Ananta sakit lagi hari ini, padahal kemarin dia terlihat 'sangat' baik-baik saja. Padahal beberapa hari yang lalu dia baru saja pulih.
Aku sebenarnya tahu penyakitnya tidak pernah sembuh, tapi dari yang bisa aku lihat... Kali ini dia akan tinggal lebih lama do rumah sakit. Tujuh hari, selama waktu itu dia akan menjalani perawatan intensif dirawat oleh ayah.
Hal seperti ini yang selalu aku benci sekaligus membuatku gelisah. Mereka melakukan semua prosedur menyakitkan untuk membuat jantungnya berdetak lebih lama.
Dan sejak kami masuk SMP, setiap kali ini terjadi dia selalu mengusirku pergi. Bahkan ayah dan ibunya hanya boleh menunggu di luar ruangan sampai kondisinya kembali stabil. Hanya ayah, dokter yang bisa merawatnya dari dekat.
Setelah prosedur menyakitkan itu selesai, baru aku dibolehkan menemuinya. Aku akan menunggunya di luar pintu hingga ayah membiarkanku masuk sesuai permintaannya.
Kami hanya siswa SMP, tapi hidup yang dia jalani terasa lebih berat dari yang seharusnya.
Aku akan melihatnya tersenyum setelah semuanya berlalu, padahal aku tahu rasa sakit seperti apa yang sudah dilaluinya sebelum itu.
"Alana..." Dia memanggilku dengan senyum manisnya seperti biasa. Kini dia sudah berganti baju, bukan lagi baju rumah sakit yang membuatnya nampak pucat. Hari ini dia sudah boleh pulang dari rumah sakit.
"Hmm" Ah, rasanya aku enggan membuka mulut untuknya hari ini. Aku masih dendam karena kali ini hanya boleh menemuinya saat dia sudah di bolehkan pulang.
"Juteknya, jangan manyun begitu. Tambah jelek." Dia menangkup wajahku memaksaku menatap lurus ke matanya.
"Kamu terlihat lebih manis saat masih kecil. Kenapa sekarang jadi begini" Ucapnya dengan tanpa dosa.
"Apa? Jadi aku tambah jelek sekarang" Ucapku, kesalku berlipat-lipat mendengarnya.
"Ah tidak-tidak. Alana selalu cantik. Perempuan paling cantik yang aku kenal" Ucapnya kelabakan, pujiannya tidak membuatku senang.
Aku menghela nafas berat.
"Kamu juga, sikapmu jauh lebih manis saat kita masih kecil." Ejek ku. Sikap manisnya dulu sepertinya luntur karena terlalu sering dirawat di rumah sakit.
"Dulu kamu tidak pernah mengusirku." Ucapku lirih. Jujur, aku masih kesal karena tidak bisa menemani dan bertemu dia selama 7 hari penuh. Dia bahkan meminta ayah melarang ku mendekati ruangannya. menyebalkan.
"Sudah jangan marah begitu. Harusnya kamu memberiku selamat karena sudah boleh keluar dari rumah sakit" Ucapnya seperti anak kecil yang meminta hadiah.
Ya, harusnya aku bahagia karena itu. sudahlah.
"Ah Iya... Terimakasih sudah bertahan dengan baik" Ucapku mengusap kepalanya dengan lembut.
Aku lalu memeluk lengannya, menggandengnya kemanapun dia pergi. Ayah mungkin akan geleng-geleng kepala jika melihat kelakuanku hari ini yang terus menempel pada Ananta.
Yah, ini kan momen penting. Momen saat kami akan pulang bersama, lagi. Setelah penantian dan rasa cemas sepanjang 7 hari
"Apa kata ayah?" Tanyaku
"Hmm, aku baik-baik saja." Jawabnya singkat.
"Katanya Jantungku sudah kembali normal" Ucapnya bangga.
"Tentu saja. Dia harus bekerja dengan baik... Kita kan masih harus menikah." Ucapku membicarakan jantungnya yang kini sedang berdetak pada temponya. Kami punya janji yang harus ditepati, jadi dia tidak boleh buru-buru pergi sebelum waktunya tiba.
Sebelum benar-benar pulang ke rumah aku mengajaknya pergi ke cafe kesukaanku. Kami memesan dua makanan yang terlihat kontras. Kue yang serba hitam dan serba pink.
Karena terlihat lucu aku mengeluarkan ponselku untuk memotretnya. Tapi sebelum itu terjadi aku mengamati Ananta yang memandang ke luar jendela kaca. Ah, cowok ini selalu menyita perhatianku.
Dengan gerakan cepat aku menggerakkan ponselku untuk memotretnya, tadinya hanya satu foto, tapi karena terlalu bagus akhirnya layarku penuh dengan wajahnya.
Saat dia menyadarinya aku buru-buru mengalihkan pandanganku ke kue untuk memotretnya.
"Kita hanya berpisah selama tujuh hari, tapi kenapa kamu begitu merindukanku" Ucapnya dengan lancar. Dia tentu sadar aku mengambil fotonya dari tadi.
Aku menatapnya dengan kesal. Apa kepalanya terbentur sesuatu. Kalimatnya sangat tidak cocok dengan Ananta yang kukenal cuek selama ini.
"Aku cuma memotret kue..." Ucapku protes tanpa melirik ke arahnya. Namun aku tidak bisa berpura-pura tidak peduli dengannya karena setelah beberapa saat aku kembali memandanginya.
'Ah, sepertinya aku memang merindukannya'
Kini Aku bukan hanya memandang, tapi menatapnya dengan tatapan yang dalam.
"Sini, aku mau lihat" Ucapnya menyodorkan tangan untuk merebut ponselku. Aku malas berbohong lagi, akhirnya aku pasrah dan menyerahkan ponselku.
Dia tidak membuka galeri, tapi kamera. Dia menjulurkan tangannya menjauh lalu menarik ku mendekat. Kami berfoto bersama tanpa aba-aba.
"Nih biar kamu nggak kangen lagi" Ucapnya mengembalikan ponselku dari tangannya.
"Ulang! Ekspresi ku pasti jelek" Ucapku dengan marah, reflek aku memukul-mukul bahunya untuk mengulangi selfi berdua.
"Sebentar" Ucapnya sibuk mengotak-atik ponselku sebelum menuruti ku untuk berfoto lagi. Kali ini aku segera merebut ponselku. Ekspresi ku terlihat lebih baik daripada foto sebelumnya. Di foto sebelumnya mulutku terbuka karena terkejut, aku langsung menghapusnya sebelum Ananta sempat melihat.
"Alana, kita sudah tidak bertemu selama satu minggu... Apa kamu tetap sendirian di sekolah?" Tanya Ananta tiba-tiba, membuat suasana berubah menjadi sedikit serius gara-gara ekspresinya.
"Aku tidak punya waktu untuk mencari pacar gara-gara mengkhawatirkan kamu tahu. Lagi pula aku sudah punya kamu." Ucapku berpura-pura tidak paham tentang apa yang dia maksud.
"Selain tidak punya pacar, kamu juga tidak punya teman?" Tanya Ananta lagi.
'Iya, aku masih sendirian dan aku tidak peduli akan hal itu sama sekali. Karena selama hari-hari yang berlalu kemarin dipikiran ku cuma ada kamu.' Ucapku dalam hati. Nyatanya aku juga selalu baik-baik saja meski tidak punya teman selain Ananta.
Walau teman sekelas ku sebenarnya cukup baik karena mereka tidak mengucilkan ku hanya karena aku tidak ikut bergosip atau berkumpul dengan mereka. Hanya saja, mereka tidak sering berinteraksi denganku, itu saja.
"Aku punya..." Ucapku sedikit menggantung. Aku tidak mau dia mengkhawatirkan ku tentang hal sepele seperti ini.
"Selain aku maksudnya." Ucapnya lagi.
"Ada... Kamu saja yang tidak perhatian." Ejek ku.
"Aku menyimpan nomor mereka" Ucapku menunjukkan nomor-nomor baru di dalam daftar kontak untuk meyakinkan dia.
Walaupun nomor itu aku dapatkan gara-gara terpaksa bergabung untuk kerja kelompok.
"Hummm, baiklah."
"Jadi aku bisa tenang kalau-kalau harus ke rumah sakit lagi untuk waktu yang lama." Ucapnya tanpa rasa berdosa karena sudah merusak suasana.
"Jangan sering-sering kesana. Aku mulai benci bau rumah sakit" Ucapku dingin.
"Iya iya..." Jawabnya takut takut. Sebelum aku sempat mengomel dia buru-buru bangun dari tempatnya duduk.
"Tunggu sebentar" Ucapnya sebelum meninggalkanku dan pergi untuk memesan sesuatu di kasir lalu kembali membawa sebuah es krim rasa blueberry. Benda itu membuatku tersenyum kembali secara otomatis.
"Kamu serem kalau lagi marah." Ucapnya takut-takut sambil menyodorkan es krim berwarna biru itu.
Ananta sudah terlalu hafal dengan gerak-gerik ku, makanya dia bisa segera melakukan sesuatu untuk membuatku tidak jadi marah.
"Sepertinya aku perlu banyak stok es krim nantinya." Ucapnya samar sehingga hampir tidak terdengar olehku. Aku mengabaikannya. Karena es krim manis itu terlihat lebih menarik.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments