dua. Hal yang dilarang

Alana's POV

Setelah hari itu, segalanya tetap berjalan seperti biasanya.

Sejak SD hingga SMP kami berada di kelas yang sama, bangku yang sama. Bahkan sistem acak kelas pun tidak bisa memisahkan kami berdua.

Hmm, sudah pernah kubilang kan... aku dan Ananta adalah takdir, tapi Ananta sering meledek ku dan menganggapku lebay.

"Hai" Sapaku, merangkul Ananta dari belakang. Kami kelas 3 SMP sekarang, waktu berlalu dengan cepat saat kami baik-baik saja. Meski saat semua hal buruk terjadi mereka justru berjalan kelewat lambat.

"Kamu berangkat kepagian!" Aku menggerutu karena harus bangun lebih pagi demi dia.

Karena kami selalu berangkat bersama, jadi aku bersusah payah mengikuti jadwal pagi Ananta. Setelah bersusah payah seperti itu, aku masih ditinggal berangkat lebih dulu hari ini.

"Maaf, aku disuruh ke ruang guru dulu pagi ini." Jawabnya mengusap pucuk kepalaku dengan lembut.

"Kamu enggak usah ikut berangkat pagi aja kalau masih ngantuk." Ucapnya masih mengelus rambutku. Mataku masih setengah terbuka, nyawaku pun belum terkumpul semua. ah, aku benci bangun pagi.

Akhirnya aku menguap menahan kantuk.

"Dimana ada Ananta, disitu harus ada alana." Ucapku dengan tangan mengepal.

Kami saling memandang sebentar, lalu tertawa bersama.

"Wajahmu berantakan." ucap Ananta mengejekku.

"Itu semua gara-gara kamu" Balasku. Selama SMP rasanya seperti aku yang lebih berjuang untuk bisa bersama Ananta setiap waktu. Walau kadang-kadang Ananta juga melakukan hal yang sama.

Jika Ananta ikut kelas khusus, aku menunggunya untuk pulang bersama. Jika aku yang ada ekskul, Ananta yang menungguku. Tapi kelas khusus Ananta itu selalu jauh lebih sering. Apalagi akhir-akhir ini, entah buat apa mereka belajar sekeras itu, menyebalkan sekali. Bahkan setelah semua jadwal itu, pagi-pagi pun masih disuruh ke ruang guru juga. huft, jadinya aku terpaksa ikut menunggu di depan ruangan. sendirian!

"Kenapa katanya?" Tanyaku penasaran saat dia sudah keluar dari ruang guru.

Datang ke ruang guru seperti ini pilihannya hanya dua, terlalu berprestasi atau terlalu bermasalah. Dari yang aku tahu, Ananta itu termasuk di pilihan pertama.

"Aku diminta ikut Olimpiade lagi." Ucapnya dengan raut kecewa.

'Dasar, anak jenius yang aneh' harusnya dia senang karena bisa mendapat piala sekali lagi.

"hummm, anak pintar. Mereka pasti rugi karena kehilangan kamu setelah kita lulus" Ucapku mengelus rambutnya seperti ibu-ibu yang membanggakan anaknya. Hanya akting, menggoda Ananta itu sangat menyenangkan.

"Tapi kenapa murung begitu, itukan berita bagus" Ucapku sedikit kesal melihat raut mukanya yang tidak cocok dengan kabar yang dia berikan. Anak pintar seperti dia pasti tidak tahu betapa cemburunya orang-orang seperti aku mendengarnya mengeluh.

"bukan begitu masalahnya. Kalau aku ikut olimpiade, aku pasti sibuk. Jadi enggak ada waktu buat gangguin kamu." ejeknya. Yah, benar juga sih. setiap kali ada olimpiade aku akan jauh lebih terkucil dari kelompok anak pintarnya yang terlalu rajin belajar.

"Iya, tapi kamu walaupun ngomong gitu.. akhirnya tetep ikut juga kan" balasku. Meski murung begitu, Ananta memang tidak pernah melewatkan satupun piala olimpiade untuk dibawa pulang. Kecuali... kalau dia sedang sangat sakit.

"iya sih." Ucapnya sambil sedikit tertawa.

"syukuri aja masih bisa bikin almamater bangga sampe tahun terakhir disini. Semangat lah..." ucapku mengangkat tangannya ke udara. Dia hanya tersenyum kecil melihatku menggoyang-goyangkan tangannya yang lemas dengan gerakan melambai pelan.

Setelah mendengar berita gembira yang mengesalkan itu kami kembali ke kelas. Tidak seperti saat kami baru tiba di sekolah, sekarang kelas sudah ramai. Teman-teman sekelas ku sudah asyik mengobrol satu sama lain. Padahal saat baru sampai masih tidak ad siapapun di sekolah.

Meski begitu, di antara mereka tidak ada yang mengajakku bicara. Aku sendiri tidak peduli akan hal itu. Lagipula aku juga malas menanggapi hal-hal yang mereka bicarakan. Terkadang topik mereka sangat tidak masuk akal bagiku. Ananta selalu lebih menarik.

"Ta, nanti pulang sekolah kemana??? Main yuk" Ajak ku antusias, mencoba mengeluarkan si pemalas dari dua tempatnya mengurung diri. Rumah, dan rumah sakit, walau kadang-kadang sekolah juga sih.

"Baru aja duduk udah ngomongin pulang sekolah. Belajar sana" Ucapnya memulai nasehat yang 'seperti orang dewasa'.

"Ananta benar alana. Harusnya kamu lebih fokus belajar. Kalian ini sehari harinya selalu nempel, giliran nilai aja jaraknya jauh banget." Ucap seorang guru yang entah sejak kapan sudah berada di kelas kami, bahkan nimbrung dalam obrolan kami.

Aku hanya bisa tersenyum kikuk.

"Ananta, ajarin alana belajar, biar seenggaknya bisa ketularan kamu, enggak remidi." Nasehatnya lagi. Kalimat yang sudah sering kudengar. aku dan Ananta memang bagaikan anak tiri dan anak kandung bagi guru-guru di sekolah, diperlakukan berbeda padahal sering bersama-sama.

"Siap bu, saya usahakan." Jawab Ananta dengan senyum bangga.

Tidak peduli kepadaku yang sedang menatap kesal ke arahnya. Senyumnya seperti mengiyakan bahwa aku anak yang bodoh, tidak sepertinya yang juara kelas. Yah, walau aku tidak sepenuhnya bodoh sebenarnya, aku juga punya kelebihan. Sayangnya kelebihanku tidak di bidang akademik, jadi tidak bisa di banggakan seperti dia.

...***...

Sore harinya terjadi tidak seperti rencanaku. Ada latihan dadakan hari ini, karena lomba lari yang akan aku ikuti minggu depan. Olahraga ini satu-satunya ekskul yang aku ikuti di sekolah, dan masih saja mengganggu waktu berdua ku dengan Ananta.

Aku tidak pandai dalam akademik, hanya kegiatan fisik yang bisa kulakukan dengan baik. Dan berlari adalah salah satu keahlian yang bisa ku pamerkan kepada Ananta. Walaupun aku tidak pernah benar-benar pamer juga sih. Karena dia tidak pernah melihatku berlari.

"Hah... Hah... Latihannya akan sangat lama, kamu pulang duluan aja." Ucapku dengan nafas putus-putus. Ananta menghampiriku di tengah latihan, dia sudah selesai lebih dulu padahal aku masih harus berlatih lima putaran lagi.

"Oke" Ucapnya singkat, lalu beranjak pergi. Aku hanya menatap punggungnya yang bergerak menjauh dariku.

"Haish, harusnya Ananta tetep nungguin. Dasar enggak peka!" Ujarku kesal saat melihat Ananta berjalan dengan semangat menjauhi lapangan.

Aku kembali berlatih dengan mood yang kurang baik. Anehnya, aku yang sedang kesal justru berlari dengan lebih baik. Berlari saat sedang kesal ternyata ada untungnya juga.

Aku menyelesaikan 5 putaran dengan lebih cepat dari biasanya. Setelah target tercapai aku langsung pamit kepada pelatih untuk pulang lebih dulu. Buru-buru aku menenggak air putih dan mengganti pakaian agar bisa segera pulang dan beristirahat.

Kegiatanku masih memakan waktu cukup lama juga, karena aku masih harus mendiamkan kakiku sebentar agar tidak kram.

'Untung saja aku menyuruh Ananta pulang duluan' pikirku. Kalau tidak, dia pasti bosan menungguku selama itu.

PUK!! Begitu sampai di lorong kelas, sebuah botol air minum dingin dipukulkan ke atas kepalaku.

"Lama!" Suara bass itu membuyarkan lamunanku, suara yang familiar. Dia tidak pulang??

"Kok disini." Tanyaku spontan

"Kan kamu belum pulang." Jawabnya asal. Aku tersanjung.

Jadi 2 jam tadi?? Selama itu dia nunggu disini??

Segera saja aku menyesal sudah memarahinya (meski tidak dia dengar langsung) tadi.

"Oh.." Dengan refleks aku menggumam pelan. Seperti justru aku yang tidak peka selama ini. Terakhir dia bercerita tentang hal-hal yang dia benci adalah saat kami masih kecil. Katanya, Ananta benci olahraga lari, karena dia tidak boleh melakukannya karena penyakit yang dia punya. Dia sangat ingin mencoba, tapi dia benar-benar tidak bisa. Jadi dia memilih tidak melihat sama sekali, supaya dia tidak terlena untuk melakukannya.

Sontak aku merasa bersalah, dia pasti tidak suka melihatku berlari meski tidak pernah mengatakannya langsung.

Karena itu dia keluar dan menungguku di Koridor bahkan masih mau menungguku sampai selesai latihan.

"Ananta" Langkahku memelan, Ananta tetap berjalan dalam temponya.

"Hmm?" Jawabnya dengan gumaman.

Tanganku menggenggam kemejanya dari belakang.

"Maaf ya.. aku baru ingat" Ucapku menahan emosi yang membuncah di depannya.

"dasar.. Kenapa sih?" Ananta berbalik menghadap ku lalu menarik kepalaku untuk menatapnya.

Hanya dengan menatap mataku, dia memahaminya.

Dia menatapku dengan senyum termanisnya hari ini. Menatapku lekat-lekat.

"Aku tahu kamu suka lari, dan kalau kamu suka, aku juga suka" Ucapnya lagi. Hatiku lebih tenang mendengarnya. Entah, Kata-kata singkatnya selalu berhasil membuatku tersenyum dengan cara yang aneh.

"Maaf" Ucapku lagi, aku masih merasa tidak enak.

"Nggak apa-apa kok. Ayo pulang. Aku lapar." Aku tersenyum mendengarnya mencari topik lain. Ananta... terlalu pengertian.

"Ayo!" Jawabku semangat.

"Besok-besok jangan nunggu aku latihan ya" Ucapku.

"Kalau enggak, aku usir" Lanjut ku usil.

"padahal aku pengen liat kamu keringetan." Aku menatapnya dengan mata menyipit penuh curiga. Sejak kapan Ananta memikirkan hal-hal seperti itu? Aku melotot ke arahnya dengan marah.

"Enggak kok, nggak jadi" Ucapnya salah tingkah.

"Udah ah, ayo makan." Ucapnya meraih tanganku lalu menarik ku untuk berjalan lebih cepat. Hari itu berakhir dengan dia mentraktirku makan makanan kesukaanku yang totalnya hampir 3 porsi.

***

Episodes
1 satu. Anak yang selalu di rumah sakit
2 dua. Hal yang dilarang
3 tiga. teman Alana
4 empat. Kambuh
5 lima. Rasa sakit
6 enam. penyakit Ananta
7 satu - dua
8 tiga - empat
9 Hai!
10 lima - enam
11 tujuh - delapan
12 sembilan - sepuluh. cemburu
13 sebelas - dua belas. orang lain
14 tiga belas. pengganggu
15 empat belas. teman baru alana
16 Lima belas. Tempat bersandar
17 enam belas. arti senyuman
18 tujuh belas. orang ketiga
19 delapan belas. luka baru
20 sembilan belas. rahasia
21 dua puluh. berita duka
22 dua puluh satu. Obat
23 dua puluh dua. rapuh
24 dua puluh tiga. menyembuhkan luka
25 dua puluh empat. halo, pacar
26 dua puluh lima. Orang baik
27 dua puluh enam. mencintai
28 dua puluh tujuh. kekhawatiran
29 dua puluh delapan. takut kehilangan
30 dua puluh sembilan. kenyataan menyakitkan
31 tiga puluh. pilihan
32 tiga puluh satu. harapan
33 tiga puluh dua. berbagi luka
34 tiga puluh tiga. sesal
35 tiga puluh empat. Prasangka
36 tiga puluh lima. tampan
37 tiga puluh enam. bosan
38 tiga puluh tujuh. keajaiban
39 tiga puluh delapan. Harapan
40 tiga puluh sembilan. Operasi
41 empat puluh. pengen cubit
42 empat puluh satu. ditinggal
43 empat puluh dua. mencari alana
44 empat puluh tiga. pulang
45 empat puluh empat. hari pertama kembali ke sekolah
46 empat puluh lima. menjenguk Ananta
47 empat puluh enam. surat
48 empat puluh tujuh. sesuatu yang belum usai
49 empat puluh delapan. Penasaran
50 empat puluh sembilan. Teman berbagi
51 Lima puluh. sudah baikan?
52 lima puluh satu. mode macan
53 lima puluh dua. macan jinak
54 lima puluh tiga. kejutan
55 lima puluh empat. Kembali ke sekolah
56 lima puluh lima. Genius menyebalkan
57 lima puluh enam. Apa itu romantis
58 lima puluh tujuh. Latihan terakhir
59 lima puluh delapan. hari ujian
60 lima puluh sembilan. Janji
61 enam puluh. Tidak selalu bahagia
62 enam puluh satu. Kejutan yang terduga
63 enam puluh dua. liburan
64 enam puluh tiga. menyembuhkan diri
65 enam puluh empat. hilang
66 Enam puluh lima. Kue matcha
67 enam puluh enam. kembalinya Arkan
68 enam puluh tujuh. terlalu aneh
69 enam puluh delapan. Percakapan rahasia
70 enam puluh sembilan. bersatunya pasangan aneh
71 tujuh puluh. bersatunya pasangan aneh (2)
72 tujuh puluh satu. satu langkah
73 tujuh puluh dua. semangat
74 tujuh puluh tiga. ketika arkan ikut turun tangan
75 side story - Yang disimpan waktu.
76 tujuh puluh empat. siaga satu
77 tujuh puluh lima. date?
78 tujuh puluh enam. Es krim
79 tujuh puluh tujuh. rencana
80 Tujuh puluh delapan. dikucilkan
81 Tujuh puluh sembilan. Langit biru gelap
82 delapan puluh. kado
83 delapan puluh satu. kenangan
84 delapan puluh dua. percikan
85 delapan puluh tiga. sebelum perang
86 delapan puluh empat. bertemu
87 Delapan puluh lima. pukulan
88 Delapan puluh enam. Meledak dan sembuh
Episodes

Updated 88 Episodes

1
satu. Anak yang selalu di rumah sakit
2
dua. Hal yang dilarang
3
tiga. teman Alana
4
empat. Kambuh
5
lima. Rasa sakit
6
enam. penyakit Ananta
7
satu - dua
8
tiga - empat
9
Hai!
10
lima - enam
11
tujuh - delapan
12
sembilan - sepuluh. cemburu
13
sebelas - dua belas. orang lain
14
tiga belas. pengganggu
15
empat belas. teman baru alana
16
Lima belas. Tempat bersandar
17
enam belas. arti senyuman
18
tujuh belas. orang ketiga
19
delapan belas. luka baru
20
sembilan belas. rahasia
21
dua puluh. berita duka
22
dua puluh satu. Obat
23
dua puluh dua. rapuh
24
dua puluh tiga. menyembuhkan luka
25
dua puluh empat. halo, pacar
26
dua puluh lima. Orang baik
27
dua puluh enam. mencintai
28
dua puluh tujuh. kekhawatiran
29
dua puluh delapan. takut kehilangan
30
dua puluh sembilan. kenyataan menyakitkan
31
tiga puluh. pilihan
32
tiga puluh satu. harapan
33
tiga puluh dua. berbagi luka
34
tiga puluh tiga. sesal
35
tiga puluh empat. Prasangka
36
tiga puluh lima. tampan
37
tiga puluh enam. bosan
38
tiga puluh tujuh. keajaiban
39
tiga puluh delapan. Harapan
40
tiga puluh sembilan. Operasi
41
empat puluh. pengen cubit
42
empat puluh satu. ditinggal
43
empat puluh dua. mencari alana
44
empat puluh tiga. pulang
45
empat puluh empat. hari pertama kembali ke sekolah
46
empat puluh lima. menjenguk Ananta
47
empat puluh enam. surat
48
empat puluh tujuh. sesuatu yang belum usai
49
empat puluh delapan. Penasaran
50
empat puluh sembilan. Teman berbagi
51
Lima puluh. sudah baikan?
52
lima puluh satu. mode macan
53
lima puluh dua. macan jinak
54
lima puluh tiga. kejutan
55
lima puluh empat. Kembali ke sekolah
56
lima puluh lima. Genius menyebalkan
57
lima puluh enam. Apa itu romantis
58
lima puluh tujuh. Latihan terakhir
59
lima puluh delapan. hari ujian
60
lima puluh sembilan. Janji
61
enam puluh. Tidak selalu bahagia
62
enam puluh satu. Kejutan yang terduga
63
enam puluh dua. liburan
64
enam puluh tiga. menyembuhkan diri
65
enam puluh empat. hilang
66
Enam puluh lima. Kue matcha
67
enam puluh enam. kembalinya Arkan
68
enam puluh tujuh. terlalu aneh
69
enam puluh delapan. Percakapan rahasia
70
enam puluh sembilan. bersatunya pasangan aneh
71
tujuh puluh. bersatunya pasangan aneh (2)
72
tujuh puluh satu. satu langkah
73
tujuh puluh dua. semangat
74
tujuh puluh tiga. ketika arkan ikut turun tangan
75
side story - Yang disimpan waktu.
76
tujuh puluh empat. siaga satu
77
tujuh puluh lima. date?
78
tujuh puluh enam. Es krim
79
tujuh puluh tujuh. rencana
80
Tujuh puluh delapan. dikucilkan
81
Tujuh puluh sembilan. Langit biru gelap
82
delapan puluh. kado
83
delapan puluh satu. kenangan
84
delapan puluh dua. percikan
85
delapan puluh tiga. sebelum perang
86
delapan puluh empat. bertemu
87
Delapan puluh lima. pukulan
88
Delapan puluh enam. Meledak dan sembuh

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!