi pun masih disuruh ke ruang guru juga. huft, jadinya aku terpaksa ikut menunggu di depan ruangan. sendirian!
"Kenapa katanya?" Tanyaku penasaran saat dia sudah keluar dari ruang guru.
Datang ke ruang guru seperti ini pilihannya hanya dua, terlalu berprestasi atau terlalu bermasalah. Dari yang aku tahu, Ananta itu termasuk di pilihan pertama.
"Aku diminta ikut Olimpiade lagi." Ucapnya dengan raut kecewa.
'Dasar, anak jenius yang aneh' harusnya dia senang karena bisa mendapat piala sekali lagi.
"hummm, anak pintar. Mereka pasti rugi karena kehilangan kamu setelah kita lulus" Ucapku mengelus rambutnya seperti ibu-ibu yang membanggakan anaknya. Hanya akting, menggoda Ananta itu sangat menyenangkan.
"Tapi kenapa murung begitu, itukan berita bagus" Ucapku sedikit kesal melihat raut mukanya yang tidak cocok dengan kabar yang dia berikan. Anak pintar seperti dia pasti tidak tahu betapa cemburunya orang-orang seperti aku mendengarnya mengeluh.
"bukan begitu masalahnya. Kalau aku ikut olimpiade, aku pasti sibuk. Jadi enggak ada waktu buat gangguin kamu." ejeknya. Yah, benar juga sih. setiap kali ada olimpiade aku akan jauh lebih terkucil dari kelompok anak pintarnya yang terlalu rajin belajar.
"Iya, tapi kamu walaupun ngomong gitu.. akhirnya tetep ikut juga kan" balasku. Meski murung begitu, Ananta memang tidak pernah melewatkan satupun piala olimpiade untuk dibawa pulang. Kecuali... kalau dia sedang sangat sakit.
"iya sih." Ucapnya sambil sedikit tertawa.
"syukuri aja masih bisa bikin almamater bangga sampe tahun terakhir disini. Semangat lah..." ucapku mengangkat tangannya ke udara. Dia hanya tersenyum kecil melihatku menggoyang-goyangkan tangannya yang lemas dengan gerakan melambai pelan.
Setelah mendengar berita gembira yang mengesalkan itu kami kembali ke kelas. Tidak seperti saat kami baru tiba di sekolah, sekarang kelas sudah ramai. Teman-teman sekelas ku sudah asyik mengobrol satu sama lain. Padahal saat baru sampai masih tidak ad siapapun di sekolah.
Meski begitu, di antara mereka tidak ada yang mengajakku bicara. Aku sendiri tidak peduli akan hal itu. Lagipula aku juga malas menanggapi hal-hal yang mereka bicarakan. Terkadang topik mereka sangat tidak masuk akal bagiku. Ananta selalu lebih menarik.
"Ta, nanti pulang sekolah kemana??? Main yuk" Ajak ku antusias, mencoba mengeluarkan si pemalas dari dua tempatnya mengurung diri. Rumah, dan rumah sakit, walau kadang-kadang sekolah juga sih.
"Baru aja duduk udah ngomongin pulang sekolah. Belajar sana" Ucapnya memulai nasehat yang 'seperti orang dewasa'.
"Ananta benar alana. Harusnya kamu lebih fokus belajar. Kalian ini sehari harinya selalu nempel, giliran nilai aja jaraknya jauh banget." Ucap seorang guru yang entah sejak kapan sudah berada di kelas kami, bahkan nimbrung dalam obrolan kami.
Aku hanya bisa tersenyum kikuk.
"Ananta, ajarin alana belajar, biar seenggaknya bisa ketularan kamu, enggak remidi." Nasehatnya lagi. Kalimat yang sudah sering kudengar. aku dan Ananta memang bagaikan anak tiri dan anak kandung bagi guru-guru di sekolah, diperlakukan berbeda padahal sering bersama-sama.
"Siap bu, saya usahakan." Jawab Ananta dengan senyum bangga.
Tidak peduli kepadaku yang sedang menatap kesal ke arahnya. Senyumnya seperti mengiyakan bahwa aku anak yang bodoh, tidak sepertinya yang juara kelas. Yah, walau aku tidak sepenuhnya bodoh sebenarnya, aku juga punya kelebihan. Sayangnya kelebihanku tidak di bidang akademik, jadi tidak bisa di banggakan seperti dia.
...***...
Sore harinya terjadi tidak seperti rencanaku. Ada latihan dadakan hari ini, karena lomba lari yang akan aku ikuti minggu depan. Olahraga ini satu-satunya ekskul yang aku ikuti di sekolah, dan masih saja mengganggu waktu berdua ku dengan Ananta.
Aku tidak pandai dalam akademik, hanya kegiatan fisik yang bisa kulakukan dengan baik. Dan berlari adalah salah satu keahlian yang bisa ku pamerkan kepada Ananta. Walaupun aku tidak pernah benar-benar pamer juga sih. Karena dia tidak pernah melihatku berlari.
"Hah... Hah... Latihannya akan sangat lama, kamu pulang duluan aja." Ucapku dengan nafas putus-putus. Ananta menghampiriku di tengah latihan, dia sudah selesai lebih dulu padahal aku masih harus berlatih lima putaran lagi.
"Oke" Ucapnya singkat, lalu beranjak pergi. Aku hanya menatap punggungnya yang bergerak menjauh dariku.
"Haish, harusnya Ananta tetep nungguin. Dasar enggak peka!" Ujarku kesal saat melihat Ananta berjalan dengan semangat menjauhi lapangan.
Aku kembali berlatih dengan mood yang kurang baik. Anehnya, aku yang sedang kesal justru berlari dengan lebih baik. Berlari saat sedang kesal ternyata ada untungnya juga.
Aku menyelesaikan 5 putaran dengan lebih cepat dari biasanya. Setelah target tercapai aku langsung pamit kepada pelatih untuk pulang lebih dulu. Buru-buru aku menenggak air putih dan mengganti pakaian agar bisa segera pulang dan beristirahat.
Kegiatanku masih memakan waktu cukup lama juga, karena aku masih harus mendiamkan kakiku sebentar agar tidak kram.
'Untung saja aku menyuruh Ananta pulang duluan' pikirku. Kalau tidak, dia pasti bosan menungguku selama itu.
PUK!! Begitu sampai di lorong kelas, sebuah botol air minum dingin dipukulkan ke atas kepalaku.
"Lama!" Suara bass itu membuyarkan lamunanku, suara yang familiar. Dia tidak pulang??
"Kok disini." Tanyaku spontan
"Kan kamu belum pulang." Jawabnya asal. Aku tersanjung.
Jadi 2 jam tadi?? Selama itu dia nunggu disini??
Segera saja aku menyesal sudah memarahinya (meski tidak dia dengar langsung) tadi.
"Oh.." Dengan refleks aku menggumam pelan. Seperti justru aku yang tidak peka selama ini. Terakhir dia bercerita tentang hal-hal yang dia benci adalah saat kami masih kecil. Katanya, Ananta benci olahraga lari, karena dia tidak boleh melakukannya karena penyakit yang dia punya. Dia sangat ingin mencoba, tapi dia benar-benar tidak bisa. Jadi dia memilih tidak melihat sama sekali, supaya dia tidak terlena untuk melakukannya.
Sontak aku merasa bersalah, dia pasti tidak suka melihatku berlari meski tidak pernah mengatakannya langsung.
Karena itu dia keluar dan menungguku di Koridor bahkan masih mau menungguku sampai selesai latihan.
"Ananta" Langkahku memelan, Ananta tetap berjalan dalam temponya.
"Hmm?" Jawabnya dengan gumaman.
Tanganku menggenggam kemejanya dari belakang.
"Maaf ya.. aku baru ingat" Ucapku menahan emosi yang membuncah di depannya.
"dasar.. Kenapa sih?" Ananta berbalik menghadap ku lalu menarik kepalaku untuk menatapnya.
Hanya dengan menatap mataku, dia memahaminya.
Dia menatapku dengan senyum termanisnya hari ini. Menatapku lekat-lekat.
"Aku tahu kamu suka lari, dan kalau kamu suka, aku juga suka" Ucapnya lagi. Hatiku lebih tenang mendengarnya. Entah, Kata-kata singkatnya selalu berhasil membuatku tersenyum dengan cara yang aneh.
"Maaf" Ucapku lagi, aku masih merasa tidak enak.
"Nggak apa-apa kok. Ayo pulang. Aku lapar." Aku tersenyum mendengarnya mencari topik lain. Ananta... terlalu pengertian.
"Ayo!" Jawabku semangat.
"Besok-besok jangan nunggu aku latihan ya" Ucapku.
"Kalau enggak, aku usir" Lanjut ku usil.
"padahal aku pengen liat kamu keringetan." Aku menatapnya dengan mata menyipit penuh curiga. Sejak kapan Ananta memikirkan hal-hal seperti itu? Aku melotot ke arahnya dengan marah.
"Enggak kok, nggak jadi" Ucapnya salah tingkah.
"Udah ah, ayo makan." Ucapnya meraih tanganku lalu menarik ku untuk berjalan lebih cepat. Hari itu berakhir dengan dia mentraktirku makan makanan kesukaanku yang totalnya hampir 3 porsi.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments